"Rein, udah lama yaa ngga ketemu. Apa kabar?" aku menoleh secara perlahan dan mendapatkan seorang lelaki yang ku lihat tadi berdiri tegap dihadapanku.Ternyata benar, aku tidak salah. Lelaki itu adalah seseorang yang kurindukan selama ini. Aku tidak tau mengapa air mataku menetes. Tanpa menjawab sapaannya dan pertanyaan basa-basinya itu, aku langsung memeluk tubuh lelaki itu erat. Sungguh aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Aku tidak sabar untuk menghubungi Yura dan merencanakan pertemuan kami bertiga.
"Kangen banget ya sama gua? Sampe nangis gitu?"
Mendengar penuturannya yang terlalu percaya diri itu, aku bergegas melepaskan pelukanku dan mengusap pipiku yang basah karna air mata dengan cepat.
"Baguss banget lu Rel.. Balik ke Indo tanpa ngasih tau gua sama sekali." aku mendelik kesal kearah Farel. Yaa.. Farel. Sahabatku yang sudah 4 tahun menetap di Jepang ini akhirnya kembali ke tanah air.
"Yehhh gua aja balik mendadak yaa. Papa gua kecelakaan jadi pas tadi malem di kabarin gua langsung kesini."
"Astaghfirullah.. Kok bisa? Gimana ceritanya?" aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat ini.
"Papa gua nggak lagi bikin cerita Rein. Ini kecelakaan beneran." bisa-bisa nya Farel menanggapiku dengan asal disaat raut wajahku jelas-jelas menunjukkan kekhawatiran.
"Serius ih!!" gertakku.
"Jangan serius serius ah Rein.. Nanti baper. Hahahaa" tawanya terbahak-bahak seraya memegang perutnya.
Betapa durhakanya manusia sejenis Farel ini. Disaat papanya baru saja mengalami kecelakaan, sempat-sempatnya ia mengeluarkan candaan dan tertawa terbahak-bahak seperti itu.
"Canda gua Rein. Papa gua baik-baik ajaa kok. Cuma mobilnya aja yang rusak parah. Gua sih nggak minta lu buat ngegantiin mobil papa gua. Tapi kalo lu emang maksa yaa gua terima dengan hati yang penuh dengan keikhlasan lahir batin. Kan kata pak ustadzah rejeki ngga boleh di tolak. Betul tidak?" lanjut Farel dengan akhir kalimat yang menirukan gaya bicara salah seorang ulama terkenal di Indonesia.
"Farel gantengggggg!! Yang namanya ustadzah itu embel-embelnya Bu. Bukan pak. Itu otak lu kapan benernya sih Rel?" ralatku.
"Yaampun.. Padahal gua baru 4 tahun di Jepang. Tapi udah banyak banget yaa yang berubah disini." terkadang berbicara dengan Farel itu dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi mendadak.
"Kaga berubah Farel! Waktu lu masih jadi embrio juga ustadzah mah buat Bu. Bukan Pak!! Itu bego lu kapan ilang nya sih Rel? Ngebatin gue."
Belum sempat Farel menanggapiku. Seorang wanita muda yang mungkin masih berusia 16 atau 17 tahun dengan baju pasien yang melekat ditubuhnya berhasil menarik perhatianku. Wanita muda itu berlari terpontang-panting seperti sedang menghindari debtcollector yang menagih hutang karena sudah jatuh tempo.
Wanita itu terlihat cantik walaupun hanya dengan baju pasiennya itu. Bahkan wajahnya yang pucat tidak mampu menutupi paras cantiknya.
Dia terus berlari dan sesekali atau mungkin lebih tepatnya berkali-kali menoleh ke arah belakang. Dan karena terlalu fokus ke belakang, tanpa sengaja Ia menabrak seorang lelaki bertubuh tegap dengan jas putih yang semua orang dapat menebak dengan jelas kalau lelaki yang wanita itu tabrak adalah seseorang yang menjabat sebagai dokter.
Pandanganku berpusat pada wanita itu, Ia terjatuh tepat di depan sepatu hitam milik dokter yang ia tabrak. ia berusaha untuk berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Berkali-kali ia gagal dengan usahanya untuk berdiri. Sampai akhirnya, sebuah tangan terulur didepan wajahnya. Ia hanya diam dengan nafas terengah-engah dan pandangan yang menunjukkan sebuah ketakutan yang mendalam.
"Kenapa tangan saya dianggurin?"
Tunggu!! Sepertinya suara dokter yang mengulurkan tangan kepada wanita muda itu tidak asing dengan telingaku.
Dengan cepat aku menoleh ke wajah dokter itu. Dan.. Kenapa muka Davian ada di wajah dokter itu? Jangan bilang kalau..
"Dokter Davian!! Tangkep Nadia! Jangan biarin dia kabur lagi!" seorang perawat berteriak sambil berlari ke arah Davian. Iyaa.. Davian. Cowo pala batu yang tinggal dirumah abangku.
