8

1.8K 174 26
                                        

Setiap manusia punya variabel momen yang berbeda dalam diri masing-masing.
Ketika kita mengenal seseorang, kita mengingat mereka dalam momen paling berkesan kita bersama mereka.
Begitulah bagaimana kita menyimpan memori mengenai orang-orang di sekitar kita.
Dan begitu juga bagaimana scene yang kita bayangkan muncul dalam otak kita saat merindukan mereka.

Ketika merindukan Eros, aku teringat dengan botol-botol wine, sonata Vivaldi yang mengalun lembut, dan obrolan tentang hati.

Ketika merindukan Minerva, aku teringat dengan xbox di apartemennya, hot chocolate plus marshmallow buatannya, dan tawanya yang sok saat mengalahkanku.

Ketika merindukan Ve, aku teringat dengan lampu-lampu kota yang membulat di kejauhan, udara dingin menggigil yang membuatku ingin menggenggam tangannya, senyumnya yang membuatku merasa bersyukur, dan kedua matanya yang membuatku bisa lupa ingatan.

Asal kalian tahu, kedua mata miliknya itu sungguh sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Bola matanya cokelat kehitaman. Sama dengan gadis-gadis southeast asia lainnya. Tapi di dalam matanya ada sesuatu yang nggak akan aku temukan dalam mata orang lain.

Jika harus mendeskripsikannya, aku hanya bisa mengatakan bahwa kedua matanya itu berkilauan seperti kristal. Orang-orang mengatakan bahwa mata adalah cerminan jiwa pemiliknya. Maka dapat aku simpulkan bahwa jiwanya bersih sekali, jelas terlihat dari perilakunya yang baik pada semua orang.

Kata-kataku nggak akan bisa mendeskripsikannya. Memandangnya secara langsung adalah jawabannya. Siapapun suka memandang kedua matanya, tapi harus penuh kewaspadaan atau dengan cepat akan jatuh cinta padanya.

Bagiku, di dalam matanya ada konstelasi bintang bertebaran. Melayang-layang dengan damai tapi mampu membuat kesadaranku berantakan.

"Bintangnya nggak kelihatan"

Suaranya mengejutkanku. Membangunkanku dari lamunanku yang menggerayang kemana-mana karena aku sedang melihat wajahnya.

"Padahal tadi pagi langit cerah loh..." kakinya bergerak mundur lalu ayunan yang dinaikinya terayun ke depan dan ke belakang.

Kami sedang asyik menaiki ayunan di salah satu sudut alun-alun kota yang gelap. Menggenggam es krim di tangan masing-masing. Mencari kedamaian di sela kesibukan semua orang. Di senin malam, nggak ada manusia iseng ke alun-alun kota untuk menaiki ayunan kecuali kami berdua.

"Aku pengen lihat bintang deh..." lanjutnya, wajahnya menoleh kepadaku. Aku bisa melihat kedua matanya yang entah bagaimana terlihat berkerlip bahkan di dalam kegelapan.

Dengan jahil, aku memberikan respon pendek "Kamu nggak bisa lihat bintang"

"Iya, karena mendung ini kan?"

Aku mulai sulit menahan senyum, "Tapi aku bisa" sanggahku dengan sombong.

Kepalanya celingukan mendongak ke atas langit "Mana? Mana?"

"Disitu" jawabku sambil menunjuk wajahnya. Karena dia masih nggak paham, aku berkata "Aku bisa melihat bintang dalam mata kamu"

Wajahnya langsung memerah, dia sontak menggerutu. Mengatakan bahwa aku ngawur dan nakal. Tapi wajahnya nggak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa dia sedang malu. Salah tingkah.

Ada banyak orang merayu kamu, kenapa kamu hanya malu-malu padaku?


"Kamu tau nggak kalau zaman dulu, saat kompas belum ada, manusia pakai rasi bintang buat penunjuk arah?"

Dia mengangguk. Jemarinya sibuk memutar es krim di tangan agar tidak menetes ke pangkuannya. "Makanya aku nggak pernah membuat harapan waktu lihat bintang jatuh"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Let's Not Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang