V

49 5 2
                                    

Ketukan itu pelan, tepat ketika dia bermaksud mengisi ulang cangkir tehnya yang sudah kosong. Pukul sebelas lewat. Siapa yang bertamu tengah malam begini?

Ketika dia masih menduga-duga, ketukan itu terdengar lagi, terlalu pelan hingga terdengar lesu atau mungkin yang mengetuk merasa tidak enak hati karena bertamu malam-malam – siapapun itu. Betapa terkejutnya dia ketika membuka pintu.

"Irwan?"

"Hai, kau terlihat kaget. Tapi boleh aku masuk dulu?"

"Oh...ya, tentu."

Dia membuka pintu lebih lebar supaya Irwan bisa masuk.

"Kau mau minum apa? Aku tidak punya kopi."

"Aku juga sedang tidak ingin meminum sesuatu dengan rasa yang tajam, Mel, teh saja."

"Teh hijau atau teh hitam?"

"Teh hitam."

Di dapur kecilnya, dia membuat teh dalam diam namun benaknya penuh pertanyaan. Baru kali ini Irwan datang tengah malam, baru kali ini juga dia datang di sabtu malam. Tentu ada yang tidak beres. Sebenarnya hanya ada satu kemungkinan, yang dia endapkan jauh di dalam dirinya.

"Ini."

Pelan-pelan dia meletakkan cangkir berisi teh panas di atas meja. Irwan berdiri menghadap rak buku persis seperti terakhir kali dia menerima telepon dari istrinya, jari-jarinya juga kembali menyusuri tiap jilid buku. Namun Irwan berbalik dengan cepat mendengar denting cangkir yang beradu dengan meja.

"Apa yang kau lakukan sebelum aku datang?" tanya Irwan setelah menyesap teh panasnya dan dengan hati-hati meletakkan ponselnya di atas meja.

"Tidak ada."

Dia berbohong.

Lantas ada keheningan yang dingin. Mereka menyesap teh masing-masing tanpa suara. Keheningan itu membuat kegelisahan Irwan tampak mencolok; dia memandangi ponselnya lalu menyesap teh secara berganti-ganti dan berulang-ulang. Dia menangkap semua itu dari sudut matanya kemudian mencoba abai.

Untuk kesekian kali, setelah pengulangan yang itu-itu saja, pandangan mereka bertemu. Entah untuk alasan apa, dia merasa kurang nyaman. Seperti memergoki seseorang yang melakukan tindakan kurang pantas, keduanya merasakan perasaan tidak nyaman yang sama. Dia mengalihkan pandangannya cepat ke arah meja makan tepat di seberang mereka. Terdengar gumaman permintaan maaf dari Irwan.

"Kau bisa meneleponnya. Sungguh."

Ternyata Irwan tidak menjangkau ponsel seperti yang dia kira. Setelah berdehem pelan, katanya mereka baru saja bertengkar – Irwan dan istrinya, tanpa menceritakan detailnya. Istrinya mengepak pakaian dan belum meneleponnya hingga sekarang. Dia enggan, juga tak ingin tahu lebih lanjut mengenai rumah tangga mereka jadi dia memilih untuk tidak mengucapkan kata-kata penghiburan. Sebagai gantinya, dia menggenggam tangan Irwan erat. Keresahan Irwan mengganggunya meski simpati yang ditunjukkannya terasa dangkal.

Perkara itu membuat mereka terdiam lagi. Irwan yang pertama bersuara, menanyakan hal lain,"Hari ini apa yang kau lakukan?"

Pertanyaannya terasa janggal.

"Mmm...aku pulang."

Kali ini giliran Irwan yang menggenggam tangannya erat.

"Hei, tidak perlu khawatir. Aku tidak apa-apa. Adik tiriku akan menikah dan mereka memintaku untuk datang."

Dia tidak melanjutkan bahwa ayahnya juga menyinggung hubungan mereka.

"Kau akan datang?"

"Entahlah. Aku tidak ingin datang tapi sepertinya tindakan itu tidak benar. Apa menurutmu aku bertambah tua? Maksudku, sebelumnya aku tidak pernah ragu-ragu untuk tidak datang di acara-acara seperti itu, kenapa kali ini harus berbeda. Bukankah aku sekarang terlalu banyak menimbang-nimbang?"

"Kau pasti sedang bercanda." Irwan tergelak sebentar, lalu lanjutnya,"Aku yakin kau sering memikirkan banyak hal dengan serius. Jangan membantah, itu yang sering aku lihat darimu, Mel. Aku jadi heran kenapa kau menyukai country, bukannya jazz."

"Irwan, itu tidak relevan."

"Memang tidak tapi aku sedang ingin mendengarkan lagu kesukaanmu," katanya lalu beranjak cepat menjangkau ponsel di rak buku, memilih lagu secara acak. Sebentar kemudian mulai terdengar musik mengalun.

Bless the Broken Road dari Rascal Flatts mulai memenuhi ruangan dengan instrumen dominan piano. Disangkanya Irwan akan duduk kembali dengan membawa beberapa jilid buku tipis untuk dibaca. Mereka akan sama-sama hening tanpa perlu merasa kikuk atau bosan, seperti biasanya. Namun Irwan justru mengulurkan tangan ke arahnya. Dalam sekejap tangan Irwan sudah merangkul pinggangnya, sedang tangannya dikalungkan di leher Irwan dengan santai. Dalam waktu singkat, mereka lupa akan keresahan masing-masing. Saling menghibur atau saling menertawakan lelucon yang tidak lucu.

Sisa malam itu mereka habiskan dengan menertawakan hal-hal tidak penting lainnya.

OPSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang