Two

918 221 148
                                    

|KILAS BALIK|

Bag. 1

Di luar gerimis.

Enggar menangkupkan kepala di atas meja, kemudian membuang napas pelan. Suara rintik air langit terdengar jelas, mengisi kesunyian kelas yang hanya didominasi ocehan merdu Bu Diya. Pelajaran Kewarganegaraan membuat sebagian besar—nyaris seratus persen—siswa kelas XII IPA 3 lebih memilih beraktivitas secara pasif—mendengarkan, melamun, dan yang lebih parah lagi; tidur di kelas seolah-olah tidak ada hal yang perlu dilakukan sama sekali. Sedangkan sisanya, memilih untuk mengobrol dengan bisikan halus yang nyaris memberi kesan kegiatan komunikasi melalui gerak bibir.

Membosankan.

Jujur saja, Enggar bosan. Mempelajari materi 'bekas' membuat kepalanya penat. Toh sebenarnya, ingatannya masih cukup bagus dalam menampung bahan ajar kelas dua belas kemarin. Materi hasil dari 'acara' insyafnya ketika mendekati Ujian Nasional pun masih mampu diingatnya dengan presentase sekitar tujuh puluh persen ke atas—yang sisanya entah pergi ke mana.

Enggar mengangkat kepalanya sedikit, melirik jam dinding di atas papan tulis. Pukul satu siang lebih sekian menit. Jam pulang sekolah masih sekitar sembilan puluh menit lagi. Dihelanya napas pendek, lalu kembali menangkupkan kepala.

Bu Diya mulai menuliskan materi di papan tulis, membuat beberapa gelintir siswa 'bermakmum' menggores tinta di buku masing-masing. Dengan kadar kemalasan di atas rata-rata, Enggar membuka buku tulis. Diambilnya pena hitam di laci meja, lantas ikut membuat catatan. Matanya diam-diam bergerak melirik Seno, teman sebangkunya yang menjabat sebagai ketua murid. Catatan anak itu sudah memenuhi beberapa baris, menyiratkan kalau sang ketua murid memang tipikal siswa kesayangan guru.

Lagi-lagi, Enggar menghela napas, kali ini sarat akan perpaduan bosan dan malas yang hampir tidak terbendung. Jemarinya menghias baris demi baris buku tulis dengan gerakan lambat yang semakin parah. Dagunya berpangku pada meja, membuat posisi menulisnya terkesan tidak efektif sama sekali.

Lalu tanpa disangka-sangka, Bu Diya mengarahkan penggaris kayunya ke bangku mereka. Enggar refleks menegakkan punggung. Sementara itu, Seno tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa terganggu barang sedikit pun.

"Enggar Satria, coba kamu jawab pertanyaan Ibu tadi."

Nada perintah Bu Diya terdengar tegas dan tenang tanpa bentakan. Enggar mengernyitkan dahi. Alisnya nyaris bertemu atas dasar rasa heran. 'Pertanyaan' katanya?

"Saya nggak denger Ibu tanya apa-apa dari tadi," ucapnya jujur. Bu Diya memandangnya datar. Bibirnya membentuk senyum miring serupa seringai. Kelas yang hening mendadak dipenuhi bisik-bisik lirih mengerubung.

"Kamu nggak perhatikan Ibu, ya?" tanya Bu Diya sinis. Enggar hampir memutar bola mata. Sejak kejadian keparat di hari pengumuman ujian itu, sembilan puluh persen lebih sekian-sekian warga sekolahnya menganggap Enggar sebagai parasit yang tak pantas hidup.

Cih.

Kegagalan toh hal yang wajar. Begitu kata kepala sekolah saat sesi wejangan Upacara Bendera beberapa bulan menjelang ujian. Ketika itu pun, Enggar bisa melihat bahwa guru-guru ikut mengangguk tanda setuju.

Lantas apa kesalahannya? Apa semua ini salahnya kalau ia gagal? Kalau boleh memilih pun, Enggar juga tak akan sudi mengulang kembali satu tahun untuk belajar di tingkatan yang sama.

Dan kalau boleh memilih lagi, Enggar tidak ingin bersekolah di sini. Atau di sekolah mana pun juga.

Pepatah bilang kalau kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Enggar percaya hal itu. Sejak tahun ajaran 2008/2009 dimulai, tak pernah sekalipun dirinya pergi membolos, membuat masalah, ataupun tidur di kelas seperti dulu. Enggar mengejar satu hal, suksenya yang tertunda.

Kurir-Kurir TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang