Part 4. Kegelisahan

38 5 0
                                    

Pagi ini aku berniat tidak masuk kuliah. Karena alasan kejadian kemarin dan badan yang kurang enak. Mungkin karena efek menangis kemarin.

Kemarin Kinar dan Icha mengantarku pulang. Mereka juga sempat menemaniku untuk sekedar membantu melupakan kejadian di perpustakaan. Mereka juga memberi ku saran, agar tidak terlalu dekat dengan mereka.

Berhubung aku di rumah. Aku berniat merapikan dan membersihkannya. Waktu kuliah yang cukup menyita, menjadi alasan aku jarang membersihkan rumah.

Aku tinggal sendiri di kota ini. Memang ada beberapa saudara yang tinggal di kota ini, namun cukup jauh dari tempat tinggalku. Terkadang sepupuku datang untuk berkunjung atau menengok keadaanku.

Rumah ini tidak terlalu besar, namun cukup untukku. Ini adalah rumah Bude ku yang sudah lama ditinggalkan, karena Ia ikut tinggal bersama suaminya di Bogor.

Memang terkadang aku merasa kesepian, namun mau bagaimana lagi. Ini yang sudah aku pilih sejak memutuskan kuliah di kota ini.

Aku mulai menyibukan diri dengan membersihkan rumah. Rumah yang tidak terlalu besar memudahkan ku untuk membersihkannya. Menyapu, mengepel, membersihkan lemari, meja dari debu dan lain sebagainya. Bahkan tekadang aku memasak. Walau bukan makanan yang sulit. Namun semua itu mau tidak mau harus aku kerjakan sendiri.

Dulu Bude sempat menawari untuk menyewa jasa pembantu yang kebetulan juga dulu kerja bersama Bude di rumah ini. Namun aku menolak. Dengan alasan aku bisa mengerjakan semuanya sendiri dan keberatan untuk menggajinya. Memang uang yang dikirimkan ibu terkadang lebih, namun lebih baik uang tersebut aku tabung, untuk jaga-jaga dikala aku sakit atau ada tugas yang mengharuskan aku mengeluarkan uang lebih.

Terdengar ketukan pintu saat aku sedang mengistirahatkan tubuh disofa. Aku bangun dan jalan menuju pintu depan.

Aku terkejut saat membuka pintu dan mendapati Putri yang berada di sana dengan senyum manisnya.

"Bagaimana aku membenci orang yang mempunyai senyum manis seperti malaikat ini?"

"Hai."

Putri berada di hadapanku dengan senyuman yang merekah. Wajahnya tidak menggambarkan apapun. Selain kecerian yang selalu Ia perlihatkan. Seakan tidak mengingat apa yang baru terjadi kemarin.

"Hai." Balasku dengan senyuman kikuk.

"Kenapa kamu tidak masuk kuliah hari ini?" Tanya Putri.

"Oh. Masuk dulu deh." Aku menggeser badanku agar Putri bisa masuk.

"Badanku kurang enak. Mungkin kecapean."

"Yah. Padahal aku mau ajak kamu ke Malioboro. Tanteku akan kembali ke London besok. Aku mau kasih sedikit oleh-oleh untuknya."

"Hmm. Maaf yaa."

"Kamu ke sini dengan siapa? Sendiri?"

"Oh itu, tadi aku diantar Dhiva. Tetapi dia langsung kembali ke kampus." Aku tersenyum ketir. Jadi Putri ke sini diantar Dhiva.

"Katanya mau ketemu dosen." Sambung Putri

"Dhiva tidak peduli terhadapmu, An!" Iblis kembali menertawakanku.

"Ohya, ini ada bubur ayam. Tadi aku dan Dhiva sempat sarapan di sana dan teringat akan mengunjungimu, jadi aku belikan untukmu." Putri memberikan bungkusan yang berisi bubur ayam kepadaku.

"Oh. Terima kasih. Aku ke dapur dulu deh, kamu ke kamar saja. Nanti aku ke sana."

Aku berjalan menuju dapur. Pikiranku mulai berkecamuk dan pusing pun mulai menyerang. Tetapi aku harus kuat. Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku dihadapan Putri.

Tanpa ku sadari air mataku terjatuh. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Meluapkan rasa penat di dada.

"Kamu kenapa?" Suara Putri mengagetkanku. Buru-buru aku menghapus air mata di pipi.

"Eh. Tidak kok." Elakku. Lalu aku menghadap ke arah Putri.

"Kamu cari apa?"

"Minum." Sambil mengangkat gelas yang Ia pegang.

"An, aku mau cerita." Kata Putri saat kami sampai di kamarku.

"Cerita apa?" Tanyaku sambil sesekali menyuap bubur.

"Soal Iyan." Kata Putri dengan wajah cemberut.

"Aku bingung sama dia. Belakangan ini dia sulit dihubungi." Sambung Putri.

"Kamu lucu ya. Ya ini resikonya LDR. Dulu aku sempat kasih tau kamu sedihnya LDR loh. Tapi kamu bilang tidak apa." Ucapku sedikit tertawa.

Putri memiliki kekasih yang berada di kota berbeda dengannya. Mereka memilih menjalin hubungan jarak jauh dengan berani mengambil resiko yang cukup berat.

Sejauh ini kisah cinta mereka baik-baik saja. Bahkan jarang diwarnai pertikaian yang besar. Hanya terkadang Putri mengeluh dikala rindu datang. Ingin bertemu pun susah. Jarak memisahkan mereka.

"Ih. Kamu jahat." Ucap Putri dengan kesal.

"Oke. Oke. Mungkin dia sedang sibuk. Kamu tau sendirikan jurusan tehnik seperti apa. Beda dengan kita yang sedikit mudah dan dapat waktu kosong lebih banyak." Ucapku menenangkan Putri.

Putri kembali cemberut. Seperti tidak setuju dengan perkataanku. "Tetapi kali ini ada yang berbeda. Atau mungkin-"

"Tuh. Kamu mulai deh. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kalau nanti benar, apa kamu mau menerimanya?" Ucapku memperingati.

"Ya sudah, iya. Aku tidak berpikiran seperti itu lagi." Putri tertunduk lesu.

Aku pun melanjutkan makan bubur yang tadi sempat tertunda karena obrolan dengan Putri. Putri merebahkan badannya di ranjangku sambil bermain handphone.

Putri bangun dari rebahannya dan menatapku. "Ohya, aku baru ingat. Kemarin kamu kemana?"

Seketika aku terbatuk. "Eh. Minum, An." Putri menyodorkan gelas yang berisi air putih.

"Sudah?" Aku mengangguk.

"Aku kan hanya bertanya kemarin kamu kemana kok kamu malah tersedak seperti ini." Putri menggeleng.

Bukan karena kamu bertanya, tetapi dengan pertanyaan yang kamu ajukan membuat ku terkejut.

Setelah menguasai diri. Aku menjawab. "Oh. Aku ingat ada janji bertemu dengan Kinar kemarin." Sangkalku dengan meringis.

Putri menatapku lekat. Merasa ada yang aneh dengan jawabanku. "Ketemu di mana? Setelah menyelesaikan tugas itu. Aku dan Dhiva berkeliling mencari kamu. Tetapi tidak menemukan kamu ataupun Kinar."

"Mm. Kami ketemu di luar."

"Ya, Tuhan. Maafkan atas kebohonganku saat ini." Ucapku dalam hati.

Putri mengangguk dan merebahkan badannya lagi.

Aku menatap nanar bubur yang masih tersisa. Namun napsu makanku menguap entah kemana. Aku menaru mangkuk bubur ke meja belajar. Lalu berjalan ke arah jendela kamar.

Pandanganku mengarah kepada pohon dan bunga-bunga yang sengaja aku tanam untuk sekedar menghilangkan rasa bosan.

"Sampai kapan aku akan berbohong seperti ini, ya tuhan? Apa yang harus aku lakukan."

Putri beruntung. Dengan kencantikan yang Ia punya, siapa saja mau bersanding dengannya.

Begitu dengan Dhiva. Dhiva tahu Putri sudah memiliki Iyan yang mengisi hatinya, tetapi Ia tidak menyerah begitu saja. Ia rela melakukan apa saja agar Putri bahagia, dan menggantikan tugas Iyan disaat Iyan berada jauh dari Putri.

Putri pun tidak merasa terusik dengan keberadaan Dhiva yang hampir setiap hari bersamanya. Menurutnya Dhiva hanya sahabat yang baik. Yang selalu membantu dikala Ia sedang kesulitan.

Entah apa yang ada dipikiran Dhiva. Ia mengetahui bagaimana Putri menempatkan dirinya di hidupnya. Namun Ia hanya diam. Mengikuti alur yang ada. Seakan tidak mengetahui apa-apa.

Padahal di sini ada aku yang siap menerimanya apapun yang terjadi.

*******

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang