Mawar

72 6 0
                                    

Setetes air mata mengalir melewati pipi cembungmu.
Hey, jangan menangis lagi, aku tak mau terus menghapus air matamu. Kita hanya sebatas teman, aku menganggapmu adikku, hanya sebatas itu. Kuharap kau juga menganggapku tak lebih dari itu.
***
"Mas, kamu dimana?"
"Aku ada di kos de, ada apa"
"Aku pingin ketemu mas"
"Sekarang?"
"Iya"
"Oke, Aku jemput sekarang"
19.30 waktu di layar handphoneku. Aku masih menunggunya di pertigaan dekat makam. Malam terasa menyeramkan apalagi saat melihat sepinya pemakaman tempat para orang mati itu dikubur. Mungkin jika kita bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi disana kita pasti akan ketakutan, suara teriakan dan tangis penyesalan mereka yang telah mati. Ahh, begitu mengerikan pastinya.
Akhirnya motor ini bergerak, dengan kau dibelakangku. Ada apa dengan tangis itu? Apa kisah itu mulai lagi? Belum kau hentikan? Ia yang membuatmu terus menangis seperti ini. Aku lupa siapa namanya, kau lebih sering menyebutnya senja.
Kadang aku menganggapmu bodoh. Mawar yang telah ditebas oleh pisau dan kau masih menganggap pisau itu berharga. Mungkin jika itu aku, akan kuhancurkan pisau itu. Bukan hanya kupatahkan.
"Ada apa?" Aku bertanya seperti orang bodoh.
"Tak apa mas"
"Ya sudah, mau kemana?"
"Terserah"
Perjalanan yang hanya sekejap ini berhenti di sebuah kedai kopi pinggiran kota. Tak begitu ramai, namun setidaknya aku mengenal salah satu pegawainya. Kawanku sejak lama, dan kawanku sejak pertama aku dikota. Kami berhenti dan masuk kedalam kedai, menyapa pegawai wanita yang mulai kukenali setelah beberapa kali kemari. Cantik menarik, mungkin lebih seperti menawan. Dan cantik, tentu saja.
"nind, aku kopi biasa sama susu hangat"
"oke"
Memilih kursi dipojok kiri dari kasir dengan penerangan seadanya membuat malam ini seolah penuh dengan keremangan. Empat kursi kayu coklat dengan meja kotak ditengahnya. Aku memilih melepaskan sepatuku yang sedari tadi mulai membuatku tak nyaman. Rasa dingin lantai beton ini mulai merasuk sedikit demi sedikit kedalam kulit, rintik hujan yang sedari tadi tertahanpun sudah tak mampu lagi bertahan dilangit. Tetes demi tetes yang menggantung tadi kini mulai menapak bumi, membawa angin berwangi tanah yang terkena guyuran hujan. Sedikit melambungkan ingatan masa lalu disebuah tempat jauh. Sepuluh menit duduk berdua tanpa sepetah kata, aku memang masih menunggumu bicara. Ketika kata pertama terlontar dan memecah suara rintik yang semakin deras.
"Mas"
Aku tak menjawab, masih diam menunggumu mengucapkan kata selanjutnya.
" Kami berantem lagi"
Mataku menatapnya, dalam dada ada yang berbisik.
"Apa aku salah lagi yah? Kenapa kami seolah ditakdirkan mencinta namun membawa lara dan duka ketika bersama?"
"Kau mau kujawab apa? "Ucapku.
"Yang terbaik mas"
"Aku tak punya jawaban terbaik, setiap jawabanku akan punya resiko. Tak ada yang benar-benar baik dan tak ada yang benar-benar buruk. Seharusnya kau tau, itu retoris."
"Iya aku tau mas soal itu"
"Jadi kenapa kau masih bertanya?"
"Mungkin hanya untuk melegakan hati saja"
"Menurutku juga itu yang sedang kau lakukan"
"Jadi? Haruskah aku bertahan?"
"Ya dan tidak, ikuti saja kata hatimu."
"Aku sungguh lelah sejujurnya."
"Aku tau"
Obrolan terhenti, suara rintik tadi berganti deras. Setetes air mata mengalir melewati pipi cembungmu.
"Hey, jangan menangis lagi, aku tak mau terus menghapus air matamu. Kita hanya sebatas teman, aku menganggapmu adikku, hanya sebatas itu. Kuharap kau juga menganggapku tak lebih dari itu."
Kau terdiam lagi sambil menarik tisu dari dalam tasmu. Menyeka air mata yang telah puluhan kali mengalir hanya karna sepotong cinta. Sejujurnya aku tak begitu nyaman setiap melihatmu dalam keadaan ini. Kau seolah kehilangan pesona mawar merah yang kau miliki. Senyum yang menusuk bagai duri, kecantikan yang menggema milik mawar, merah yang menampakan keteguhan hati serta wangimu yang semerbak menggoda setiap mata lelaki untuk menoleh. Kemana itu semua ketika kau menangis? Apa ikut meleleh bersama air matamu?
"Mas"
Aku diam
"Aku sudah berpikir"
Kau mengambil handphonemu dan mengetik entah apa. Tanganmu mendekatkan handphone ke telingan.
"Halo, maaf, aku mau putus."
Kau mematikan handphonemu, menaruhnya diatas meja lalu meminum susu yang baru saja diantarkan salah satu pelayan kedai sambil menyapa
"Woi mas, ini minumnya. Ganti lagi yah?"
Aku hanya tersenyum padanya. Pelayan itu pergi.
"Mas, boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Pinjami aku pundakmu malam ini"
"Ya"
Kau berpidah duduk disampingku dan menyenderkan kepalamu. Menangis bersama langit yang semakin memuntahkan air matanya pada bumi. Hanya suara isak samar yang kudengar darimu.
"Mas, aku masih mencintainya"
"Aku tau"

Kopi, Cinta, dan PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang