2 // arogansi

31 3 0
                                    

D A R T O ' S P O V

Assalamu'alaikum. Perkenalkan. Namaku Imam Hendarto Sukarno. Panggil aja Darto. Aku bekerja sebagai aktor film layar lebar. Meski sebagai aktor, aku tidak sombong dan suka menebar sensasi seperti artis kebanyakan. Akupun selalu ramah terhadap para fans yang mencintaiku karena mereka sudah ku anggap sebagai keluarga. Aku selalu membalas mention-mention mereka selagi ada waktu senggang. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah lupa dengan Allah. Ketika sedang istirahat syuting, aku selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran dan beribadah.

Suatu malam, aku mengunjungi rumas mas Andi, salah satu sutradara yang namanya termashyur sampai ke Eropa. Kami sedang mengadakan rapat tentang proyek film yang akan kami buat untuk festival film di Cannes nanti. Disana ada juga Radit, Wina, juga Erwin dan beberapa pemain lain.

"Jadi bagaimana? Sudah ditentukan apa genre yang cocok untuk proyek film kita nanti?" tanya sang sutradara itu.

Semua tidak ada yang jawab. Selang beberapa menit kemudian, Erwin pun mengangkat tangannya.

"Mas sutradara, gimana kalau genre yang pas untuk film kita nanti adalah genre romantis. Kan banyak tuh film-film romantis yang sukses di kancah internasional!" jawabnya.

Wina pun juga mengangkat tangannya, lalu berkata, "Bagaimana kalau... Action aja, mas! Kan seru, tuh!"

Giliran Radit yang mengangkat tangannya. Dengan PD-nya pria berambut kribo itu berkata, "Mas, gimana kalau komedi aja? Saya kan paling ahli dalam melawak."

"Oke, semua saran sudah saya terima. Bagaimana dengan kamu, Darto?" sutradara itu menunjuk diriku.

"Eeem... Bagaimana kalau genre-nya itu genre sosial, dimana di film kita nanti kita mengangkat kisah kemiskinan di negeri ini dengan harapan agar para penonton bisa terinspirasi dengan cerita yang kita buat." saranku.

"Wiiiih... Ini baru kereeen... Boleh tuh! Gue setuju aja deh sama lo, Pak!" ujar Radit sambil bertepuk tangan.

Namun, mas Andi justru tidak setuju dengan pendapatku. "Darto, kamu nggak lihat pasar kita tuh apa? Kita tuh mau bikin film komersil, bukan film dokumenter!"

"Memang Anda pikir film komersil itu tentang cinta-cintaan semua? Tentang berantem-berantem semua? Bisa kok cerita sosial dipakai di film biasa." jelasku.

"Betul tuh, mas! Menurutku ya, banyak lho film-film sosial yang sukses di pasar internasional." kata Wina setuju.

"Bah! Kalian ini! Dengar ya? Kalau kita bikin cerita tentang kemiskinan, kesenjangan sosial, bagaimana kata masyarakat nanti?!" ujar mas Andi dengan penuh amarah.

Aku beranjak dari sofa yang kududuki. Dengan nada kesal, aku mengatakan, "Anda jangan meremehkan genre itu ya, mas!"

"Saya tidak meremehkan, saya hanya khawatir!"

"Khawatir apa?! Khawatir filmnya tidak akan laku?! Anda hanya memikirkan uang dan prestasi, tidak pernah memikirkan makna dari sebuah film! Kalau begitu, lebih baik saya pulang!" seruku.

Akupun pergi meninggalkan rumah itu dan seisinya. Aku masuk ke dalam mobil dan menyuruh supir pribadiku untuk kembali ke rumahku. Di dalam mobil, aku menghela nafas sambil mengucap istighfar berulang kali agar aku bisa tenang.

Ya seperti yang kalian lihat tadi. Mas Andi memang sutradara besar, tapi dia keras kepala, arogan, dan selalu merasa benar sendiri. Entah kenapa, aku menerima tawaran dari sutradara aneh itu. Masya Allah...

N.B.
Part 2 sudah selesai! Jangan lupa like dan comment ya!

-By indri_tavia 😊

Berawal Dari Fanservice [ Dandees ]Where stories live. Discover now