Episode 01

4.5K 390 140
                                    



"Memimpikan masa lalu, seperti terjun di dalam kolam penuh kopi dan susu.
Ada pahit karena benci dan ada manis karena rindu. Namun, seringkali orang takut untuk memimpikan masa lalu oleh karena tak ingin lagi terpenjara dalam haru."

[][][][]

Setelah beberapa pekan lalu sekolah diliburkan karena kenaikan kelas, tibalah hari ini rutinitas kembali dimulai seperti biasa. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Tama sudah duduk di bangku kelas sebelas IPA Sekolah Menengah Atas setelah meraih peringkat dua umum. Tak salah jika Tama menjadi salah satu yang terbaik di sekolah, sebab di setiap kesempatan waktunya banyak dihabiskan membaca segala jenis buku terkecuali deretan angka.

"Tama, sudah bangun, Nak? Segera turun ke bawah. Makanan sudah siap!" teriak Ibu dari ruang makan di lantai bawah.

Mendengar namanya dipanggil dari dalam kamar, Tama sadar dari lamunannya dan berdecak, "Iyaaa. Tunggu, Buuu," sahutnya dengan suara keras. Seperti biasa, sebelum ibunya berangkat kantor, pagi-pagi sekali sarapan pagi selalu sedia di meja makan.

Tama beranjak mengambil handuk dan juga alat mandi yang ada di dalam lemari mini persegi miliknya. Namun tanpa sengaja ia menyambar sebuah bingkai potret kesayangannya yang ada di atas meja belajar. Jika tangannya tak meraih bingkai tersebut lebih awal, mungkin saja bingkainya akan terjatuh ke atas lantai dan kaca pun pecah.

Setelah menangkapnya, Tama menatap potret yang ada pada bingkai tersebut. Satu-satunya potret kecil bersama sang ayah yang terlihat bahagia. Senyum Tama yang merekah dengan lesung pipit manisnya, wajah Ayah yang jauh lebih sumringah. Tama mengingat-ingat, saat itu ia masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar.

Melihat wajah sang ayah melalui segenggam potret, entah kenapa pikiran Tama semakin melantur, ia kembali memikirkan ayahnya. Sekeras apa pun hati Tama ingin membenci, sangatlah sulit melupakan kenangan bersama sang ayah. Terlebih lagi hari ini Tama bertemu dengannya dalam mimpi.

Bagaimanapun juga, Tama adalah seorang anak yang tengah beranjak remaja dengan perasaan menggebu-gebu menahan rindu akan kehadiran sosok ayah, atau bisa jadi ia menahan sakit atas kepiluhan yang ditanggungnya selama ini. Tanpa ayahnya pun, Tama tidak akan tahu arti mandiri yang sesungguhnya. Sejak kepergian ayahnya, belakangan ia menghadapi masalah yang menimpa keluarganya satu per satu dengan hanya diam, membiarkan waktu yang menyelesaikan. Tanpanya, Tama tidak akan mungkin terlahir di muka bumi, tepatnya di sebuah rumah bertingkat dua, di simpang jalan yang menghubungkan antara taman komplek Perumahan Anggrek dan juga Toko Serba Ada pinggir kota.

Tama menghela napas panjang lalu bergumam, "Sudahlah, saatnya ke ruang makan. Ibu sudah menungguku".

Tama yang awalnya berniat menuju kamar mandi, ia mengurungkan niatnya dan memilih langsung ke ruang makan.

Menuju ruang makan, sepintas terbayang di benak Tama tentang sang ibu yang kini tengah menyandang gelar 'single parent'. Semenjak suaminya meninggalkannya, semua urusan rumah tangga dan biaya sekolah Tama dan adik-adiknya diurusnya seorang diri. Kadang hal itu yang selalu mengingatkan Tama pada ayahnya, perihal kondisi yang ditinggalkan dan yang meninggalkan, semua berkecamuk dalam pikirannya setiap saat.

"Bayu dan Rahayu mana, Bu?" Tama melempar pandangannya ke tiap sudut ruang makan. "Mereka sudah pada bangun?" lanjutnya sembari menggeser kursi untuk duduk.

"Mereka sudah bangun, mungkin lagi siap-siap. Nggak kayak kamu jam segini belum mandi," tegur Ibu. "Tidak memberi contoh yang baik untuk Bayu dan Rahayu."

Tama mendengkus. "Ayolah, Bu ... ini hari pertama Tama masuk sekolah. Jadi, apa salahnya telat? Lagian juga kelasnya mulai jam sembilan, kok," jawabnya sambil menuangkan sesendok nasi ke atas piring.

When A Son Lives without FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang