Bonus Story: Meant To Be?

190 19 9
                                    

Aku menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Angin berhembus cukup kencang, membuatku harus merapatkan jaket agar tidak kedinginan. Saat ini aku dan Kak Rey sedang duduk-duduk di undakan depan kampusku. Entah mengapa selepas acara traktiran ulangtahun Diandra, ia membawaku kesini. Sudah tiga puluh menit kami diam-diaman di sini.

“ Kak...” panggilku memecahkan kesunyian, “ kita mau ngapain di sini?”

Kak Rey menoleh. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. Tatapan matanya terarah padaku, membuat jantungku berdetak jutaan kali lebih kencang.

“ Ada yang mau aku omongin sama kamu, Ki.” Jawabnya pelan.

Dahiku sedikit berkerut. “ Emang kakak mau ngomong apa?”

Mendengar pertanyaanku, senyum Kak Rey langsung memudar. Tatapan matanya berubah menjadi tatapan ragu. Kemudian ia memalingkan muka ke arah lain.

“ Aku salah omong, ya?” tanyaku lagi.

“ Nggak kok, Ki.” Kak Rey kembali menoleh padaku. Ia menghela napas berat, seolah ada beban yang menghimpit dadanya. Setelah beberapa tarikan napas, ia memberanikan diri untuk menatap mataku langsung. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Dibukanya kotak itu dan tampaklah sebuah cincin emas.

“ Ki,” panggilnya dengan suara sedikit bergetar, “ kamu mau nggak nikah sama aku?”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku terpaku. Benarkah apa yang kudengar ini? Kak Rey, orang yang selama ini aku sukai melamarku? Ini bukan mimpi, kan? Aku mencubit pahaku dengan keras. Aw, sakit. Berarti ini bukan mimpi.

“ Ki?” panggilnya sekali lagi, membuatku tersadar.

“ Eh, iya?”

“ Kamu mau nggak nikah sama aku?”

Aku tak tahu harus berkata apa. Kenapa Kak Rey mendadak melamarku begini?

“ Nggak, nggak, nggak. Ini nggak bener.” Aku menggelengkan kepala. “ Kenapa tiba-tiba kakak ngelamar aku?” aku bertanya tanpa bisa menahan rasa ingin tahuku.

“ Jadi begini, Ki. Di lingkungan rumahku, cowok-cewek seumuranku udah pada nikah. Tinggal aku aja yang belum. Nah, karena aku nggak pernah bawa cewek ke rumah, tetangga pada ngira kalo aku ini homo. Dan mama mendesak aku untuk segera nikah.”

Jleb. Perkataan Kak Rey benar-benar menusuk hatiku. Jadi ia melamarku karena ia diharuskan cepat menikah? “ Cuma itu alasannya?”

“ Nggak, Ki...” Kak Rey menggeleng. “ Aku juga ngelamar kamu karena... karena sebenernya aku udah suka sama kamu sejak tiga tahun yang lalu.” Lanjutnya malu-malu.

Oke, jantungku benar-benar copot sekarang. Ya ampun... jadi selama ini Kak Rey menyukaiku? Jadi selama ini perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan? Ya ampun...

Tapi... menikah? Di usiaku yang masih dua puluh tahun ini?

Aku menggigit bibir. Kutatap cincin emas tersebut. Haruskah aku menerima lamarannya?

Aku sudah memutuskan. Kututup kotak tersebut perlahan, lalu kuberanikan diri untuk membalas tatapan bingung Kak Rey. “ Maaf, kak, aku belum siap nikah.”

Raut wajah sahabat abangku ini berubah murung. Aku menepuk-nepuk bahunya, berusaha menenangkan.

“ Nggak apa-apa, kak. Kalo seumpamanya kakak bersedia nunggu dua-tiga tahun lagi, mungkin aku bakalan siap.”

Kak Rey menggeleng. “ Nggak bisa, Ki. Kalo kamu nggak bersedia nikah sama aku, aku bakalan dijodohin sama anak temen mamaku.”

Holy crap! Makiku dalam hati. Sumpah, aku benci ini. “ Kok gitu?”

Two Worlds ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang