II

153 14 20
                                    

"Thanks."

Chat terkirim. Senyum masih menghiasi wajahnya yang ayu. Ada semburat merah yang tidak ketara pada pipinya. Tidak ada ombak yang pecah di hatinya. Namun sebagai gantinya, kebahagiaan itu datang menjelma ombak dengan buihnya yang lembut, merayap pelan-pelan seperti yang selalu dilihatnya ketika ia pergi ke pantai.

Ya, baginya Irwan seperti ombak yang menyapa bibir pantai dengan buihnya yang lembut. Tidak seperti pria lain yang datang dengan gairah petualangan yang meluap-luap, Irwan datang pelan-pelan menjangkau kehidupannya seperti hal yang lumrah. Cinta mereka – cintanya bukan jenis cinta yang menggairahkan. Tidak ada debar-debar yang menggelegak di dada atau kupu-kupu yang terbang di dalam perut, perasaan mereka sesuatu yang damai. Irwan menerima ketidakpuasannya, kegelisahannya, merengkuhnya ke dunia yang lebih aman. Namun dia tidak tahu, baik ombak dahsyat yang memecah karang maupun ombak yang lembut sama-sama bisa menyeretnya dan membuatnya tenggelam. Dia belum tahu.

Handphonenya berbunyi. Ada chat masuk, dari Irwan.

"Makan malam di tempatmu?"

Dia membaca chat Irwan sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya, berpikir. Haruskah? Dia terbiasa merencanakan segala sesuatu, menyusunnya menyerupai jadwal dengan jam yang sudah ditetapkan. Setiap pagi dia akan membuat jadwal yang baru; apa yang akan dilakukannya usai bekerja, berapa lama waktu yang digunakan, setelah menyelesaikan yang satu- apa yang harus dilakukannya lagi. Meski tidak selalu tepat waktu, dia berusaha mematuhi jadwal.  Sayangnya, makan malam dengan Irwan tidak ada dalam jadwal hari itu.

Malam nanti dia sudah berencana makan dan membaca buku, sendirian. Bahkan dia sudah mengangankan beberapa lagu untuk menemani malamnya yang tenang. Dia akan merasakan perasaan bersalah yang aneh ketika melanggar jadwal. Tapi sudah lama Irwan tidak mampir ke tempatnya. Hal itu sedikit membuatnya bimbang.

Handphonenya berbunyi lagi. 

"Setelah makan malam, aku bisa sibuk mengerjakan laporanku dan kau bisa membaca dengan tenang. Bagaimana?"

"Oke." Jari-jarinya mengetik dengan cepat. Irwan berjanji akan mengerjakan laporan jadi mungkin dia tetap akan bisa membaca dengan tenang. Win win solution, tidak ada jadwal yang dilanggar. Sejauh ini tidak ada solusi yang lebih baik.

Beberapa saat pikirannyadisibukkan dengan nama-nama makanan yang menggiurkan tapi kemudianditepiskannya. Sayang, dia tidak pandai memasak. Dia mengerang putus asa menyadari sedikitnya pilihan makanan yang dikuasainya. Sementara dari seberang ruangan, seseorang mengamatinya dari celah horizontal blind dengan geli.

OPSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang