Tepat jam pulang kantor, hujan turun deras hingga membuatnya nyaris murung. Untungnya dia berhasil sampai di apartemen dengan pakaian yang masih lumayan kering. Hanya sepatunya yang sedikit basah akibat terpaksa menerjang hujan.
Setelah berhasil masuk dengan susah payah karena lagi-lagi lupa dimana menaruh kunci, dia langsung meletakkan tas belanjaannya di dapurnya yang sempit. Iya, dia sempat mampir berbelanja di supermarket yang tidak terlalu besar tapi menyediakan bahan makanan yang cukup lengkap. Satu setengah jam lagi Irwan datang. Masih cukup waktu untuk membereskan kekacauan yang dibuatnya tadi pagi namun dia harus bergegas; pertama dia harus membereskan ruang tamu.
Dirapikannya beberapa jilid buku dari meja, lalu diletakkannya berjajar di rak buku yang memanjang- membelah ruang tamu dan kamar tidur. Setelah itu, ditutupkannya laptop yang masih setengah terbuka, tidak begitu yakin apa yang dilakukannya sepagi itu dengan laptop di ruang tamu. Belakangan dia ingat bahwa sepagi itu dia sudah menyelesaikan artikel yang dibutuhkan Rina untuk keperluan lembaga konsultasinya. Dengan memeluknya, dia membawa laptop dan meletakkannya ke meja kerjanya, menyambar handuk basah yang lupa belum dibereskannya dari tempat tidur lalu mendesah putus asa melihat seprai yang ikut basah. Terakhir diangkatnya gelas yang kosong dari meja dan dibawanya ke tempat cuci piring.
Irwan datang terlambat dari waktu yang dijanjikan dengan ujung celana yang basah terkena cipratan air hujan. Selebihnya dia baik-baik saja. Dengan senyum selebar itu, bisa dipastikan tidak ada hal buruk yang menimpanya seharian tadi.
Ah, hujan masih turun. Bahkan lebih deras.
"Aku sudah khawatir, jangan-jangan supnya mengering sebelum kau datang."
"Oke, oke, aku minta maaf. Tiba-tiba saja tadi kuputuskan untuk menyelesaikan laporan lebih dulu. Jadi...."
"Aku tahu, aku hanya bercanda. Ini supnya."
Uap panas mengepul. Tiba-tiba dia jadi kurang percaya diri; mungkin ada bumbu yang lupa belum dimasukkannya, mungkin resep yang dibacanya di internet kurang bisa dipercaya. Namun Irwan tidak berkata apa-apa. Pada suapan berikutnya, Irwan tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Aku kenal dengan suara ini," kata Irwan terlalu tiba-tiba.
Ada lagu yang sengaja dia pasang sejak sebelum dia mulai memasak sekedar untuk menemaninya di apartemennya yang selalu sepi. Volumenya pelan, diletakkan di area rak buku tapi mereka masih bisa mendengarnya. Sejak dipasang, dia ingat sudah mendengar lagu-lagu dari penyanyi favoritnya; Tim McGraw, George Strait, Kacey Musgraves, Brad Paisley, atau mungkin perlu ditambahkan dan lain-lainnya karena dia yakin tidak bisa mendengar apapun selama fokus menakar dan memasukkan bumbu untuk masakannya.
"Ah, Dolly Parton? Siapa yang tidak mengenali suaranya," ujarnya setelah beberapa detik menyimak.
"Bukan, Mel. Ada dua wanita di sini. Jewel? Jewel Kilcher? Penyanyi yang luar biasa, albumnya selalu mendapat pujian dari kritikus kecuali ketika mulai merilis album pop yang mendapat tanggapan beragam. Lalu apa ini? Country?"
Menyoal musik, Irwan jarang seselera dengannya. Tidak, bukan berarti Irwan tidak menyukainya. Dia jarang sekali mencemooh. Kadang dia akan berkata ini bagus atau yang itu lumayan. Di waktu yang lain dia akan ikut bersenandung, namun hal itu hanya karena dia terlalu sering mendengarnya hingga tanpa sadar menghafal bagian tertentu. Folk, alternative, atau terkadang rock tapi tidak pernah country
"Karena duet dengan Dolly Parton dan masuk dalam country charts, jadi ya – kurasa ini country."
"Album pertamanya, Pieces of You luar biasa, Mel. Musik yang bagus, vokal terntu saja, dan liriknya terasa sangat personal, sama dengan lagu ini."
Maksudnya My Father's Daughter.
"Entah disengaja atau tidak, lagu yang kita dengar ini diambil dari album Picking Up The Pieces. Ya, aku tahu apa yang kau pikirkan, seperti...."
Tepat pada saat itu ponsel Irwan berbunyi. Seakan-akan memiliki nada dering yang berbeda, dia tahu istri Irwanlah yang menelepon. Dengan memberi isyarat meminta maaf dengan kedua tangannya, Irwan beranjak menjauh untuk menerima telepon.
"So go ahead pick up your phone...."
Dia bersenandung lirih.
Di seberang, Irwan masih berbicara – atau tepatnya lebih banyak mendengarkan, tersenyum samar sesekali sementara sebelah tangannya meneliti tiap buku yang ada di rak seakan menghafal tiap judulnya. Dia tidak bisa mendengar percakapan mereka tapi intuisinya mengarahkannya agar segera membereskan meja makan. Dalam diam diangkatnya peralatan makan mereka ke bak cuci piring, mengelap beberapa titik air sup yang tidak sengaja terpercik dengan kain lap berwarna hijau lembut yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Ketika Irwan selesai dengan teleponnya, meja makan sudah bersih dan dia bersiap untuk membuat teh panas untuk dirinya sendiri.
"Maaf, Mel."
"Tidak apa-apa. Di luar masih hujan. Mungkin kau akan sedikit basah lagi."
"Kurasa begitu."
Dia mengantar Irwan sampai di depan pintu. Irwan masih sempat berkomentar sambil menunjuk tanaman dalam pot yang diletakkan di samping tempat menyimpan payung- agar jangan lupa menyiramnya dan meletakkannya di balkon minimal dua hari sekali agar terkena cahaya matahari. Dia mengangguk. Setelah bertukar senyum samar, Irwan pulang – berjalan menyusuri lorong apartemen dengan sebelah tangannya membawa payung yang dia yakini masih sedikit basah.
Malam itu dia lupa menyiram tanaman seperti yang dipesan Irwan. Lalu dua hari kemudian ingatan itu datang tiba-tiba, tepat sebelum tanaman itu benar-benar mati.
Penyelamatan yang dramatis.