Bagian IX

603 44 4
                                    

Kaca nako hitam di buka empatpuluh lima derajat, sehingga wangi bunga kopi semerbak memasuki ruang tamu itu. Imajinasi Markoset meroket ke asmaraloka. Ia sedang mengejar Ken Dedes yang sedang berlari – lari kecil di taman itu. Markoset dalam khayalan cabul itu berperan sebagai Ken Angrok yang perkasa. Ia mengejar Ken Dedes yang terus berlari jinak – jinak kelinci genit. Pada sebuah loka yang dipenuhi bunga – bunga anggrek aneka warga, tangan Ken Dedes berhasil ia gapai. Dengan sekali tarik Ken Angrok berhasil membuat Ken Dedes terjerembab dalam pelukannya. Ken dedes pasrah dalam gelora asmara.

Burung emprit Markoset bercuit – cuit, larut dalam gelora berahi asmara yang buncah ruah. Nafas Markoset tersengal susah payah, bongkahan batu seperti menyumpal aliran pernafasannya. Tarikan nafas Markoset bergetar seperti CB 100-nya ketika membonceng tiga orang tambun, menaiki tanjakkan terjal.

"Dik, biar ditemani Dudung Surudung ini,  kalau mau menyusul mereka." Markoset tergagap mendengar ucapan Bu Kades. Layar imajinasi binalnya tergulung paksa.

"Oh, iya Bu Kades. Kami jalan dulu ya Bu, salam untuk Pak Kades."

"Hati – hati Dung, jangan cepat – cepat jalannya."

"Ya Bu Kades."

"Tenang saja Bu, saya ini petualang juga kok."

Dengan berjalan kaki Dudung Surudung mengantar Markoset. Mereka menyusuri kebun kopi rakyat yang terlihat semrawut dan tidak terawat. Sejuknya udara membuat rongga dada Markoset terasa longgar. Harumnya bunga kopi membuat hawa segar itu makin berseri – seri. Kaki – kaki mereka lincah menyusuri punggung bukit. Jalanan menurun tajam, dengan tungkainya yang kokoh keduanya berusaha menahan beban tubuh mereka. Tiba giliran di jalanan menanjak, nafas mereka seperti knalpot motor bodong. Mereka engos – engosan, megap – megap seperti tenggelam di kolam kedukan batu bata.

Dari kejauhan suara gemericik air jatuh dari  sudah terdengar. Suara singgeret meraung raung seperti mesin chain saw menggesek kayu. Derik serangga lain memenuhi gendang telinga mereka. Aneka suara itu seolah berebut ruang di dalam gendang telinga mereka. Kini bukan lagi perkebunan kopi yang mereka tapaki, melainkan hutan sekunder yang ditumbuhi aneka tanaman hutan. Meski Markoset adalah calon insinyur kehutanan, namun masuk ke hutan tidaklah sering.   Mungkin jumlah jari tangan dan kakinya masih cukup untuk membilang.

"Itu Mas, air terjunnya," ucap Dudung Surudung sambil menunjuk arah datangnya suara air gemericik.

"Wow, indah sekali. Tingginya berapa itu, Dik?" tanya Markoset.

"Tinggi Mas, mungkin seratus meter lebih. Ini dalam kawasan hutan lindung Mas."

"O, tapi kok kayu – kayu besarnya sudah habis ya, Dik?"

"Wah dibalak sama orang – orang dari Jakarta, Mas."

"Hmmm, serakah mereka. Kalau alam murka yang menanggung derita warga desa sekitar hutan."

"Itu masalahnya, Mas."

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang