Senyum mengambang di bibirmu, senyum yang pernah kutemui beberapa waktu yang lalu ketika kau pergi.
"yudha, selamat malam" ucapmu menyapa.
"selamat malam saudaraku, bagaimana perjalananmu kemari? Melelahkan?"
"ya, tak pernah semenyenangkan ini."
"selamat datang, sudah kupesankan kopi kegemaranmu. Masih kopi hitam pekat seperti dulu bukan?"
"aku masih menyukainya, meski kini sudah banyak yang berbeda padaku."
"jadi, kau langsung berkeluh kesah ketika kita baru berjumpa? Duduklah dulu. Ceritakan tentang bagaimana kau sampai disini."
Kau melangkah keseberang meja tempatku duduk dan menyandarkan dirimu dikursi bambu lawas yang masih ada, peninggalan yang tersisia semenjak kau pergi dari kota. Aku menyulut sebatang u-mild yang sengaja kupesankan khusus untukmu, kau mengambil sebatang dari bungkus yang sama. Aku masih ingat segala kegemaranmu kawan, pikirku ketika kau menyulut batang rokok itu. Sesaat kita masih terdiam mencoba menikmati batangan racun yang selalu kita hisap berwaktu waktu yang lalu. Sruputan kopi pertama yang kau lakukan membuka kembali obrolan kita yang sempat tertunda, samar-samar dari depan kasir terputar sebuah lagu yang entah bagaimana membuatku teringat tentang kita dimasa lalu.
"kau ingat lagu ini kawan?"
"iya"
"kita sering menyanyikannya dulu ketika kau masih hidup dikota ini"
"aku ingat, aku selalu memegang gitar dengan penuh rasa ketika kau minta aku memetiknya"
"lalu aku mulai bernyanyi mencoba meresapinya"
Hey, sampai jumpa dilain hari
Untuk kita bertemu lagi
Kurelakan dirimu pergi
Meskipun kutak siap untuk menunggugu
Kutak siap hidup tanpamu
Kuharap terbaik untukmu
Kita sama sama menyanyikan lagu itu, bersama mencoba mengingat masa lalu yang dulu pernah kita lewati sebagai sepasang saudara. Setidaknya itu yang kupikirkan tentangmu. Aku tau kau juga menganggapku seperti itu kawan, saudara yang tak terhubung oleh darah, namun saudara yang tercipta karna waktu, waktu yang kita lewati bersama selama ini. Kau benar benar menjadi saudaraku kawan, kau harus percaya.
"kau sampai sini kapan? Kenapa tak memberitahuku lebih awal?"
"aku baru sampai, ya beberapa waktu setelah kau pesan kopi itu untukku."
"benarkah? Kenapa tak langsung menemuiku?"
"ya, aku mencoba menghubungi beberapa orang. Sepertinya mereka sedang sibuk. Tapi meskipun tak kuberitahupun kau tetap datang, bukankah itu yang lebih penting?"
"ya, aku hanya berfirasat."
"aku tau, bukankah aku pernah berjanji akan datang hari ini?"
"karna janjimu pula aku tetap datang."
"terimakasih karna kau selalu mengingatnya, aku tak tau esok bisa kembali atau tidak kemari. Aku tak bisa menjanjikannya lagi kawan."
"tak apa, kadang hidup memang sulit untuk dilewati."
Kau kembali menyeruput kopi hitam pekat kegemaranmu, yang juga jadi kegemaranku kini. Lama kutunggu hingga kau memulai berucap lagi.
"aku sangat lelah kawan."
"ceritakan saja padaku, kali ini kita masih punya waktu untuk berjumpa. Mungkin sedikit lebih lama"
"hidupku kini tidak terlalu nyaman, kau tau kan ketika kita sring keluar waktu malam dahulu? Itu semua mempengaruhi kehidupanku kini. Air yang sering kita sajikan berdua benar-benar membuatku tersakiti, namun kadang dimalam malam tertentu aku merasa begitu nyaman. Serasa ada angina dingin yang menyelimutiku untuk beristirahat lebih mudah. Anehnya ketika malam malam seperti itu aku jadi mengingatmu."
"mungkin karena aku selalu berdoa agar semua orang yang mengenalku bisa hidup lebih baik. Mungkin itu yang membuatmu mengingatku?"
"bisa jadi kawan, terima kasih karna mengingatku, selalu."
"ya tak apa. Itu bukan hanya untukmu kok."
Obrolan kita kembali terhenti, kau telah menghabiskan batang rokokmu. Aku menatap senyummu lagi. Senyum yang sama ketika kau pergi meninggalkanku dahulu diperbatasan. Senyum yang selalu kuingat.
"kawan, sepertinya aku harus segera pergi sekarang. Sunguh aku ingin berbincan lebih lama sebenarnya, namun aku sudah dipanggil pengawalku. Aku hanya datang sekedar memenuhi janji. Maafkan aku."
"tak apa, aku paham posisimu sekarang. Aku tak akan memaksamu."
"apa kita benar-benar saudara?"
"ya, kita sungguh saudara, meski taka da darah yang sama diantara kita."
"terimakasih kawan, sampai jumpa."
Kau menyalamiku dengan senyum yang masih sama. Aku juga tersenyum dan menjabat tanganmu erat kali ini. Sampai diwaktu tanganku menembus fisikmu yang samar-samar mulai melenyap diantara udara, sedikit-sedikit menembus dan membuatku bisa memandang tembok bata di belakangmu. Aku masih menggenggam, kali ini udara kosong yang kugenggam, dan sebuah kertas bertulis "terima kasih untuk doamu selalu".
Terpejam, kali ini kau menghilang tak berbekas, tak terlihat, tak lagi ada. Rokok yang kubeli sebelum kemari baru habis sebatang, kopi yang kupesan masih utuh dua gelas, belum tersentuh dan terjamah. Namun ingatan tentangmu dalam kepalaku masih terlintas jelas. Kali ini aku meneteskan air mata, lagi. Sambil memejam akupun berucap.
"kawan, sampai jumpa. Setahun kepergianmu sangat berat untukku. Terimakasih untuk datang dan mengobati rinduku."
Suara lembut yang selalu kudengar akhirnya menyapa.
"hay mas."
"hay mawar, kau terlambat, ia baru saja pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi, Cinta, dan Perpisahan
Short Storybukan sesuatu yang menyenangkan, tapi itulah kopi.