Bagian VII

3.9K 75 11
                                    

Benar kata Sukini. Kota Merauke hidup. Jalan Raya Mandala ramai oleh kendaraan. Mobil, motor, sepeda yang tumpah ruah di jalan dua jalur itu. Pedagang kaki lima, kaki enam, tujuh, delapan, hingga duapuluh berjajar tidak rapi di sepanjang boulevard  ini. Hampir semua menjajakan makanan, tidak ada yang menjajakan kelamin!. Aku berjalan menyusuri trotoar ini lagi seperti tadi siang.

Kakiku ringan melangkah, dan mencoba mengingat titik jebakan yang bisa membuat tubuhku amblas ke dalam got. Jika itu terjadi tentu aku akan seperti tikus yang kuyup dan bau comberan, yang penuh najis dan hadas. Dalam khusuk dan konsentrasiku memperhatikan trotoar yang kini ramai oleh pejalan kaki, aku merasakan keramahan yang luar biasa dikota ini.

"Selamat malam, Om..." sapa seorang nona sambil menyeringai, dan bibirnya merah darah. Bukan oleh gincu tapi oleh pinang.

"Malam, Nona..." jawabku.

Indonesia Timur memang termasyur oleh keramahannya, dan terhapus sudah segala takutku sebelum menginjakkan kaki di bumi Papua. Tegur sapa untuk orang yang tidak saling mengenal itu hal yang luar biasa menurutku, entah menurut anda?, Jangan tanyakan kepada mereka, para penganut sektarianisme agama, suku, ras... Akupun mulai jatuh cinta dengan kota ini. Entah sudah berapa kali aku menjawab tegur ramah nona-nona Merauke yang manis-manis. Mulutku pegal sudah, dan mesti kupijati nanti di mess biar tidak menggelabir seperti pial ayam. "Nggambeh" kata emakku.

Lelah juga juga betis ini menyusuri trotoar Jalan Raya Mandala ini. Setelah mencicipi kuliner yang lagi-lagi bercita rasa "Jawa", aku pulang kembali ke mess di gang depan Gereja St.Yosef Bambu Pemali Jalan Raya Mandala Kota Merauke.

Besok aku akan menuju kamp pengasinganku di Distrik Kurik, sekitar enampuluh kilometer dari Kota Merauke. Satu jam setengah perjalanan katanya, mesti menyeberang muara Sungai Kumbe katanya lagi. Memori otakku kembali mengingat buku yang ku baca tentang kamp pengasingan para "Bapa Komunit Tana Merah" di Boven Digul.

Boven Digul bukanlah sebuah koloni narapidana. Seperti dijelaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, pembuangan bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum (penal saction). Pembuangan itu adalah tindakan administratif, ditetapkan oleh kewenangan istimewa gubernur jenderal, exorbitant rechten.

Gubernur Jenderal bisa menetukan para interni hidup di daerah tertentu. Digul juga bukanlah kamp konsentrasi, sebagaimana yang dikatakan sejarawan Belanda J.M. Pluvier. Hal ini dikarenakan Digul berbeda dengan kamp konsentrasi Nazi dalam hal bagaimana para penghuninya diperlakukan. Tidak seorangpun di Digul disiksa atau dibunuh seperti di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Pemerintah Hindia Belanda hanya membiarkan para penghuni mati, menjadi gila, atau hancur. Akankah aku akan mengalami hal yang sama dengan para Digulis itu? Mati karena malaria, gila karena kamu (bidadari manis), dan hancur karirku?.

Dalam keruh benak oleh ingatan tentang sejarah yang nyaris dilupakan itu akhirnya aku terkulai dalam tidur lelap yang senyap. Ruh ku melayang ringan di atas samudera alam mimpi yang indah. Burung pipit yang genit menyet ruh ku kembali ke alam fana. Suara burung genit itu mengganggu kedamaian tidurku.

"Kesiangan, Pak?" tanya Sukini dari dapur.

"Iya Kin, aku kelelahan."

"Hari ini langsung ke Kurik, Pak?"

"Iya"

"Diantar Ramlan?"

"Siapa lagi, Kin?"

"Oh Iya ya, Pak".

Cahaya matahari memang belum memerahkan langit. Masih warna kelabu. Tepat di tengah demargasi antara gelap dan terang. Udara segar menyeruak dari jendela, ketika tirai aku singkap, dan daun jendela aku buka, aku pun menghirupnya dengan masgul. "Adik kecil" ku tegak berdiri melawan jepitan kancutku yang ketat, ia meronta, menggeliat, dan berdenyut menahan hasrat berkemih. Aku menuruni tangga menuju kamar mandi, untuk mengambil air wudhu. Salat Subuhku kali ini di ujung waktunya yang nyaris tergelincir.

Ketika melongok ke jendela, langit sudah bergincu tidak rapi dan tidak merata, belepotan acak oleh warna merah keemasan. Udara mendayu sendu, melagukan kenestapaan nasib terbuang di negeri orang, hanya karena "melawan" yang merasa berkuasa. Asu! Pekikku sendiri dengan segala kesalku, dan pagi ini juga aku harus berangkat ke kamp "pengasinganku" di Distrik Kurik.

Kudengar suara Ramlan si muka iblis sudah gaduh berkicau, melabrak Sukini yang juga lumayan cerewet. Suara mereka terdengar bersenggama masgul, terpilin, membaur, dan seperti paduan suara tidak harmonis. Entah apa yang mereka obrolkan.

Aku sedang menyiapkan segala perbekalan yang perlu dibawa ke pedalaman Merauke. Tidak semua pakaian aku bawa, dan aku pilih yang kira-kira cocok dipakai di tengah hutan. Pil kina, pisau cukur, perlengkapan mandi, dan obat nyamuk oles menjadi teman pakaian-pakaian itu dalam koper dan bodypack ku. Novel tertralogi Pulau Buru mahakarya Eyang Pram aku pisahkan dari dari pakaian.

Aku akan membangun kamp pengasinganku di Distrik Kurik sebagaimana Kapten L. Th. Becking. Meneer itu adalah pimpinan kesatuan yang menghancurkan pemberontakan November di Banten. Ia ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk membangun kamp pengasingan Digul. Pada tanggal 27 Januari 1927 pembangunan kamp tersebut dimulai. Selama dua bulan, pekerja yang terdiri dari dari pasukan dari Ambon serta tawanan pekerja (convict worker) berhasil membangun barak militer, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, dan tempat mandi besar (badvlot) di aliran sungai bagi tentara dan tawanan.


AKU DIGULIS DAN DOKTER URSULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang