Three

703 197 122
                                    

|•KILAS BALIK•|

Bag. 2

Suara hujan meredam hening perpustakaan.

Enggar masih menunduk, meletakkan pandangan pada meja panjang di sana. Pak Jas ikut diam, menatap satu per satu tetes hujan di lapangan sekolah. Manik abu-abunya meremang sejenak, kemudian kembali gemerlang seiring dengan sebentuk senyum di wajahnya.

"Kamu tahu Devon Awanggara, 'kan?" tanya Pak Jas tiba-tiba. Matanya teralih memandang sang lawan bicara. Yang ditanyai diam, tetap menundukkan kepala. Mematung.

"Namanya Antonius Devon Awanggara. Kelas XII IPS 1. Kalau kamu ingat, namanya ada di atas namamu saat pengumuman ujian." Pak Jas melanjutkan bicaranya. Enggar menahan napas, entah karena apa. Memorinya menjelajah peristiwa di mana Devon muncul di hadapannya secara mendadak, sesuatu yang sama sekali tidak dia sangka. Rangkaian detik demi detik kilasan itu membungkam mulut Enggar. Bergeming sembari menunggu kelanjutan kalimat Pak Jas.

"Anak itu pendiam. Pendiam sekali. Tatapan matanya lurus ke depan, kokoh seperti gading. Banyak yang bilang dia pengguna narkoba—mungkin kamu tahu gosipnya. Tapi saya nggak percaya itu. Dan sepertinya, saya benar.

"Saya nggak pernah satu kali pun lihat Devon keliaran malam-malam. Saya bukannya sok tahu, tapi memang seperti itulah Devon. Banyak anak SMA sini yang suka keluar malam-malam, termasuk kamu—dulu. Saya tahu, soalnya saya sering pergi waktu malam, ngopi di warung dekat jalan raya."

Pria dengan sebagian rambut yang sudah memutih itu memutus cerita sebentar. Hela napasnya yang panjang bisa Enggar dengar di antara suara hunjaman air langit. Enggar ikut mengembus napas pelan, mengangkat kepala perlahan. Menatap hujan.

"Devon bukan pengonsumsi barang haram itu. Bapak yakin, sangat yakin. Anak itu baik. Pernah saya lihat sekali, Devon hujan-hujanan di seberang depan sekolah dasar dekat warung kopi. Waktu itu siang hampir sore. Dia hujan-hujanan bareng anak perempuan, masih pakai seragam pramuka—hari Sabtu kalau tidak salah. Mereka lari ke emperan toko, berteduh.

"Itu kejadian setahun lalu. Dan kamu tahu, Enggar?" Pak Jas bertanya. Enggar masih mengunci mulut. Kepalanya bergerak, menggeleng samar.

Dingin merambat ketika sempurna Enggar menegakkan kepala. Tangannya bertaut lagi, melindungi telapaknya dari hawa dingin. Arah matanya masih memaku pada meja, tak berniat untuk beralih.

"Devon jatuh. Terpeleset. Waktu itu saya hampir ketawa sebenarnya, tapi saya tahan. Tangan kanannya tergesek semen teras toko. Lukanya berdarah lumayan banyak, saya bisa lihat dari warung, walaupun cuma samar-samar.

"Hujan berhenti sekitar sepuluh menit kemudian. Saya ngambil motor, mau pulang. Devon masih di sana, sama anak perempuan tadi. Lukanya kelihatan jelas pas saya lewat di depannya."

Enggar menarik napas. Otaknya manerka; apakah gerangan maksud dari rangkaian panjang kalimat-kalimat gurunya itu.

Hujan di luar semakin deras, menimbulkan bunyi yang makin kencang. Angin bertiup, masuk melalui celah pintu perpustakaan yang terbuka. Membuat ujung seragam Enggar bergerak, begitu juga rambut berwarna kecokelatan miliknya.

"Seminggu lewat tiga hari setelahnya di sekolah, Devon datang ke perpustakaan. Luka di tangan kanannya belum sembuh. Baru agak mengering. Saya kaget, berusaha untuk cari tahu. Karena umumnya, luka begitu udah hampir kering sempurna.

"Tapi sayangnya sampai sekarang, saya baru bisa nerka-nerka." Pak Jas membuang napas. Bisa Enggar dengar meski lirih, kalah oleh lebat hujan di luar sana.

Enggar ikut menerka. Ada dugaan pada dirinya kalau Devon adalah pengguna narkoba sungguhan. Namun selama lebih dari lima bulan Enggar tinggal di rumah Devon, tidak ada tanda-tanda keberadaan obat-obatan terlarang itu di sana.

Kurir-Kurir TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang