Two Worlds Apart (Three)

222 15 0
                                    

Cuaca di siang bolong yang menyengat ditambah dengan ocehan dosen yang monoton membuat perut jadi keroncongan dan mata digelayuti rasa kantuk yang amat sangat. Kudapati sebagian besar mahasiswa di sini sibuk dengan urusan masing-masing ketimbang memperhatikan Pak Dirman yang sedang menerangkan materi. Bahkan Don, cowok indo yang tampangnya mirip dengan Eddie Cahill sampai tertidur di bangkunya yang terletak di pojok ruangan. Oke, aku mengaku bahwa aku salah satu dari mereka. Sedari tadi tak ada satupun kata yang masuk ke otakku karena pikiranku melenceng ke arah lain.

Namaku Kiara Dirgantara, umurku dua puluh tahun. Aku adalah anak dari pasangan Rafael Dirgantara dan Revanya Soedibyo yang pernikahannya tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Aku mempunyai seorang kakak bernama Daniel Dirgantara yang lebih tua empat tahun dariku. Mamaku meninggal saat aku baru berumur dua tahun, lalu disusul oleh papa yang juga meninggalkan kami dua tahun kemudian. Setelah itu kami diasuh oleh Oom Alex dan Tante Widya, sahabat papa dan mama karena baik di pihak Keluarga Dirgantara maupun Keluarga Soedibyo tak ada yang mau mengasuh kami. Baik aku maupun Danny—panggilanku kepada Daniel—sih oke-oke saja. Sekeras apapun mereka menolak kami, mereka tidak akan pernah bisa menyangkal bahwa di tubuh kami mengalir dua darah, yaitu darah Keluarga Dirgantara dan darah Keluarga Soedibyo.

Tapi bukan itu yang membuatku galau. Aku galau karena Danny, kakakku yang jelek itu—eh, nggak, ding. Danny nggak jelek. Ganteng banget malah. Jika dilihat secara seksama, wajahnya mirip sekali dengan Fabio Ide, model blasteran Brazil-Jepang yang bodinya greget dan seksi abis itu. Aku bahkan pernah menghayal bahwa Danny sebenarnya adalah anak hasil hubungan gelap mamaku dengan Fabio (yang nggak mungkin banget. Bayangkan saja, mamaku lahir tahun ’68, sementara Fabio masih muda banget). Kadang aku juga berpikir mengapa Danny tidak jadi model saja. Kan menjadi model tidak beresiko tinggi seperti menjadi detektif swasta.

Okelah, back to topic. Sudah dua hari kakakku yang ganteng itu menghilang. Dan setelah dicari oleh Kak Rey—sahabat Danny yang ganteng dan keren abis serta mampu membuat jantungku seolah mau naik ke tenggorokanku—dan rekan-rekannya di BEPIA, Danny diculik oleh sindikat perdagangan organ tubuh yang telah menewaskan ayahku enam belas tahun lalu. Bagaimana aku tidak sedih? Di masa kecilku aku harus hidup tanpa kedua orang tua kandungku. Kini kakakku, satu-satunya keluarga yang kumiliki juga terancam akan meninggalkanku. Ditambah kata Kak Rey ada kemungkinan aku juga diincar oleh mereka. Enak saja, dikiranya aku semudah itu apa untuk ditangkap? Salah besar! Huh, kalau saja mereka sudah ditangkap, aku akan memutilasi mereka, lalu dagingnya akan kuberikan kepada Sumanto—manusia kanibal yang dulu sempat menjadi topik fenomenal di Indonesia—dan sisanya akan kuberikan pada anjing tetangga. Kalau bisa.

Sialan. Aku jadi marah betulan. Oh, rasanya ingin sekali melempar meja atau kursi entah ke siapa dan...

“ Kiara, kamu mengerti apa yang saya jelaskan?” suara Pak Dirman yang sangar menggema ke seluruh ruangan. Aku mendongak dan mendapati tatapan tajam ala Pak Dirman tertuju kepadaku.Shit. Seharusnya jika ingin melamun, aku harus memperhatikan sikon dulu. Pak Dirman bukanlah tipe orang yang mudah memaafkan jika salah seorang muridnya terang-terangan tidak memperhatikannya. Kuedarkan pandangan sekilas ke seluruh ruangan. Wajah para mahasiswa yang sebelumnya mengantuk kini menjadi tegang. Begitu juga dengan Don, yang mendadak menjadi segar bugar.

“ Kamu itu kalo belum pinter jangan sok-sokan begitu. Belagu banget, pake nggak memperhatikan dosen segala,” ya, seperti yang sudah-sudah, Pak Dirman akan memberikan ceramah panjang lebar. Sebenarnya aku ingin sekali berdiri dan berkata, “ ngaca dulu, dong, pak! Bapak itu kalo ngajar monoton banget. Tadi Don juga ketiduran di pojokan dengerin ceramah bapak!”, tetapi aku menahan diri. Bisa berabe kalau aku kelepasan. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari kampus.

“ Sebagai hukuman, keluar dari kelas sekarang!” perintah Pak Dirman. Aku hanya bisa pasrah. Akhirnya, aku keluar dari kelas dengan wajah bete.

                                                            ***

Two Worlds ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang