Bagian XII

3K 71 70
                                    

Penjumpaan yang disengaja itu begitu cepat. Bergemuruh rasa tidak puas dalam hatiku, ingin lebih lama menatap lekat-lekat wajah nya, ingin lebih lama mendengar suara lembut nya. Aku melangkah gontai meninggalkan bangunan yang didominasi warna putih itu. Bangunan yang selalu lekat bau obat, alkohol, raungan anak kecil seakan dihardik dengan sebatang rotan.

Malam ini begitu sepi, pekat gelap seperti tinta hitam tumpah dikertas putih.   Aku asik masyuk mengotak atik gadget ,satu-satunya teman yang selalu setia menemani segala suasana hatiku. Gembira dia ada, sedih dia ada, galau dia ada, dan tentu menjadi alat untuk menebar sapa kemana-mana, ke seluruh penjuru negeri sampai ke tempat-tempat yang belum terjamah oleh ku sekalipun.    

Lewat salah satu aplikasi "massager" aku sengaja mencari orang orang terdekat disekitarku. Tiba-tiba rautku berubah berseri-seri, segala khayal ku melambung ke puncak bahagia, aku coba invite dengan sapa satu kata saja "Hi", tak dinyana dia meng"accept" dan menjaga "Hi Juga".

Aku coba menyapa lebih lanjut lewat bantuan kotak ajaib multifungsi ini

"Malam Ibu Dok, apa kabar?" saya memberanikan diri menanyakan kabar.

Nama dr.Ursula dan foto yang memastikan jika ini benar dr.Ursula si bidadari manis itu.

"Kabar baik Mas, bagaimana sudah bisa tidur?" tiba-tiba muncul dilayar, seraya jari ku lincah mengetik sebaris kalimat. Aku segera membalasnya kembali

"Belum Dok, ini buktinya masih chatting sama, Dokter".

Aku tidak sabar kotak dialog itu segera muncul sederet kalimat, hufttt terasa lama bahkan lamanya lama. Mungkin ada pasien, atau mungkin ia sudah lelap dalam dekapan malam yang begitu dingin menyergap. Tiba-tiba dari kota kecil ini muncul

"Jangan panggil Dokter dong, Mas,"  aku tergagap membaca kalimat itu, dan seribu ilusi menyandera alam khayal ku, seribu tafsir, seribu persepsi bermain dalam benakku. Aku sepeti tidak punya kosa kata untuk membalas chat-nya.

"Lalu aku mesti panggil bagaimana, Dok? Akhirnya bisa juga jari-jari ku menyajikan kalimat itu.

"Panggil Ursula saja" begitu cepat balasnya, secepat cahaya matahari saat menyembul dari selimut awan.

Aku binggung dengan perasaan ku, senangkah, bahagiakah? Aku gagal memahami perasaanku sendiri.   Ya aku akan panggil dokter manis itu dengan "Ursula," tapi apa aku tidak meremehkan profesinya yang begitu mulia? Bukankah "dokter" di depan namanya memang layak ia sandang? Perjuangan untuk mendapatkan gelar gilang gemilang itu bukan alang kepalang berat perjuangnnya. Perang batin terus berkecamuk sampai akhirnya malam memelukku, pun mungkin karena pengaruh pemberian obatnya tadi pagi.

Segala pertanyaan ku tentang tentangnya belum satupun terjawab, tapi dahsyatnya kasiat obat itu membuatku tersungkur di atas kasur. Ternyata bidadari manis dalam perjalanan Jakarta ke Merauke kemarin adalah Dokter Ursula. Bidadari manis itu ada di Distrik Kurik juga, doaku semoga kelak ia bisa menjadi pendamping hidupku. Bagaimana dengan pacarku, Mak Lampir di seberang lautan sana? Putus?  Itu hanya ilusiku saja, jika dan hanya jika dr. Ursula ada rasa dan berahi denganku, si jongos kapitalis ini.

Dua bulan di Distrik Kurik, Merauke tidak terasa lama, bahkan hari – hari terasa sangat capat. Saipul ternyata sangat membantu pekerjaanku menyiapkan proyek uji coba penanaman tebu di Distrik Kurik. Ia juga sangat membantuku mendekatkanku dengan Dokter Ursula. Aku sungguh tidak menduga, dokter manis itu sangat – sangat humanis, humble, dan hangat sikapnya. Hari ini Minggu, aku terpaksa bangun kerana Bu Jumangin mengetuk pintu kamarku.

"Mas, ada Ibu Dokter."

"Iya, Bu."

Dengan sukacita aku bangun, ternyata matahari sudah tinggi. Aku ditinggalkannya bagun pagi kali ini, oh.. matahari begitu disiplin terjaga dari tidurnya.

"Ya ampuuuun! Si boss baru bangun," sapa dokter manja itu.

"Hmmm, enggak ke gereja?" balasku, sambil nyengir kambing bandot, karena retinaku terpapar cahanya siang yang terang gemilang.

"Gereja? Ini jam berapa mas?"

"Memang jam berapa?"

"Hmmm, lihat tuh, sudah jam sebelas!"

"Ya Allah!"

"Yah nyebut dia. Baru sadar, Pak?"

"Hihi.." aku nyengir lagi, malu sama gadis manis yang sudah rapi, wangi, dan sempurna parasnya itu.

"Pasti enggak Salat Subuh?"

"Salat kok!"

"Jangan bohong pada Tuhan ya! Kalau sama aku enggak apa – apa, Mas."

"Memang Tuhan bisa dibohongi?"

"Tauk!"

Bidadari manis itu bersungut – sungut, pipinya memerah, dan mata jengkolnya mengerjap – kerjap. Ah, sempurnanya kamu Ursula..

"Bau, mandi gih!"

"Iya Maaaaak! Lebih cerewet dari makku deh."

"Manusia sepertimu perlu dicereweti!"

"Iye, aku mandi dulu ya sayang..."

"Sayang? Cuih!"

"Haha..." aku tertawa tanpa makna.


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang