Jujur aku tidak mau mengingat itu semua. Namun hal itu selalu hadir dipikiranku.
Memang aku sedikit sakit hati dengan perlakuan Dhiva kemarin. Tetapi mau bagaimana lagi? Merubah pun tak akan bisa.
Aku tidak mau memperburuk hubungan persahabatan kami menjadi lebih buruk lagi. Aku tidak mau membesar-besarkan masalah ini. Cukup aku yang merasa dijauhi seperti ini.
Kantuk belum juga datang. Pikiranku masih jauh melayang kemana-mana. Sambil sesekali melirik layar handphone yang berwarna hitam, tanpa mau memainkannya.
Satu nama yang terlintas dipikiranku. Kinar. Mungkin aku bisa sedikit bercerita dengannya, dan meringankan pikiranku.
Aku meraih benda pipih yang sedari tadi berada di atas nakas. Aku mencari nama Kinar di kontak telepon dan mengarahkan benda pipih tersebut ke telingaku.
"Semoga aku tidak mengganggu Kinar"
"Halo.. Kinar?"
"Hai.. iyaa. Ada apa nih?" Tanya Kinar dari seberang telepon.
"Hmm.. kamu sedang apa?"
"Habis selesai mengerjakan tugas untuk dikumpul besok." Jawab Kinar.
"Aku tidak mengganggu kamu kan?" Tanyaku cemas.
"Tentu tidak. Kamu seperti baru mengenal aku kemarin saja." Terdengar kikikkan dari Kinar.
"Hehe aku takut mengganggu kamu karena aku telepon kamu malam begini."
"Tidak, Na. Ayo cerita ada apa? Pasti ada yang mengganjal di hati kamu sampai menelpin aku malam begini." Perkataan Kinar tepat sasaran. Aku hanya tersenyum.
Kami memang bersahabat sudah lama. Sejak kami di sekolah menengah pertama. Jadi kami sudah hafal seluk beluk diri kami masing-masing.
Dulu pernah saat malam hari tiba-tiba ada telepon dari orang tua Kinar yang menanyakan keberadaan anaknya. Aku ingat betul bagaimana kegelisahan orang tua Kinar saat menghubungiku.
Memang siangnya aku sempat pergi bersama Kinar ke pameran yang diadakan di mall daerah kota. Lalu setelah kami pulang bersama, Kinar memilih pulang ke rumah Tantenya. Tanpa memberi tahu orang tuanya.
Setelah sampai di rumah Tantenya, Kinar memutuskan pergi ke toko buku untuk membeli majalah yang Ia inginkan. Lalu bertemu teman lainnya. Sampai lupa mengabari ke orang tuanya.
Keesokan harinya saat di sekolah, Kinar aku marahi habis-habisan. Ia hanya tertunduk tanpa membalasku. Melihat Kinar yang hampir menangis, aku bersama Icha dan Putri mendatanginya, lalu memeluknya.
Ia menangis. Lalu meminta maaf kepada kami yang membuat mengkhawatirkannya. Lalu ia berjanji tidak akan melalukannya lagi.
"Hmm.. aku mau cerita. Tetapi bingung mulai dari mana." Pandanganku jauh menerawang.
"Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini." Suara Kinar terdengar datar.
Aku menghelas napas. "Aku tidak tahu, Kin. Aku bingung. Perasaanku tidak enak."
"I know.. but-"
"But, what? I was tired for this." Suaraku hampir frustasi.
Terdengar suara Kinar menghela napas. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Na. Kamu tahu itu."Terdengar jeda.
"Aku tahu, ini sakit untuk kamu. Kita bisa apa? Kita tidak bisa berbuat-buat apa-apa. Hanya bisa diam."Suara Kinar memelan.
Sungguh, aku menahan tangis yang sebentar lagi muncul. Sakit ini, ada lagi.
"Tiana. Jujut, kalau aku bisa bantu kamu, aku ingin sekali bantu kamu. Tapi masalahnya ini cukup rumit-complicated- dan aku tidak tahu mesti bantu dari mana." Aku terdiam.
"Aku bisa saja bicara ke Putri soal ini-"
Aku menyela. "Tidak! Aku tidak ingin Putri tahu masalah ini. Aku tidak mau membuat masalah menjadi rumit lagi dengan tahunya Putri."
Kinar penah memberikan ide gila, dengan memberi tahu Putri yang selama ini aku rasakan dan bagaiman sikap Dhiva kepadaku. Namun aku menolak dengan keras ide gila itu.
Dengan tidak tahunya Putri saja keadaannya seperti ini. Bagaimana kalau Putri tahu. Mungkin persahabatan kami tinggal kenangan saja.
"Kamu selalu bilang seperti itu. Tapi ini jalan terakhir. Ingat, Na. Perhatikan perasaanmu juga. Aku sedih dengan keadaan kamu seperti ini." Suara Kinar terdengar prihatin.
"Iya aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mau memeperburuk suasana lagi. Cukup aku yang merasa tidak dianggap dan diabaikan." Jedaku.
"Entahlah. Sekarang aku bingung mesti apa." Aku menghela nafas dan mengusap wajahku-frustasi-.
"Sabar. Hanya itu kuncinya." Jawab Kinar.
"Entah. Aku harus sabar seperti apa lagi. Rasanya lelah."
"Kamu boleh lelah, tapi jangan samapi melakukan hal yang merugikan diri kamu sendiri." Ucap Kinar mengingatkan.
"Astagfirullah.. tidak mungkin aku melakukan hal-hal yang amat dibenci-Nya, Nar. Tenang saja." Jawabku dengan santai.
Beban yang sempat menggelayutiku tadi, sedikit hilang. Mungkin memang ini yang aku harus lakukan saat merasa penat.
"Ingat. Semua ada waktunya, Na. Mungkin saat ini kamu seerti ini, tapi kita sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tetap berdoa dan minta yang terbaik dari-Nya."
********
Maaf kalo ada typo.
Enjoy^^.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen FictionTiana Ann. Gadis biasa yang hidupnya selalu dikelilingi dengan tawaan dari sahabat dan keluarganya. Lalu, satu kesalahan yang membuat hidupnya bagai dikejar sang penakluk dunia merubahnya. Kebiasaan-kebiasaan yang selama ini Ia lakukan mulai ditingg...