Bagian VIII

612 41 18
                                    

Markoset memeriksa kuda besinya. Tidak ada yang rusak, hanya ada goresan pada tangki dan jok motornya. Mahasiswa berprestasi di kampusnya itu menyingkirkan batang pohon sebesar lengan orang dewasa itu ke sisi jalan. Ia mengengkol CB 100 itu, dan sekali pancal mesin sudah meraung – raung. Markoset kembali menunggangi motor yang selalu licin kinyis – kinyis itu. Sekali menarik gas, kuda jepang itu melaju tanpa meringkik.

Markoset sudah memasuki gapura Desa Talang Baru dari bamboo.  Nampaknya gapura bekas perayaan kemerdekaan Indonesia. Cat gapura itu merah putih yang sudah memudar, dan dikotori tanah yang memercik ketika hujan menghardik bumi. Rumah penduduk desa hampir semua sudah permanen, walaupun masih sangat sederhana dan tanpa nilai seni sedikitpun. Markoset menghentikan motornya ketika melihat seorang perempuan menjemur biji kopi di halaman rumahnya. Ia menyandarkan motornya di tepi jalan. Markoset mendekati perempuan umur tigapuluh tahunan.

"Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam.."

"Numpang tanya Bu, rumah Pak Kades yang mana ya?"

"O, adik lurus saja. Nanti ada perempatan yang ada tugunya belok ke kanan. Kira – kira duaratus meter ada jalan ke kiri. Nah, sekitar delapan rumah kanan jalan, itu rumah Pak Kades. Rumah paling bagus."

"Terima kasih, Bu."

"Sama – sama, Dik."

Markoset mengurai senyum, dan berlalu dari hadapan perempuan itu. Perempuan kampung itu memandangi Markoset sampai hilang dari sergapan matanya. Yang tersisa hanya bunyi knalpot motornya yang sendiri meraung – raung di tengah kampung.

Markoset sudah berdiri di depan pintu rumah Pak Kades. Tidak ada tanda – tanda,  ada banyak penghuni di rumah ini, gumam Markoset.

"Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam..," jawaban dari dalam rumah. Suara seorang perempuan tua. Mungkin seumuran dengan ibunya. Bu camat Ngadirejo. Seorang perempuan sudah berdiri di hadapan Markoset.

"Maaf Bu, apa benar ini rumah Pak Kades?"

"O, benar Dik. Adik dari mana?"

"Saya kawan dari mahasiswa yang tengah KKN di desa ini."

"O, iya. Mari masuk Dik.."

Markoset sudah duduk di ruang tamu, pada sebuah kursi rotan yng sudah agak rapuh dan kurapan. Ia membuka pembicaraan lagi dengan Bu Kades.

"Mereka pada kemana ya,Bu? Kok sepi."

"Katanya pada mau ke air terjun, Dik."

"Oh, jauh dari kampung, Bu?"

"Setengah jam saja jalan kaki. Adik mau menyusul?"

"Mau, tapi tidak tahu jalannya, Bu."

"Sebentar Dik, saya coba cari anak – anak yang bias disuruh antar."

Bu Kades keluar rumah. Markoset ditinggalkan sendiri di ruang tamu. Markoset terkikik ketika melihat seragam putih – putih dengan topi khas amtenaar itu.  Jengkol menggantung di saku kanan. Markoset seraya ingat akan bapaknya, camat Ngadirejo. Bu Kades mengenakan kebaya dan gelungan rambutnya mirip ban vespa. Ia pun ingat ibunya, bu camat. Foto Pak Kades dan Bu Kades itu tergantung di bawah foto Presiden Suharto dan Adam Malik sebagai Wakil Presiden. Lambang negara menaungi semua foto itu

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang