2. Pandangan Pertama

305 36 4
                                    

Bel telah berbunyi setengah jam lalu. tapi Khansa dan Marzi belum pulang, di sinilah Khansa mendengar curhatan Marzi yang katanya diganggu oleh murid lelaki di gedung sebelah.

"Dasar pecundang, beraninya hanya dengan perempuan. Sudah Marzi berhenti menangis aku akan membuktikan kepada mereka bahwa perempuan pun bisa membuat mereka menangis" ucap Khansa berapi-api.

"Aku akan ke gedung sebelah." Ucapnya membuat Marzi mengangkat kepala.

"Jangan Khansa, kalau Ibu tahu, Ibu pasti akan menghukum kita." Ucap Marzi mencoba menghalangi temannya itu.

"Tidak, Ibu pasti membela kita. Karena kita melakukan hal yang benar. Kalau kamu diam tanpa melawan, kamu akan selalu mendapatkan ketidakadilan" Ujar Khansa kemudian menuju gedung sebelah.

"Bukan gitu tapi.." belum sempat Marzi menyelesaikan ucapannya, Khansa sudah berlari menjauh.

"KHANSA TUNGGU" Teriak Marzi, Khansa tidak akan mendengarkan Marzi jika tekadnya sudah bulat, ayahnya selalu bilang bahwa jangan biarkan ketidakadilan terjadi di Bumi ini, kalau sampai itu terjadi kamu harus menjadi penegak keadilan itu, ucapan pertama kali saat ayahnya mengajarinya karate agar dia tidak tumbuh menjadi perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Perempuan itu berjalan berapi-api, kalau ayahnya tahu ilmu karatenya dipakai untuk berkelahi maka sudah pasti dia akan dihukum, tapi hari ini adalah pengecualian, pokoknya dia harus memberi pelajaran pada lelaki yang berani menganggu sahabatnya. Hitung-hitung salah satu cara agar bisa menjadikan cokelat milik Marzi menjadi hak miliknya.

Sedangkan Marzi berlari kembali masuk ke sekolah untuk memberitahu Ibu Rindu, takut jika saja terjadi sesuatu kepada Khansa.

***


Sesampainya di depan Gedung sekolah dasar khusus laki-laki. Khansa melihat gerombolan pria seusianya di depan gedung.

"SIAPA DISINI YANG BERNAMA MAUZA?" Teriaknya, dia hanya mendapat kernyitan dari gerombolan itu.

"Kenapa kalian diam saja?" Tanyanya.

"Apa kalian tuli? Ayo jawab" teriaknya lagi

" SIAPA YANG BERNAMA MAUZA DISINI?" Teriak Khansa lagi, semua anak-anak di sana hanya menatap bingung anak kecil berjilbab panjang dengan gamis yang hampir menyentuh tanah begitu berani mendatangi sekolah ini. Sungguh penampilannya begitu imut tapi lagaknya begitu garang sangat kontras perbedaannya.

"Aku.." Khansa berbalik menatap lelaki yang hanya berjarak sepuluh langkah dari dirinya.

"Aku yang namanya Mauza. Kamu siapa? Kenapa mencariku?" Tanya lelaki itu menutup buku hadist yang tengah dipelajarinya. Dari caranya berbicara saja sudah dipastikan bahwa dia tipe anak cerdas yang anti sosial.

Khansa memperhatikan lelaki yang kira-kira sudah menduduki kelas enam atau bisa dibilang satu tingkat di atasnya dengan seksama.

"Oh kamu lelaki pengecut itu?" Semua orang memperhatikan mereka berdua dengan penuh keingintahuan. Sebuah tontonan yang sayang untuk dilewatkan.

"Ups." Khansa menutup mulutnya, lalu tertawa.

"Cih, dasar beraninya cuma sama perempuan doang

"Apa maksudmu?" Mauza mengernyit bingung.

"Kenapa kamu membuat sahabatku, Marzi menangis, apakah kamu tidak pernah diajarkan bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik oleh Ustadzmu, hah?" Ucap Khansa berapi-api kemudian mendorong Mauza.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Mauza karena tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Khansa, menyentuhnya. Seumur hidup bahkan dia tidak pernah diajarkan untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, sedangkan bocah ingusan di depannya malah mendorong tanpa kenal takut.

Bukan Cinta Sederhana (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang