Nyong subuh sudah bangun. Suara azan Subuh membuatnya terjaga. Segera ia beranjak dari tempat tidur. Markoset yang seranjang dengannya masih mendengkur seperti spoor. Grrrrr zzzzz grrrr zzzzzz grrrr zzzzz. Nyong tidak membangunkannya, ia ke belakang mengambil air wudhu. Di dapur rupanya Bu Kades sudah memasak, menyiapkan sarapan untuk mereka ditemani Menuk Parwati.
"Nuk, sudah bangun kau?" sapa Nyong.
"Tiap sebelum Subuh aku selalu sudah bangun kok."
"Calon istri idaman..."
"Apa? hmmmm. Tapi suamiku enggak mungkin di antara kalian."
"Kok?"
"Ih, punya suami semprol seperti kalian makan hati."
"Nuk.."
"Ya, kau enggak temui Ken Angrokmu?"
"Siapa? Markoset?"
"Iya."
"Suruh pulang cepat – cepat dia, memalukan..!"
"Hihihi...kasihan lah, jauh – jauh kemari demi kamu loh."
"Sudah.. sudah.. sudah, sana wudhu Salat Subuh di mushala."
"Iya sayang..."
"Sayang kepalamu peang!"
"Manis deh kalau cemberut gitu."
Menuk membawakan siwur, untuk memukul Nyong. Tukang ngintip itu lari terbirit – birit, ke arah padasan di belakang dapur. Bu Kades yang menyaksikan adegan itu terkikik. Ada - ada saja pikirnya.
Bau harum bunga kopi membuat Nyong merinding melihat kegelapan di belakang dapur. Bulu tengkuknya berdiri. Ah! Ini pasti perdaya iblis, batinnya. Ia tertap berwudhu dengan khusuk. Dari mushala terdengar suara puji – pujian yang bergelombang iramanya. Suara Mbak Prapto yang sudah ompong semua giginya. Suara itu sepertinya lebih banyak mendesisnya. Terlalu banyak angin yang disemburkan dari mulut sepuh itu. Di imami Mbak Prapto, Salat Subuh berjamaah kali ini hanya diikuti empat orang termasuk imam. Miris, batin Nyong. Bagaimana tidak, penduduk Desa Talang Baru ini seratus persen muslim.
Sepulang Salat Subuh Nyong lari pagi dijalanan kampung yang sunyi. Sepanjang jalan Nyong menikmati harumnya bunga kopi. Udara dingin yang menghardik kulitnya sudah tidak terasa oleh olahgerak larinya. Badan terasa bugar, dan keringat sehat pun bercucuran.
Langit sudah berwarna lembayung, tanda matahari sudah menggeliat dari pembaringannya di ufuk Timur. Sekawanan kalong sudah pulang dari beronda malam, mencuri buah masak milik warga, atau berkencan dengan pasangannya hingga fajar. Nyong sudah sampai di depan rumah Pak Kades. Markoset terlihat sudah mengeluarkan CB 100. Pagi ini juga iya harus kembali ke desa KKN-nya, Umbul Bambu.
"Mau balik sepagi ini, Mar?"
"Iya."
"Enggak nunggu ditemui Ken Dedesmu?"
"Gak."
"Sia – sia perjalananmu kemari."
"Hii..." Markoset hanya nyengir kambing bandot.
Markoset membersihkan motor kesayangannya dengan gombal amoh yang ia simpan bersama peralatan maintenance-nya. Dengan telaten dan teliti, Markoset membersihkan setiap sudut yang dianggap kotor. CB 100 itu pun mengkilat seperti dijilati seribu kucing garong.
"Nyong, titip surat untuk Menuk."
"Mana?"
"Ini." Markoset menyodorkan amplop kembang – kembang yang lebih wangi dari bunga kopi.
"Aku berangkat ya."
"Hati – hati di jalan Angrok!"
"Matamu picek!"
"Asu teles koe Mar, di suruh hati – hati malah misuhi."
Sebelum berangkat Nyong membisikkan sesuatu ke telinga Markoset. Markoset terlihat merah padam mukanya.
"Diancok!"
"Benar kok, bokong Menuk itu retak - retak. Mungkin karena ukurannya terlalu besar."
"Raimu!"
"Apemnya Mar, wooow..!"
"Wow apa."
"Penuh, montok, dan...."
"Anjiiiiiiiiiiiing!"
"Hahaha...." Nyong tertawa terbahak.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARKOSET MENGEJAR KEN DEDES
Short StoryMakoset Mengejar Ken Dedes adalah kisah parody romantic dua mahasiswa aktifis Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Teater. Markoset memerankan Ken Angrok dan Menuk Parwati memerankan Ken Dedes dalam pentas teater Pekan Seni Mahasiswa Nasiona...