She's Come #2

14.2K 1.1K 16
                                    

She's come

PRILLY

“Hai menantuku. Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah mengandung cucuku?” belum sempat bokongku menyentuh kursi, pertanyaan Rena— Ibu Ali sudah mengintrupsiku. Aku menghela nafas. Pertanyaan ini akan selalu saja menyudutkanku.

“Kami masih berusaha.” Ali bersuara. Merangkul pinggangku posesif.

“Aku tidak bertanya denganmu, Aku sedang bertanya dengan menantu kesayanganku.”

“Belum,” jawabku menunduk. Menatap butiran nasi yang memenuhi piring didepanku.

“Kau sebenarnya mandul atau bagaimana?”

“Ibu!” Ali berseru. Sedangkan ibunya sedang menatapku sinis.

“Kau diamlah!”

“Sudah lima bulan lebih kalian menikah! Sampai sekarang belum ada juga tanda-tanda kehamilan. Jadi apa salahnya Aku mengatakannya?”

“Jika ibu datang kemari hanya untuk berdebat denganku, lebih baik pergilah!” Ali menatap tajam kearah ibunya. Aku benci situasi seperti ini. Mereka selalu saja mendebatkan kehamilanku.

“Kau mengusirku? Apa perempuan jalang ini yang mengajarimu seperti ini?” Aku menutup mataku kuat. Jalang? Dadaku rasanya sangat sesak mendengarnya.

“Ibu! Cukup!” Ali berteriak. Kurasakan tanganku ada yang menggenggam. Kulirik kebawah, Ali sedang menggengamku. Memberi ketenangan untukku.

“Kau sudah berani meneriaki ibumu? Baiklah, Ibu akan pulang!” Ibu Ali bangkit dari duduknya kemudian melongos pergi tanpa berucap apapun.

“Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan.” Ali mengecup pelipisku singkat, kemudian bangkit dari duduknya dan beranjak pergi.

Makan malam ini hancur. Bahkan bukan hanya sekali saja seperti ini. Aku menatap malas piring yang berjejer di meja. Tidak jauh berbeda dengan nasibku saat ini. Mengenaskan!

***

Tidak ada aktivitas apapun yang kujalani selama lima bulan belakangan ini. Tepatnya, setelah menikah dengan Ali. Dia tidak memperbolehkanku lagi untuk bekerja di tempat auntinya.

Biasanya, seperti siang saat ini. Aku akan pergi ke kantor Ali, mengantarkan makan siang untuknya. Namun tidak dengan satu minggu ini. Aku enggan untuk mengantarkan makanan untuknya. Bukan karena aku malas, melainkan karena perempuan itu. Aku tidak tau, dan tidak ingin tau namanya.

Saat itu, setelah mengantarkan makan siang untuk Ali. Tidak sengaja mataku menatap dua orang yang sedang bercumbu mesra di dalam mobil. Dadaku sesak. Mataku memanas. Aku tau. Itu mobil Ali. Dan dua orang didalamnya, aku yakin pria yang sedang duduk di kemudi itu Ali. Dari garis wajahnya, bisa dengan cepat aku menebaknya.

Tanpa sepengetahuan keduanya, Aku langsung beranjak pergi. Hatiku terlalu sakit. Setelah kejadian itu, aku selalu beralasan jika sedang tidak enak badan atau sedang ada urusan.

Seperti hari ini, aku akan beralasan lagi. Ku ambil ponsel di meja sebelahku. Mengirimkan pesan pada Ali.

‘Aku akan menemui temanku. Boleh tidak? Maaf tidak bisa mengunjungimu. 😥’

Sebenarnya ini bukan sebuah alasan. Aku memang sedang ingin menemui temanku. Gritte. Aku merindukannya.

Belum sempat beranjak. Ponselku sudah bergetar, Ali membalas pesanku.

Tidak apa. Pergilah. Hati-hati 😘❤’

Aku tersenyum membacanya. Selalu seperti ini. Mengingat Ali, membuat sekelebat bayangan Ali yang sedang bercumbu dengan perempuan lain membuatku kembali sesak. Ya Tuhan!

IT'S TOO HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang