Bagian VIII

3.6K 77 31
                                    

Barang bawaanku sudah dinaikkan mobil double cabin oleh Ramlan si muka iblis. Senyumnya ramah pagi ini, ada semburat merah juga dibibirnya seperti lazimnya bibir tua muda di sini, warna pinang. Sukini mengantarku sampai pintu mobil, dan melambaikan tangannya yang tidak gemulai itu. Tangan perkasa, karena setiap hari mengucek cucian dan mengulek bumbu.

"Kita antar Bapak sampai muara Sungai Kumbe," tiba-tiba Ramlan membuka suara.

"Kumbe...?"

"Ya itu nama sungai sekaligus kampung di muara sungai itu."

"Menarik dan sepertinya tempatnya indah."

"Dekat dengan pantai, dan ikannya banyak Pak, buaya pun ada."

"Apa! Buaya?"

"Ya buaya muara, Pak."

"Ah.. tentu lebih menakutkan dari buaya darat."

"Buaya darat? Memang ada, Pak?"

"Banyak Bang, di jalan – jalan, di Jakarta apalagi."

"Wow! itu serius?"

"Serius Bang Ramlan, masa aku bohong."

"Buaya darat? Hmmm... seperti apa bentuknya, Pak?"

"Tidak bisa membayangkan ,Bang?"

"Tidak Pak..."

"Buaya darat itu persis seperti, Bang Ramlan."

"Ooo bagitu?"

"Buaya darat itu orang yang doyan selangkangan Bang, ganti-ganti pasangan."

"Hahaha............ ". Ramlan terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang hebat, tapi pengangan terhadap stir mobilnya masih kokoh.

Pagi itu jalanan kota merauke dipenuhi lalu lalang manusia menuju tempat aktifitasnya masing-masing. Ada yang berseragam sekolah, seragam kantor swasta, seragam amtenaar, seragam militer, polisi, satpam, tidak berseragam, bahkan ada yang tidak pakai apapun. Yang terakhir itu Bob Marley  jalanan, yang mendukung sampah dalam karung di punggungnya.

Riuh suara klakson mobil dan motor menjadi irama disharmoni yang mencemari telinga, berbaur dengan dengus knalpot yang parau, sember meraung-raung. Di sebuah perempatan lampu merah menuju luar kota kendaraan berjejal rapat, terkesan semrawut dan tidak tertib. Ketika lampu merah berubah hijau barisan belakang membunyikan klakson panjang nan bising, mereka seperti dikejar setan alas. Di kanan kiri jalan barisan rumah toko belum ada yang mebuka rolling door-nya. Mereka masih nyaman menikmati pagi yang sejuk dan segar. Anak – anak sekolah berjalan tertib di trotoar jalan, menuju sekolahnya masing-masing. Ternyata kota sekecil ini pun sibuk di pagi hari.

"Semalam jalan – jalan kemana, Pak?"

"Di boulevard Jalan Raya Mandala saja."

"Dapat nona – nona?"

"Hehehe, dasar buaya darat!"

"Lah kan banyak di sepanjang Jalan Raya Mandala kalau malam, Pak."

"Banyak, tapi tidak minat."

"Mau yang Jawa?"

"Enggak juga"

"Di Kurik banyak kalau nona Jawa, Pak."

"Lihat nanti, Bang."

Kini dihadapan ku adalah jalan lurus, yang kanan kirinya sawah. Jalan itu seperti lorong hitam nan panjang, ujungnya noktah hitam menguap. Suara gemuruh angin yang menerobos jendela kaca yang sengaja dibuka untuk menikmati segarnya udara. Kanan dan kiri jalan adalah peswahan yang baru diolah tanahnya.

Burung – burung blekok, kuntul, belibis mengais cacing dan serangga di tanah becek berlumpur itu. kaki jenjang burung – burung itu lincah menapak lumpur macak – macak, sesekali kaki sebelahnya terangkat, dan paruhnya menghunjam ke tanah berair, ketika terangkat cacing sial meronta dalam jepitan paruh kuat itu. Ada saja yang asik masyuk bercinta di keramaian yang hiruk itu. Tidak sedikitpun malu mengumbar berahi, dan dengan segala syahwatnya mereka mengadu kelamin. Tidak aku duga di Merauke ada hamparan sawah yang begitu luas.

"Ini Wapeko, Pak." kata Ramlan.

"Banyak sawah juga di sini, Bang."

"Daerah transmigrasi, Pak."

"O, banyak orang Jawa?"

"Hampir semua dari Jawa, sedikit saja Bugis, dan Buton."

Gas terus di jejak kaki kekar Ramlan, sedikit sekali ia memijak pedal rem, karena jalanan memang lengang. Hanya sesekali berpapasan dengan penunggang sepeda motor, kadang - kadang kereta angin, gerobak, pleret. Jarang sekali berpapasan dengan sesama roda empat, enam, sepuluh... Ramlan seperti raja jalanan, tidak ada yang sanggup mengejar larinya mobil double cabin ini. Sebentar saja kini sudah memasuki Distrik Semangga. Sepertinya perkampungan penduduk lokal, tetapi bukan rumah adat yang nampak di kanan kiri jalan, tetapi seperti rumah yang seragam bentuk dan ukurannya. Mungkin ini transmigrasi lokal.

"Ini Distrik Semangga, Pak?"

"Orang lokal?"

"Ya, tapi ada juga pendatang."

"Mereka akur membaur?"

"Akur Pak, yang bagian dalam sana Transmigrasi dari Jawa juga."

Anak – anak kecil berkulit hitam dan keriting rambut bercanda ria di halaman rumah yang luas, mereka berkejaran entah berebut apa. Ada yang mendorong ban motor bekas sambil berlari kencang, dan mulutnya meraung menirukan suara dengus kenalpot sepeda motor butut. Suaranya persis seperti angsa dicekik lehernya, sember, dan parau. Ingus berwarna kuning kehijauan menyumpali hidung mungil salah satu anak yang berdiri menonton "Valentino Rosi" kecil beraksi di sirkuit tanah berdebu itu. Sesekali lidahnya menjulur menjilati asinnya rasa ingus yang mirip susu kental manis itu. Rambut mereka rata-rata berwarna seperti api, muka coreng – moreng oleh ingus yang mengendap kering di pipi mereka.

Dengus kenalpot mobil yang dikendalikan Ramlan tak acuh dengan kondisi itu. Dengan angkuhnya ia terus berpacu mengejar muara Sungai Kumbe, di sana aku harus menyeberang menaiki "belang" menuju Distrik Kurik. Inilah realitas keadaan rata-rata anak – anak penduduk lokal tempat dimana aku diasingkan.

"Bang."

"Ya, Pak."

"Umur berapa sekarang?"

"Empat puluh, Pak."

"Anak?"

"Tiga"

"Istri?"

"Wanita, Pak."

"Itu aku tahu, maksudku jumlahnya."

"Resmi satu, yang tidak resmi banyak."

"Nah kan."

"Apa, Pak?"

"Buaya darat!"

"Hahaha," muka iblis itu kembali mengakak.


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang