"Besok malam."
Irwan mengatakannya tepat sebelum mendaratkan kecupan singkat tanda perpisahan mereka, setelah bercanda sepanjang malam dan tolakan halus atas tawarannya untuk menginap yang anehnya tidak membuatnya tersinggung.
Malam itu dia tidur nyenyak.
Lantas di sinilah dia sekarang; di dalam lift menuju apartemen Irwan dengan memakai baju terusan selutut berwarna putih dan sepatu berhak pendek, menyangka segalanya akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Dia tidak bisa abai ketika pintu lift terbuka dan mendapati wajah yang dia kenal menatapnya dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan.
Suami Rani ada di sana, menunggu lift yang bisa membawa mereka - dia dan wanita yang menggandeng lengannya - turun. Tidak cantik, kalau dia boleh menambahkan. Namun bisa dipastikan usianya lebih muda dari Rani. Lebih menggoda, tentu. Dia terlalu terkejut untuk mengingat hal lainnya seperti warna baju yang dikenakannya, juga terlalu terkejut untuk bisa melakukan hal lainnya selain keluar dari lift seperti yang seharusnya. Jika dipikirkan lagi, memang tidak ada yang bisa dilakukannya meski dia tidak dalam keadaan terkejut. Mustahil untuk meneriaki mereka atau tindakan kurang sopan lainnya, itu yang disimpulkannya kemudian hari.
Keterkejutan yang dirasakannya cukup hebat sekalipun dia sudah tahu bahwa suami Rani memiliki hubungan khusus dengan wanita lain. Beberapa kali temannya menceritakan hal tersebut dengan nada payah yang coba disembunyikan dengan senyum atau tawa hambar. Dia akan ikut melempar senyum atau tawa canggung. Yang kemudian disadarinya, mendengar dengan melihat sendiri memiliki efek yang berbeda.
Pintu lift sudah tertutup, membawa suami Rani dan wanita yang tidak dikenalnya. Dia terpaku cukup lama. Menahan dirinya sendiri agar tidak membatalkan janji, dia menyusuri lorong apartemen dengan hati berat. Yang belum disadarinya, peristiwa itu akan mempengaruhinya dalam membuat keputusan suatu saat nanti. Kelak.
Dengan keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang, dia sampai di depan pintu apartemen Irwan. Inilah penghiburan yang mungkin bisa didapatnya. Mereka akan pergi berkencan malam ini; menonton film di bioskop lalu diakhiri dengan obrolan sepanjang malam ditemani minuman dingin.
Dia mengetuk pintu cepat, bukan ketukan pelan yang menyiratkan kehati-hatian.
Tanpa bermaksud sungguh-sungguh merapikan lipatan-lipatan kecil di gaunnya, dia menunggu pintu dibukakan. Dia sudah meny iapkan senyuman terbaiknya ketika pintu dibuka dan istri Irwan, Rosa, berada di baliknya.
"Apa itu Melisa, Sayang?"
Suara Irwan terdengar terlalu lantang.
Rosa membenarkan.
Dia mencoba membaca situasi.
"Syukurlah kau segera datang. Aku sudah memeriksanya. Ada yang harus diperbaiki termasuk beberapa yang tidak cukup relevan. Aku benar-benar minta maaf memintamu datang malam-malam begini. Tapi, yah, Tari bilang anaknya sakit sedangkan kami juga harus buru-buru karena ayah mertuaku sakit."
Irwan menyerahkan map ke tangannya.
Dia sudah paham situasinya.
"Tidak masalah. Kami akan memperbaikinya besok pagi dan akan mengirimkannya via email," katanya sambil menerima map.
Permintaan maaf Irwan dilanjutkan oleh Rosa. Katanya seharusnya mereka mempersilakan dia masuk namun mereka harus bergegas dengan menambahkan kalau mereka belum mengemas apapun.
"Aku ahli dalam berkemas. Aku bisa membantu kalian, kalau diperbolehkan."
Dia berhasil meyakinkan mereka - istri Irwan khususnya - ketika dia bertanya bagaimana dengan kencannya sembari melirik gaun yang dia kenakan. Dia menjawab bahwa berkemas tidak akan memakan waktu lama dan temannya pasti akan mengerti.
Setelahnya dia diajak masuk sedangkan Irwan berdalih akan membereskan meja kerjanya dan mengemas apa yang sekiranya perlu, menghindari kemungkinan terjebak di antara istrinya dan dirinya. Koper terbuka di atas tempat tidur, baru terisi beberapa lipat pakaian. Di sampingnya, tumpukan baju menunggu untuk dimasukkan. Dia yang bertugas memasukkan dan menata barang-barang ke dalam koper, Rosa sibuk mengeluarkan ini itu yang dirasa perlu, dari dalam lemari.
Mereka bekerja dengan cepat. Sembari memasukkan baju-baju, dia menyarankan apa yang harusnya dibawa dan apa yang tidak perlu, misalnya ketika Rosa akan memasukkan beberapa helai handuk. Dikatakannya dengan sesopan mungkin bahwa itu tidak perlu karena orang tuanya pasti sudah menyediakan handuk di rumah. Rosa membenarkan dan berkata dia tidak sering bepergian dengan nada yang menuntut pemakluman. Mungkin hanya perasaaannya.
Rosa cukup menyenangkan. Dia bicara dengan nada yang lembut dan sering tersenyum. Tipe yang dengan cepat disangka memiliki kehidupan yang bahagia. Diapun akan menyangka begitu. Terlebih dari tempatnya duduk mengemas, dia bisa melihat foto pernikahan mereka. Tampak Rosa yang memakai gaun putih dan rambut yang digerai rapi, tersenyum ke arah kamera. Namun dia mengetahui apa yang tidak orang lain tahu tentang pernikahan mereka. Untuk sekejap dia diliputi perasaan puas yang aneh.
Rosa sempat menanyakan kehidupan asmaranya.
"Kebanyakan lelaki yang kutemui terlalu merepotkan, ingin tahu apa yang kulakukan dalam 24 jam."
Melihat eskpresi terkejut Rosa, dia sadar sudah terlalu serius menjawab pertanyaannya yang sebenarnya hanya berbasa-basi.
Tidak sampai lima belas menit kemudian mereka selesai berkemas. Cukup banyak yang dibawa, satu koper ditambah satu tas jinjing. Menilik dari banyaknya yang dibawa, sepertinya mereka akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Bisa jadi menjenguk ayahnya yang sedang sakit hanya alasan yang dibuat-buat.
Mungkin dia berburuk sangka.
Rosa mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf karena sudah membantunya yang berarti membuat teman berkencannya harus menunggu. Dia menatap Irwan, mencoba mencari tahu apa tanggapannya dari sorot matanya tapi sayang, Irwan sedang menatap ke arah lain. Mereka berpisah di lobby. Dia keluar dari lift, mengucapkan selamat tinggal. Irwan sempat mengucapkan terima kasih dengan nada serak yang aneh dengan eskpresi yang sulit dibaca hingga pintu lift tertutup dan membawa mereka ke basement.
Dia baru bisa mengecek isi map ketika sudah di dalam taksi. Tidak ada apa-apa selain kertas-kertas kosong. Dia beralih mengambil ponsel dari dalam tasnya. Irwan pasti berusaha menghubunginya ketika tiba-tiba istrinya pulang. Benar saja. Ada delapan panggilan tidak terjawab darinya. Dia selalu memastikan ponselnya dalam mode hening ketika bepergian. Irwan pasti cukup frustasi ketika tidak bisa menghubunginya. Seketika dia tersenyum getir.