Bagian V

4.3K 89 48
                                    

Aku terhempas dari alam mimpi yang melenakan sekitar jam 12.00 WIT. rasa lelahku sedikit berkurang, tapi aku menggeliat malas di ranjang empuk ini. Azan Duhur berkumandang dengan lafal yang sama, iramanya juga tidak jauh berbeda. Benakku bertanya, ada masjid juga di sini rupanya?

Aku turun dari ranjang melabrak rasa malasku, begitu membuka pintu ganti aku yang ditabok udara panas. Kamar berpendingin udara itu memanipulasiku dari hawa asli daratan Merauke. Ini aslinya hawa Merauke; panas, gerah, lengas, dan pengap. Mandi adalah cara terbaik untuk menyegarkan badanku, dan benar saja ada sensasi segar ketika gayung demi gayung air bening menjamahi sekujur tubuhku yang bugil polos dalam dimensi "kamar mandi", Alhamdulillah.

Segar, dan pulih segala tenagaku yang tadi terbelenggu lelah yang melekat di sekujur tubuhku. Aku melongok ke jendela kamar, nyiur melambai malas, seperti tangan gemuai nona Merauke yang belajar menari ronggeng. Burung pipit terbang dari manggar yang sudah mekar. kejang cecuitannya melawan panas yang menyengat.

Atap-atap seng rumah yang mulai karatan menyiratkan korosifnya udara kota pinggir pantai ini. Sesekali suara anak gaduh mengaduh, mungkin minta tetek ibunya. Anak-anak yang tidak dalam gendongan ibunya lagi liar terumbar, mengisaratkan kemerdekaan masa kecil yang manis. Tidak peduli gerahnya hawa, dan teriknya panas matahari. Mereka terus merenggut gembiranya masa kecil yang indah. Aku iri...., Aku sudah terbelenggu "tangungjawab" yang merenggut manisnya hidup. Hanya karena "tangungjawab" dibuang pun harus aku jalani, dan semua memang harus dijalani.

"Halo," sapaku pada emakku, yang jauh di sebrang lautan sana.

"Kowe Le..," jawabnya

"Iya Mak, aku sudah sampai Merauke."

"Alhamdulillah, bagaimana di situ?"

"Bagaimana apanya, Mak?"

"Ya, enak atau enggak?"

"Belum tahu Mak, kan baru sampai."

"Kotanya besar?"

"Belum tahu juga Mak, kan belum kemana – mana."

"Ya sudah, jaga kesehatan di sana, bawa pulang gadis sana kalau ada yang cantik".

"Mak, mau oleh – oleh itu saja?"

"Kalau dapat yang cantik, wah emak enggak usah kamu bawakan yang macem-macem."

"Cukup gadis cantik ya, Mak?"

"Ya, Le"

"Ya sudah, jaga kesehatan juga Mak, Bapak juga."

"Ya, sayang". Telepon aku tutup dengan salam, dan cium pipi emak dari jauh. Baru satu hari sudah kangen kamu, Mak... Huftt sepertinya aku tidak bisa jauh dengan beliau. Satu tahun? Mungkin itu waktu yang sanggup ku jalani jauh darinya, keculai digantikan bidadari manis berbokong semok tadi.

Aku sudah wangi, tidak apek dan asam seperti tadi. Rambut ku sisir belah tengah menyerupai pantat ku sendiri. Aha... jambang dan kumis ku tebas habis, biar kelihatan lebih klimis seperti "bujang gatal", yang selalu menggaruk selangkangannya dimanapun berada.

Benakku jatuh ke telatah sadar, oh...aku di Merauke. Di belahan bumi paling timur negeriku, kini aku berada. Kesedihan seraya mengampiri dan menyerangku membabi buta, aku takluk dalam kecengengan yang manusiawi. Aku ingat kekasihku yang sebenarnya jauh kalah montok dan manis dari bidadari itu, tapi sampai saat ini aku sayang dia.

Aku turun dari kamar membawa kesedihanku, dan akan aku tukar dengan makanan yang sudah tersaji di meja makan. Makan siang dengan rasa yang tidak asing di lidahku, rasa Jawa. Ternyata pembantu di mess ini memang asalnya dari Jawa. Banyuwangi katanya. Dia lahir di Merauke, orang tuanya ditransmigrasikan oleh Soeharto, bukan eks Digulis yang kabur dari pengasingan pada tahun 1927 dahulu. Dari obrolan dengan Sukini, aku baru tahu kalau di Merauke ini pendatang dari Jawa sangat banyak. Tidak hanya terkonsentrasi di Kota Merauke saja, melainkan menyebar hingga ke distrik, kampung, bahkan belantara rimba Merauke yang belum diberi nama.

Selepas Salat Duhur, aku mencoba mengenali kota Merauke dengan menyusuri jalanan kota, sambil aku mencari ATM. Siang itu lalu lintas sepi, bahkan lengang, dan pintu-pintu ruko, toserba, dan perniagaan lain tutup total. Aku berjalan belum sampai satu kilometer buru-buru aku balik arah, kondisi ini sangat janggal dan mencurigakan.

Aku menduga bakal terjadi "Huruhara" atau minimal ada demostrasi yang anarkis, karena suasana itu. Keringatku bercucuran, karena aku sedikit mempercepat langkah setengah berlari. Aku takut hari pertamaku di kota ini mengantarku minimal ke pembaringan di rumah sakit. Nafasku tersengal-segal, megap-megap, nyaris putus..... dan aku lega ketika gang masuk mess sudah ada di mukaku. Secepat kilat aku membelokkan arah memasuki gang itu, dan sampai juga aku di mess.

Sukini terbengong melihatku tergopoh-gopoh memasuki pintu rumah, dan ia memberanikan menegurku.

"Loh Pak cepat sekali ke ATM-nya, bapak lari?"

"Aku balik arah Kin, ruko tutup semua, jalanan lengang, apa mau rusuh ya?" Mendengar itu Sukini malah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya, aku curiga cawatnya basah oleh setitik najis karena tawanya itu. Aku lihat mata Sukini sampai hilang tertelan kelopaknya, dan tubuhnya terguncang-guncang hebat. Ia seperti sedang menaiki mobil yang melewati jalanan yang berbatu. Aku heran, dimana letak lucunya pernyataanku tadi? Jangan-jangan gila Sukini, atau ada yang aneh dari badanku? Aku jadi ciut nyali, dan instrospeksi.


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang