Hurt Me #4

12.3K 1K 28
                                        


Hurt Me.

Setelah semua janji itu diucapkan. Langkah kaki ini membawaku pergi. Pergi menjauh dari tempat ini, kalau perlu sejauh-jauhnya.

Langkahku terhenti pada kursi putih panjang di samping pembatas jalan. Rasanya kakiku tidak mampu menopang tubuhku lagi. Terlalu banyak menopang beban hidup sepertinya.

Aku terlalu larut dalam suasana yang kubuat sendiri, hingga aku merasakan kursi yang kududuki bergerak. Sepertinya ada seseorang yang ikut duduk disampingku.

“Kau sedang apa disini?” Tanya pria disampingku. Aku belum menoleh, jadi aku belum tau dia siapa.

“Aku tidak suka pestanya,” jawabku serak. Pandanganku masih lurus. Menatap jauh kedepan.

“Kau tidak suka pestanya apa orang yang sedang berpesta?” Aku menoleh cepat. Mulutku menganga. Pria ini.

“A—Ali.”

“Kau sedang apa disini, sayang?”

“Bukankah aku sudah menjawab?”

“Kau tidak suka pestanya!” Ali terkekeh pelan. Setelan tuxedo putih masih melekat indah di tubuhnya.

“Lalu kau sendiri, sedang apa disini?” Aku balik bertanya.

“Aku sedang menemui istriku,” jawabnya merapikan anak rambutku yang menutupi wajah.

“Istrimu yang mana?”

“Memang istriku berapa?”

“Sudahlah, lebih baik kau pergi. Perempuan yang baru saja kau nikahi lebih memerlukanmu, dari pada aku.” Aku mati-matian menahan air mata yang mendesak keluar.

“Aku akan kesana jika kau juga kesana!”

“Kau mau aku menonton pertunjukan romantis kalian?”

“Ti—tidak. Ku mohon, ayolah!”

“Kak Ali!” panggilan perempuan itu membuatku dan Ali menoleh. Perempuan itu berjalan dengan Dress pengantin yang sedang jinjingnya.

“Pergilah, perempuan itu membutuhkanmu.” setelah mengatakannya, aku bangkit dari kursi. Berlari menjauh dari mereka.

***

Aku melirik jam kecil di nakas kamarku. Sudah pukul 11.00 malam. Namun, mataku tidak mau terpejam juga. Malam ini, Aku harus tidur sendiri.

Kalian pasti tau.

Malam ini.

Malam pertama mereka. Sudah pasti mereka akan melakukannya.

Dari seberang kamar yang kutempati, Aku bisa mendengar dengan jelas desahan bersaut-sautan memenuhi ruangan biadab itu. Tuhan! Bisakah, kau tulikan aku untuk saat ini saja?

Sebenarnya apa maksud mereka melakukannya disin. Dirumah ini. Kenapa tidak di hotel saja?

Ingin memamerkannya padaku? Rasanya ingin sekali berteriak didepan mereka berdua. Terutama wanita yang telah menjadi istri ke-dua suamiku. Tuhan! Jujur, aku tidak ingin membagi suamiku. Apa aku egois? Kurasa tidak!

Bolehkah aku menyalahkan keadaan?

Bahkan pernikahan ini belum genap satu tahun. Tapi kenapa ibu Ali begitu gencar ingin memiliki cucu?

Aku juga tidak mengerti. Kenapa seorang bayi tidak juga tumbuh di rahimku? Beberapa waktu lalu, aku pernah memeriksakan keaadaanku. Dokter mengatakan Aku normal, sama seperti Ali. Namun, bukankah tuhan sangat baik?

Mataku kembali memanas. Sehari sebelum pernikahan mereka, Ali tak henti-hentinya meninta maaf padaku. Ibunya waktu itu sedang sekarat.

“Tidakkah kau lihat? Keadaan ibu semakin lemah! Kenapa kau tidak juga menuruti keinginan ibu?”

IT'S TOO HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang