Five

718 184 135
                                    


|•SELAMANYA•|


Langit cerah sore itu.

Devon mendongak, menatap guguran helai-helai daun di atasnya. Decit halus roda penampang badannya terdengar sesekali, memercik sebuah rasa dalam hati, tersisip di balik damai—perasaan kecewa. Kecewa dengan segalanya—nyaris. Termasuk keadaannya sekarang.

"Liat siapa yang bentar lagi lulus dengan kemungkinan besar IPK di atas tiga setengah." Devon memulai percakapan. Matanya berbinar ditimpa lembut mentari senja.

Orang yang ia ajak bicara tertawa.

"Lo sangat-sangat harus dateng ke wisudaan gue, Dev. Di sana gue bakalan nunjukkin; ini, lho, Enggar yang dulunya pernah gagal UN." Pemuda itu, Enggar, kembali terkekeh renyah.

Devon tersenyum. "Gue janji dateng kalo masih sempet."

Mendadak, laju kursi roda yang digunakan cowok berkulit putih itu terhenti. Suasana taman rumah sakit yang cukup senyap membuat embusan napas Enggar terdengar jelas.

"Nggak usah mulai lagi, deh," gerutu Enggar pelan, "Kondisi lo masih bagus, Dev. Buktinya, lo masih dibolehin keluar buat jalan-jalan gini. Gue nggak yakin lo bakal sembuh, tapi gue yakin, lo bisa bertahan."

Satu decakan Enggar kemudian membumbung ke udara sebagai penutup kalimat.

"Entah kenapa ya, Gar, gue jadi inget sesuatu," ujar Devon, mengabaikan nada tidak suka yang barusan dilontarkan Enggar padanya.

"Apa?"

Menarik napas sejenak, Devon sekilas memindai jemari tangannya yang mengurus. "Waktu gue sama Fean nyamperin lo di pos ronda ujan-ujan itu."

Hening. Helaian rambut kedua pemuda itu bergerak-gerak tertiup angin. Mentari condong ke barat lebih dalam, menyadarkan Enggar kalau waktu jalan-jalan Devon sebentar lagi berakhir. Didorongnya lagi kursi roda Devon, kali ini menuju bangunan rumah sakit.

"Gue inget waktu itu abis pengumuman. Lo senasib sama gue, sama-sama nggak berhasil. Niatnya malem itu, gue sama Fean mau cari makan karena lagi males banget nyentuh wajan. Begitu pulang, dengan sangat nggak sengaja gue nemu cowok lagi tidur di pos ronda pinggir jalan. Dan entah gara-gara apa, gue nyamperin cowok itu begitu aja.

"Gue nggak nyangka cowok itu elo, Enggar Satria Aji yang namanya ada di urutan dua setelah nama gue. Yang kata orang-orang berandalan sekolah, ketua geng onar, tapi ada di kelas IPA yang sering dikasih label 'cahayanya sekolah'."

Sementara Devon mengembus napas jeda, Enggar sedikit banyak mempercepat langkah beserta gerak roda dari kursi yang dia dorong. Sepuluh meter lagi gedung itu terjamah, menurut perkiraannya.

"Lo tau nggak, sih, Gar, kenapa gue nolongin lo yang padahal pas kejadian, kita nggak saling kenal?"

Mempertahankan kecepatan gerak mereka, Enggar mencoba fokus. Pertanyaaan Devon melempar pikirannya ke masa lima tahun lalu. Malam dingin di pos ronda, ditemani hujan deras dan pakaian basah.

Sudut-sudut bibir Enggar tanpa disadari tertarik ke atas.

"Mana gue tau. Lo,'kan, belom pernah cerita ke gue tentang yang itu."

Lantai koridor rumah sakit menyambut keduanya. Beberapa perawat tampak mengantar pasien menuju kamar masing-masing, sibuk di lorong-lorong beraroma khas. Senyum di wajah Enggar pudar perlahan. Hatinya dilumuri pedih saat mereka berdua bergerak semakin ke dalam gedung. Ketakutan ikut muncul di cela-celanya; satu percampuradukan yang tidak mengenakkan.

Kurir-Kurir TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang