Bagian XIII

3.1K 74 99
                                    

Aku membasahi tubuhku dengan air bening yang melimpah ruah di bak mandi, seger! Sambil bernyanyi – nyanyi meracau, aku melumuri tubuhku dengan sabun. Sampai pada bagian "nikmat," aku berujar.

"Dek, semoga kamu beruntung bisa bermain dengan hmmmmm..."

"Hmmm siapa kak?" tanya kelaminku.

"Itu, yang terselip diselangkangan bidadari manisku."

"Jangan terlalu berharap, Kak."

"Kok?"

"Dia terlalu sempurna untukmu!"

"Kok?"

"Mak lampirmu itu saja urusi!"

"Setan kau, Dik!" kelaminku terkikik sendiri. Handuk membelit dari pusat ke bagian bawah tubuhku. Aku berjalan tak acuh di depan bidadari manis itu tanpa sungkan. Dia mengernyitkan dahi, uh... aku suka ekspresinya, makin sempurna. Bercelana jeans dan kaos oblong warna gelap aku keluar dari kamar.

"Nah, gini kan ganteng!"

"Gombal kamu, Dok."

"Aku enggak suka panggilan itu!"

"Iya, sayang.."

"Sayang? Cuuiihh!". Uh, hidung dan pipinya merah lagi, rasanya aku ingin melahap tomat mengkal itu. Ia masih bersungut – sungut, tapi demi apapun aku suka, sungguh!

"Mas, besok sibuk?"

"Hmmm untuk kamu pasti aku enggak sibuk."

"Ini serius, Mas!"

"Lah memang aku tidak serius? Kenapa?"

"Antar aku ke kota ya?"

"Berangkat sekarang saja yuk."

"Menginap?"

"Iya, kan kamu perlunya besok to?"

Sungguh kicau burung emprit di dahan pohon mangga di depan rumah Pak Jumangin ini, bergitu merdu. Dan hawa panas yang menyengat ini terasa sejuk, layaknya aku sedang berdiri di tepi sawah yang semilir anginnya. Matahari telah melewati batas maksimal ketinggiannya, sepertinya sudah agak tergencir ke Barat. Duhur sudah tiba, terdengar suara Azan dari Masjid Darul Hidayah depan kantor Distrik Kurik. Aku masih menikmati suguhan keindahan sempurna, dan Kau lah Tuhan pengukirnya.

"Ya sudah aku salat dulu ya."

"Iya Mas, jelek!" Uh, suara manjanya membuatku serasa tidak menapak bumi, dan kepalaku kosong, ringan! Aku menunaikan Salat Duhur, dan bidadari manis itu menunggu dengan sabar, walaupun ia Nasrani. Terik yang akut, tapi terasa segar hari ini.

"Naik motor KLX seperti ini tidak apa to?"

"Tidak apa, Mas."

"Nanti hymen mu robek."

"Hahahaha... Apa Mas?"

"Selaput dara sayang."

"Iya aku tahu, otakmu itu ya cabul!"

"Lihat saja jok motor ini, runcing dan bisa ...."

"Sok tahu kamu, Mas!"

Aku memacu motor trail-ku dengan perlahan, kalau perlu sepuluh tahun baru sampai Kota Merauke. Semilir angin dari sawah terasa lengas. Burung – burung kuntul terbang rendah di atas hamparan permadani nan menghijau itu. Mendung di langit tidak jua menggapai matahari, sehingga radiasinya menghadik langsung ke kulitku, tentu saja kulit bidadari manisku yang lembut bak sutra itu juga.

"Ada perlu apa ke kota, sayang?"

"Jangan panggil sayang!"

"Kok?"

"Tidak ada, kok!"

"lalu?"

"Emboh, Mas!"

Sayang, pipinya terbungkus helm. Aku bisa membayangkan, hidung dan pipinya pasti memerah, uhhh! Gemeeeeees! Dan mulut berbibir tipis itu pasti cemberut. Mata jengkol itu pasti mengerjap – kerjap."

"Besok ada pengumuman online PPDS Unair, Mas."

"Apa PPDS?"

"Program Pendidikan Dokter Spesialis."

"Oh, kamu daftar?"

"Ya iyalah Mas, kalau enggak daftar untuk apa aku lihat pengumumannya?"

"Oh, iya.."

Aku mendadak goblok. Akankah aku akan ditinggalkannya? Pasti kalau Ia lulus. Dan aku? Huftt.. tidak mungkin aku sanggup menjalani hidup di Kurik tanpa Ursula.

"Kenapa Mas? Sedih kalau aku pulang ke Jawa?" Aku diam pura – pura tidak mendengar pertanyaannya.

"Aku sudah hampir tiga tahun di sini, Mas. Tahun kemarin aku memperpanjang kontrak PTT-ku." Aku masih diam, lagi – lagi aku pura – pura budeg. Ya Allah, mataku berkaca – kaca. Semoga kamu tidak lulus bidadari manisku, biar doaku kali ini jahat!

"Eh, Ibu Dok! Mau menyeberang?" tanya seorang laki – laki tambun, gundul, dan kulitnya tentu hitam, sesampainya kami di tumbir muara Sungai Kumbe.

"Iya, Pace." Ternyata "Pace" itu namanya Adiranus Mahuse. Pace itu sudah hafal dengan dr. Ursula, dan aku diperkenalkannya kali ini. Pace Adrianus Mahuse menaikkan motor KLX-ku ke atas belang. Kami menyebrang muara Sungai Kumbe.

"Makan dulu ya, Mas?"

"Mau makan apa, Dik?"

"Cie Dik, biasanya sayang."

"Makan Coto Makassar mau, Cinta?"

"Cinta?" jari lentikkan menghardik pinggangku, sakit juga cubitannya.

"Aduh!" pekikku.

"Rasain!"

"Jahat!"

"Biarin!" suara manjanya benar- benar meluluhlantakkan kubah hatiku. Ya Tuhan, tolong jangan luluskan bidadari ini, aku mohon Tuhan! Gumamku dalam hati sambil terus mengarahkan motorku ke warung Coto Makassar "Haji Hamzah".   Ya Tuhan, leher jenjang dan ngulan – ulan itu, hasrat ini memberi tanda merah di situ dengan bibirku, ah...

"Makan Mas, malah melototi aku saja."

"Kamu lebih nikmat dari coto ini, Cinta." Plak, tamparan tidak begitu kuat mendarat di pipiku, disusul cubitan kecil yang pedas!

"Ampuuuun!"

"Sakit?"

"Gak!"

"Lagi?"

"Ya." Cubitan kecil menghardik pinggangku lagi, pedih.

Ya Tuhan, makanan yang ia telan sepertinya kelihatan melewati leher jenjang dan ngulan – ulan itu, transparan. Aku tidak bisa konsentrasi makan di depannya, aku lebih fokus menikmati rautnya yang sempurna.


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang