Itu hari Sabtu yang tenang. Atau begitulah yang dia kira sebelum menerima pesan dari Ayahnya berisi janji temu di rumahnya.
Pulang selalu membuatnya gugup. Ada aturan tidak tertulis yang harus dipatuhinya tiap kali pulang; berdandanlah sepantasnya. Alih-alih memakai lipstik merah kesukaannya, dia akan menggantinya dengan warna nude atau pink pucat. Flat shoes, celana panjang, baju yang longgar, dan parfum dengan wangi yang lembut. Untuk yang terakhir, dia tidak ambil pusing. Toh, dia memang tidak suka memakai parfum.
Ayahnya yang mengundangnya. Bisa dibilang kunjungan rutin. Pada waktu tertentu dia akan menerima pesan singkat berisi janji temu; tanggal, waktu, dan tempat. Tempat untuk bertemu tidak pernah berubah meski tanggal dan waktu selalu sesuai dengan jadwal liburnya. Untuk hal itu, dia menduga ayahnya memilik salinan jadwalnya – entah bagaimana cara mendapatkannya.
Tidak pernah terpikir olehnya bahwa di usianya yang hampir kepala tiga, dia masih merasa kerdil. Tubuhnya seakan menciut bahkan sebelum melewati gerbang. Sikap tak acuh serta keangkuhannya sama sekali tidak membantu.
Ketika dia dipersilakan masuk, dia mencoba mengabaikan perubahan-perubahan kecil yang terjadi; permadani warna cokelat tua sudah diganti dengan warna milo dan vas besar yang dulu diletakkan di samping sofa sudah tidak ada. Sebagai gantinya diletakkan meja bulat kecil. Di atasnya dipajang foto kelulusan adik tirinya – yang tidak dia mengerti kenapa dipajang di situ. Masuk lebih dalam, dia tidak bisa acuh lagi; porselen, bunga palsu, serta foto-foto yang dipajang. Sebagian besar sudah diganti dengan versi yang lebih baru sejak yang terakhir kali diingatnya.
Dia tahu, seharusnya dia tidak mencari dirinya dalam foto-foto itu. Meski akhirnya dia tidak bisa menahan diri, tidak seharusnya dia merasa kecewa.
Sampai di bagian rumah paling ujung, dia bisa melihat ayahnya duduk di salah satu kursi minibar yang berubah total desainnya. Dulu minibar itu bernuansa monochrome; suram, kaku, dan membosankan. Kini dia mengakui desain yang baru yang mengambil warna-warna kayu terang terlihat lebih bagus. Begitu melihat kedatangannya, ayahnya berbasa-basi dengan bertanya apa pendapatnya tentang desain yang baru. Dia menjawab jika desain yang baru terlihat lebih bagus, tanpa melanjutkan bahwa desainnya memberi suasana damai dan lebih santai.
"Bagaimana pekerjaan?"
Dia jawab baik-baik saja.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Namun dia sempat mendengar pekik kegirangan dari lantai atas – pekik kegirangan yang angkuh. Atau begitu kesan yang didapatnya, disebabkan dia baru saja menyusuri ruangan-ruangan yang penuh pajangan foto dengan berbagai latar belakang yang semuanya memamerkan senyum lebar – yang dia akui membuatnya iri. Baiknya, di ruangan tempat mereka sama-sama duduk menghadap minuman panas, berbeda dari ruangan lainnya. Ruangan paling ujung ini sengaja dipilih, dicat putih polos tanpa ada pajangan atau benda lain yang tidak perlu selain satu pot tanaman berdaun runcing. Menghadap ke selatan, pintu geser dari kaca ditempatkan sebagai pembatas antara area rumah dengan taman belakang. Sinar matahari bisa leluasa masuk dari situ, saling memantul dari dinding dan perabot.
"Ini."
Ayahnya menyodorkan sesuatu; undangan pernikahan. Nama adik tirinya tertulis di sana. Pekik kegirangan yang tadi didengarnya pasti berasal dari adiknya.
"Datanglah."
Dia sudah akan menjawab bahwa dia tidak akan datang tapi ingatan tentang suatu sore, fotonya yang terjatuh dari buku yang dibaca ayahnya membuatnya urung membantah. Jadi dia mengambil undangan itu tanpa kata lalu memasukkannya ke dalam tasnya, menenangkan dirinya sendiri bahwa mungkin saja nanti undangan itu tanpa sengaja terjatuh ketika dia repot mengeluarkan sesuatu dari tasnya lalu hilang.
Keramaian tidak pernah membuatnya nyaman. Berada di tengah-tengah banyak orang membuatnya cepat lelah, rasanya seperti mereka menyedot seluruh energinya. Dia akan menjadi lebih pediam di suatu acara, menghindari keharusan beramah tamah, namun bahkan riuh pembicaraan yang didengarnya sudah cukup membuatnya sakit kepala. Kalaupun tidak pulang lebih cepat, dia akan berakhir di pojok ruangan tanpa seorang teman.
Seperti dirinya yang teringat pada keengganannya pada keramaian, undangan itu mengingatkan Ayahnya pada hal lain.
"Kau juga, Mel, dengan Irwan. Kau tahu maksudku, kan? Sudah saatnya..."
Bagi sebagian besar orang, mengutarakan maksud dengan perkataan yang tepat cukup menyulitkan sehingga sering mengakhiri perkataan itu menggantung tanpa tanda baca. Meski begitu, dia kira dia paham apa yang dimaksud ayahnya. Dan walaupun dia tidak setuju, tidak ada yang bisa dimenangkan dari perdebatan yang mungkin terjadi. Sekali lagi dia memilih diam, mengangguk singkat tanda setuju.
Namun tak urung perkataan ayahnya tersebut memenuhi pikirannya dalam waktu yang lama; percakapan remeh temeh lainnya, cangkir-cangkir yang berdenting ketika dia mencoba mencucinya, ucapan agar berhati-hati di jalan dari ayahnya, kemacetan yang menghambat laju taksi yang ditumpanginya, bunyi gemericik air dari shower disusul wangi kayu manis dari sabun mandinya, malam yang sudah turun, lalu ketukan pintu pelan.
Ada seseorang mengetuk pintu apartemennya.