Kenapa dia ada disini?!
Dan sejak kapan dia jadi dokter?!"Kenapa mau kabur?" tanya Davian lembut dan berjongkok dihadapan wanita muda itu yang diketahui bernama Nadia.
"Saya capek!! Saya capek setiap hari harus minum banyak obat pahit yang bahkan nggak ada efeknya sama sekali buat tubuh saya!!" Nadia menatap Davian tajam seraya berkata dengan emosi.
Sedangkan aku masih tetap setia memperhatikan adegan demi adegan yang dilakoni oleh dokter dan pasien itu.
Davian menghela nafas sebelum akhirnya merengkuh tubuh mungil Nadia dan mendudukan Nadia di kursi yang tak jauh dari tempatku berada.
"Kata siapa obat yang kamu minum tiap hari itu nggak berpengaruh apa-apa sama tubuh kamu?" tanyanya lagi dengan sangat-sangat lembut.
Sungguh. Davian lembut sekali. Sangat berbeda 180 derajat jika berhadapan denganku. Astagaa.. Apakah dia berkepribadian ganda?
"Obat yang saya minum itu nggak nyembuhin saya! Obat itu cuma memperlambat kematian saya. Nggak jauh beda sama racun. Apa dokter tau itu? Saya nggak mau ngebebanin kedua orang tua saya lagi. Saya itu bukan dari keluarga kaya raya yang nggak peduli tentang uang. Kedua orang tua saya bahkan sampai melakukan 3 pekerjaan dalam sehari hanya untuk nebus rumah sakit dan obat-obatan mahal yang nggak ada guna nya sama sekali. Obat yang saya terima itu ibarat lolipop yang dikasih orangtua saya, terus manisnya cuma sesaat dan beberapa hari kemudian gigi saya bolong dan gigi saya sakit." buliran air mata keluar dari mata indah milik Nadia. Bulir-bulir air mata itu saling berkejaran menjatuhi pipinya.
"Rein!! Lu denger gua ngomong nggak sih?" tiba-tiba saja Farel sudah ada didepanku dan berhasil menutupi pandanganku. Farel menepuk bahuku lalu menggoyangkan telapak tangannya berkali-kali tepat didepan wajahku, menatapku penuh tanda tanya.
Aku tersadar akan hal itu. Kenapa bisa-bisanya aku lupa bahwa saat ini aku sedang tidak sendiri? Ada Farel yang ku abaikan sejak tadi.
"Emang tadi lu ngomong apaan Rel?" tanyaku datar.
"Gua mau balik dulu."
"Oh yaudah sono"
"Lu ngusir gua Rein?"
"Nggak. Kan lu sendiri tadi yang mau balik."
"Oh yaudah. Pake Assalamualaikum nggak?"
"Waalaikum salam Rel. Udah sono. Nanti lu kirimin ke gua ajaa ruang inap papa lu no berapanya."
"Iyaa." setelah itu, Farel berlalu pergi ke arah pintu utama rumah sakit.
Baru saja aku ingin menengok kembali ke tempat Davian dan Nadia tadi berbincang. Seorang lelaki berkacamata menghampiriku dan menanyakan dimana aula berada. Mungkin, dia juga dokter yang akan magang disini, Tebakku.
Aku yang berada tepat didepan pintu aula segera menggeser tubuhku agar memudahkan lelaki berkacamata itu masuk ke dalam. "Oh ini aulanya. Maaf tadi saya ngehalangin pintunya." aku menunduk sopan seraya meminta maaf padanya.
"Iya gapapa. Kamu koas?" tanya lelaki berkacamata itu tepat sasaran.
"Emm eh i.. Iyaa. Saya calon koas tepatnyaa. Kamu sendiri?" ujarku gugup karna aku baru saja sadar kalau ternyata lelaki berkacamata itu mempunyai paras yang sangat sangat tampan dan suara seksi yang berhasil menggoyahkan imanku.
"Sama saya juga. Kenapa kamu diem disini? Ayo masuk" ajaknya seraya membuka pintu aula.
"Eh ayo.. Ini juga mau masuk." sebelum masuk ke dalam aula, aku sempat melirik ke tempat Davian tadi, tetapi Davian dan Nadia sudah tidak ada disana.
"Ayoo.. Katanya tadi mau masuk" Lelaki berkacamata itu menarikku dan membawaku masuk ke dalam aula.
--------------------------------------------
Tauu kok part ini dikitttttsss😚 But don't forget to leave vomments yeahhh😻Enjoy gaesss🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewind
RomanceCinta? Apakah aku masih percaya akan cinta setelah semua ini? Hmm.. Tentu TIDAK!! Aku bahkan sudah tidak pernah memikirkan untuk mempunyai hubungan dengan lelaki sekalipun. Sampai suatu hari, seseorang datang dan membuatku mempercayai lagi akan a...