Bagian XI

3.1K 76 73
                                    

Pagi ini sebenarnya begitu indah, matahari berbinar begitu cerah, warna keemasan membelah langit timur. Matahari menyebul dari selangkangan horizon, udara pagi masih terasa sejuk, walaupun tiada hembusan angin sedikitpun, tenang, damai, seakan udara mengendap di permukaan tanah. Tetapi tidak dengan hatiku yang selalu bergolak, gelisah, galau, merana dan entah apalagi, aku benar-benar terintimidasi oleh benak pikiran ku sendiri. Selain jiwa ku yang sakit, fisik ku pun lara. Sudah hampir seminggu aku tidak bisa memejamkan mata setiap malam hingga hitam malam pudar menjadi remang pagi dan cerah seperti pagi ini. Batuk, pilek, sakit kepala, demam, dan entah keluhan apa lagi mendera raga ku.

Kesehatan sebenarnya mahal di sini, ujung Timur Nusantara yang selalu lekang dari ingatan penguasa, sorotan media, bahkan para penghuninya sendiri pun tak acuh. Penduduk di sini lebih suka berobat ke dukun, "obat kampung" katanya, sehingga tidak heran jika banyak yang sudah akut penyakitnya baru mendatangi dokter. Hanya ada seorang dokter yang mengiklaskan hidupnya melayani ribuan manusia sendiri di sini. Ia sendiri dalam intimidasi kebengalan masyarakat, ketidakpedulian, tak acuh, sok tau, kesadaran yang rendah, dan remeh temeh yang semuanya antagonis bagi seorang dokter.

"Bapak Jongos!" suara perempuan petugas Puskesmas Distrik Kurik merdu memanggil namaku. Aku terjaga dari lamunan dan imajinasi nakal ku.

"Silakan masuk ke ruang periksa, Bapak," lanjutnya lagi. Entah kenapa dadaku berdegup kencang, ada rasa tak sabar segera melihat dokter yang iklas mengabdikan dirinya di pedalaman ini. Ada juga rasa tidak percaya diri untuk segera menyibak pintu yang masih tertutup itu.

"Silakan duduk Bapa..." sapa dokter yang ternyata seorang perempuan. Hmmm suaranya lembut, menusuk gendang telingaku, menghandik batin ku, merajam hatiku, aku lunglai di hadapannya, terpaku dalam kegagapan.

"Kamu!" seruku tak percaya.

"Ya saya, ada apa dengan saya Pak?"

"Jadi kamu dokter?"

"Loh, Bapak tidak percaya kalau saya dokter?"

"Bukan begitu, hmmm Mbak eh... Dokter tidak ingat saya?"

"Hmmm, perasaan baru kali ini kita bertemu."

"Oh, maaf tapi saya rasa kita pernah bersua."

"O, ya?"

"Tapi tidak apa kalau Mbak eh...  Dokter tidak ingat."

"Hmmm, di mana ya?"

"Di penerbangan CGK – MKQ sepuluh hari yang lalu."

"Sebentar, iya memang aku baru dari Jakarta."

"Kita duduk bersebelahan di ruang tunggu."

"Oh, itu..."

"Ya itu, hmm...," aku gugup, sangat gugup. Ternyata bidadari manis itu ada di hadapanku saat ini.

"Bapak tugas di sini?"

"Ya, aku dibuang."

"Maksudnya?"

"Panjang ceritanya."

"Oh, baiklah, lain waktu saja ceritanya, sekarang saya periksa dulu ya..."

"Terima kasih Mbak, eh Bu Dok" sebaris kalimat spontan meluncur dari mulutku.

"Keluhannya apa Bapak...?" lanjutnya sambil menyuguhkan senyum manis yang meluluh lantakkan bangunan khayalku. Berwibawa, tegas, tapi tetap lembut dan indah terserap gendang telingaku. Anjriiiiiiiiiiiiiiit! 

"Hmmm ini Dok, sudah satu mingguan tidak bisa tidur, batuk, pilek, badan meriang,"  keluhku pada dokter manis itu.

"Diperiksa dulu ya, Pak..." sahutnya.

Tangan lembutnya meraih lenganku, dengan cekatan dia membelitkan alat tensi meter, sejurus kemudian memeriksa mata, lidah, tangan lembut nya meraba kulitku yang kasar.  Uh! kulitnya lembut sekali, seperti sutera, gila! Degub jantungku tidak beraturan, seandaainya direkam dengan EKG, pasti grafiknya berbentuk hati yang tertembus panah.  Berdarah bro..!  

"Kelelahan saja, Pak," kata nya. Segera jari-jari lentiknya menari di atas selembar kertas, menuliskan resep obat-obat yang harus aku ambil di apotek. Semua dokter tulisannya sama tidak bisa dibaca, seperti cacing kepanasan, seperti benang kusut,atau bahkan seperti mie instant yang sudah terseduh dalam mangkuk?  Aku menikmati rautnya yang tersuguh jelas di hadapanku, aku teguk keindahannya sampai dasar cawan. Ya Allah, sempurna sekali Mahakarya-Mu.  Tanganku gatal, ingin meraba kulit lembutnya, yang bening seperti kaca.  Pembuluh darahnya biru, memenuhi dasar kulit bening itu.

Sambil gesit jemarinya menyeret pena tiba-tiba dari bibirnya meluncur pertanyaan yang sebenarnya sangat aku tunggu, sangat aku harapkan.

"Bapak tinggal di mana?" Merdu sekali suara nya, dan aku tergagap.  Buyar lamunanku.

"Saya tinggal di Harapan Makmur, Dok," jawabku

"Kalau saya di perumahan Puskesmas?"lanjutnya.

"Oh enak, Dok."

"Enak? Gak juga, sepi di pinggir sawah."

"Enak kalau saya mau berkunjung tidak ada yang mengganggu." 

"Hmmm...," bidadari di depanku tersipu, kulit pipinya memerah seperti tomat mengkal. Anjriit!

"O, ya siapa nama Dokter?

"Panggil saja Ursula."

"Hmm, nama yang indah.."

"Indah? Biasa saja, kalau nama Bapak?"

"Jonggos."

"Oh, nama yang aneh.."

"Lama tugas disini, Pak?"

"Hmm belum tahu Dok, kalau bisa jangan panggil bapak, saya belum tua dan belum menikah kok."

"Hmmm, boleh aku panggil sayang?" ini sih harapanku, tapi dia menjawab begitu..

"Lalu saya mesti panggil apa, Pak eh...?"

"Mas lebih enak kedengarannya, seperti panggilan anda di ruang tunggu sepuluh hari yang lalu."

"Baiklah Mas Jongos, obatnya ambil di apotek ya..."

"Terima kasih Dokter Ursula."


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang