Bagian I

9.5K 171 175
                                    

Panggilan memasuki ruang tunggu terminal keberangkatan menggema di seantero gedung terminal 2F Bandara International Soekarno Hatta. Jam menunjukkan 21.00 WIB. Malam ini aku akan terbang bersama "Merpati Airline", satu-satunya maskapai yang menjangkau kota paling timur di negeri ini,  "MERAUKE". Merauke! Yah..., kata yang sebenarnya familiar sekali di telingaku dari sejak SD. Pak R. Suharjo yang memperkenalkannya lewat syair lagu,  "Dari Sabang Sampai Merauke." Lagu wajib nasional yang gapah dan lihai aku nyanyikan, walapun dengan suara parau seperti bunyi angsa dicekik lehernya. Setiap menyanyikan lagu itu, tentu tak sedikitpun anganku kelak akan menjelajahi tempat terbitnya matahari itu, mimpi pun segan. Senyumku terkulum mengingat masa kecilku itu, tentu bukan karena lagu itu tapi serangkaian peristiwa lucu dan konyol dari masalaluku.

Ini adalah hari pesakitanku, menjalani hukuman "tidak layak," dibuang ke Merauke. Aku sedih, karena aku tidak ubahnya "Bapa Komunit Tanah Merah" begitu penduduk lokal memanggil setiap tokoh pergerakan komunis tahun 1926 yang dibuang ke Boven Digul kala itu. Ada kesamaan, aku juga saat ini diasingkan dari komunitas statik dan mapanku di unit bisnis lamaku, juga mesti meninggalkan keluarga untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, karena aku dianggap "nakal" oleh majikanku.

"Mas, mau ke Merauke juga?" tegur seseorang yang duduk di sampingku.

"Oh, iya Mbak...," jawabku sedikit gugup.

Aku tak acuh dengan suara merdu yang menyapa dengan ramah itu. Feedback ku terkesan angkuh, mungkin. Pikiranku masih berkamuk duka, atas hukuman yang menurutku tidak adil.

"Mau ke kota Meraukenya atau ke distrik Mas?," sambung suara indah di sampingku.

"Sepertinya ke distrik Mbak."

"Kok sepertinya?"

"Ya, ini pertama kali aku ke Merauke."

"O, dalam rangka?"

"Di buang!"

Mendengar jawaban dengan intonasi agak keras, pemilik suara merdu itu diam, tidak melanjutkan pertanyaannya. Aku merasa terganggu dengan basa – basinya yang membuat aku repot mesti menjawabnya.

Aku melihat jam di pergelangan tanganku menunjukkan jam 21.30 WIB. Tigapuluh menit lagi boarding ke pesawat yang akan membawaku mengangkasa di cakrawala mahaluas. Selama enam setengah jam efektif di udara antara Jakarta ke Merauke, ini perjalanan terjauhku dalam sejarah "merantau"ku. Aku duduk makin gelisah karenanya. Menurut jadwal besok pagi jam 08.00 WIT pesawat baru akan landing di Bandara Mopah Merauke. Kejenuhan di udara sudah menghantuiku, walaupun belum ku jalani.

Makin mendekati waktu boarding  makin berdesir seonggok daging dalam rongga dadaku. Walaupun ini bulan September tetapi curah hujan sangat tinggi karena dampak la nina yang melanda sebagian besar Nusantara raya. Tidak terbayangkan bagaimana seramnya di angkasa nanti, aku sangat gerogi, gugup, gagap, dan megap-megaplah nafasku. Perempuan di sampingku berdiri, dan aku masih tak acuh terhadapnya.

"Maaf Mas, boleh titip barang sebentar?"

"Ahh, hmm boleh, boleh...," aku tergagap begitu melihat rautnya. Masya Allah manis sekali gadis itu. Uh, dagunya runcing seperti mata tombak, matanya lebar seperti jengkol, rambutnya ikal berombak, hidungnya mancung, bibirnya tipis, bokongnya... Dia berdiri meninggalkanku, turun ke basement. Mungkin mau "pipis", seandainya aku boleh menemani, oh....

Aku kembali ke benakku yang resah. Merauke, memang kata itu tidak asing di kubah memori otakku, tapi sangat misterius di telatah alam fana. Di imajinasiku Merauke itu hutan, malaria, buaya, pokoknya pesakitan seperti yang digambarkan Mas Marco Martodikromo dalam "Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul". Merauke itu seperti diskripsi liar Oen Bo Tik dalam "Darah dan Air – Mata di Boven Digul" yang disunting oleh Eyang Pram dalam "Cerita dari Digul". Ah...entahlah, keputusan sudah aku ambil dan harus ku pertanggungjawabkan kepada nyaliku, mentalku, dan....

"Terima kasih, Mas," sapa gadis manis itu setelah kembali duduk di sampingku.

"Iya, sama – sama," jawabku singkat.

Aku bingung mesti bertanya apa ke gadis di sampingku ini. kecamuk dalam dadaku lebih merajai, dan membuat otakku menjadi bodoh. Aku mencoba mencari kalimat yang pantas untuk bertanya kepadanya. Kalimat yang sopan, santun, etis, dan sesuai tatakrama. Aku takut membuat hati bidadari ini menjadi tidak nyaman oleh pertanyaanku.

"Maaf Mbak, mau ke Merauke juga?" pertanyaan bodoh, jelas gate ini ke Merauke semua. Aku menyesal, dan mengapa intelektualitasku tumpul di hadapannya?"

"Iya, Mas."

Sekarang sepertinya bidadari itu yang tak acuh terhadapku, kampret!. Aku kini resah bukan karena hendak dibuang ke Merauke, pun bukan karena hendak terbang enam setengah jam lamanya, tetapi karena bidadari di sampingku ini.

"Maaf Mbak, hmmm asli Merauke kah?"

"Bukan, memang aku ada tampang Papua?"

"Gak, sih..."

Bedebah, kini bidadari itu yang ketus. Ia lebih banyak memainkan gadgetnya daripada menanggapai basa – basiku. Mungkin bidadari ini sudah tahu maksud hatiku. Menyesal sekali tadi aku tak acuh kepadanya, jika pemilih suara indah itu memang indah rupa.

AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang