2.4 Terbang, Terjatuh, dan Terluka

579 57 3
                                    

Dalam sebuah perjalanan, kita akan menemui proses. Seperti halnya sebuah hubungan, ada proses pendekatan, proses menjadi teman, naik satu tingkat jadi sahabat, kemudian kalau beruntung nembak bisa jadi pacar. Awal hubunganku dan kamu juga begitu. From a totally stranger, jadi kaya sekarang. Bahkan kata-kata seakan sulit untuk mendefinisikan seberapa banyak aku mengenalmu.

"Lo masih pacaran sama Abra, Pau?" dia Aisha, temanku sejak SMA yang sekarang berkuliah di jurusan Psikologi. Saat ini aku sedang makan siang dengannya, "masih kuat?"

Pertanyaannya itu sebenarnya lebih untuk batinku. Maksudnya karena aku dan Abra beda agama, dia sering bertanya apakah aku masih kuat dengan hubungan ini atau tidak. Beberapa kali dia juga sering mengatakan jika sudah tak bisa bersama, jangan dipaksakan. Tapi aku selalu mengatakan jika aku tak masalah, karena sejujurnya aku belum bisa melepaskannya. Aku masih terlalu egois untuk memilikinya.

"Masih kuat lah."

"Gak nyangka aja sih gue kalian udah setahun gini," Aisha mengangkat cangkir berisi latte miliknya kemudian menghirup aroma latte sebelum meminummya. "Bakal ada waktu dimana lo sadar, kalo lo sama dia cukup di titik itu. Gue bukannya gak mau lo bahagia, tapi gue mau yang terbaik buat lo. Jangan terlalu sayang dan serius sama Abra. Kalian berdua sangat berbeda."

Aku paham maksud Aisha, dia ingin yang terbaik. Dan aku mengerti maksud titik itu. Tapi hatiku belum mau melepasnya. Aku menyayangi Abra dan aku tak mau melepasnya.

"Gue ngerti, Pau. Tapi kalo lo terusin, lo bakal nyakitin diri sendiri dan Abra juga akan sakit. Bakal ribet urusannya kalo lo berdua nantinya terlalu sayang, terlalu bergantung satu sama lain." Aisha meletakkan cangkirnya, menatapku dengan manik mata hitamnya. "Gue balik dulu deh, ada kelas. Abra jemput lo 'kan?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia memelukku selama satu menit sebelum pergi di antara mahasiswa yang tengah mencari tempat duduk. Aku tak tahu berapa lama aku diam di tempat itu, sampai aku sadar Abra sudah duduk di hadapanku. Saat mata kami bertemu tatap, pandangannya terasa berbeda dan aku mengerti arti dari tatapannya itu. Dia tak tersenyum lebar dengan lesung di pipinya, hanya sudut bibir kanannya yang terangkat sedikit.

"Abis ngomongin gue ya, sama Aisha?" aku mengangguk, "kamu dari kapan datengnya?"

Kamu mengangkat kanan kirimu dan melihat jam biru hadiah dariku. "Sekitar lima belas menit lalu. Pulang yuk."

Hari itu, kamu tidak mengulurkan tanganmu untukku. Kamu tidak berjalan di sampingku, tapi di depanku. Dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jeans birumu. Aku tahu apa yang kamu pikirkan, karena aku juga memikirkan hal yang sama. Kamu berhenti melankah di depan mobil jeep putih milikmu, selama sepuluh detik kamu hanya mengetuk jarimu di atas kap mobil sampai akhirnya berbalik dan menatapku.

Tanganmu terulur untuk mengusap kepalaku, kamu memang tersenyum tapi jelas itu bukan senyum kamu yang biasanya. Kemudian kamu menarikku dalam pelukanmu, aku rasanya ingin menangis saat itu juga.

"Kamu boleh menangis, Pau, kalau itu bikin rasa sesak di hati kamu hilang. You can cry and let it go," dan setelah mengatakan itu baju favorit kamu menjadi basah karena air mataku.

"It hurt, Ab, kenapa kita harus sebeda ini?" aku memukul dadanya beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa sesak dalam dadaku.

"Aku lebih sakit saat liat kamu nangis, dari awal aku gak pernah ada niatan untuk bikin kamu sedih. Pau," kamu memegang kedua pipiku dan menghapus air mataku. "Tuhan menciptakan umatnya untuk saling melengkapi, bukan saling menyalahkan. Kamu gak boleh mempertanyakan mengapa kita berbeda, karena mungkin ini adalah jalan takdir kita."

Aku tahu, Ab, sungguh! Tapi ini sakit sekali rasanya. Mengetahui saat aku tengah shalat tapi kamu hanya menungguku. Saat kamu sedang ibadah, aku juga hanya bisa menunggumu. Kita tak pernah berada di tempat ibadah yang sama. Kita tidak berdoa dengan cara yang sama. Meski aku sudah mengetahuinya sejak awal, tapi rasanya tetap semenyakitkan ini. Tapi aku tak penah mengatakan hal itu pada kamu tentu saja.

"Let's go on date tommorow." kadang aku gak mengerti jalan pikiran kamu Ab, tapi yang aku dapat tangkap dari ajakanmu adalah kamu ingin membuat sebuah kenangan indah untuk ucapan selamat tinggal.

* * *

Let US GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang