Kopi, Cinta, dan Perpisahan

103 7 0
                                    

Tak seperti kalian yang memiliki banyak hal untuk jadi bahagia, aku tak punya. Hanya ada beberapa hal yang mampu membuatku bahagia. Salah satunya adalah perpisahan. Mungkin sebagian orang akan bertanya kenapa perpisahan mampu membuatku bahagia, padahal itu pasti hanya berisi kesakitkan. Akan kuceritakan beberapa kisah dari masa lalu tentang kopi, cinta, dan perpisahan.
***
Namaku ian, pada saat itu aku hanya seorang mahasiswa semester tiga sebuah universitas swasta di Yogya. Aku seorang remaja biasa yang mampu bersedih seperti selayaknya manusia, aku remaja biasa yang mampu menangis seperti layaknya manusia, dan seperti selayaknya manusia, aku memiliki cinta.
Aku akan menceritakan sebuah kesedihan mendalam yang kualami waktu itu, sebuah perpisahan. Tidak seperti remaja yang menangis hanya karna berpisah dengan kekasihnya, ini sedikit berbeda. Aku menangis sebab perpisahanku dengan ayahku. Beliau bukan orang yang sangat luar biasa, beliau hanya seorang biasa yang bekerja sebagai guru sekolah dasar di desa tempatku tinggal. Beliau guru yang baik, setidaknya itu menurutku, dan beberapa orang yang pernah menjadi muridnya. Namun seperti orang baik lainnya, beliau diberikan lebih banyak coba. Perpisahanku dengan beliau juga disebabkan cobaan yang beliau terima.
Kangker, memaksa beliau menyerah dengan keadaannya. Mungkin bukan menyerah, namun lebih tepat karna “sudah saatnya”. Aku mengganti kata menyerah karna aku tau beliau tidak pernah menyerah dengan sakit yang dideritanya. Pada hari itu akhirnya aku menangis untuk yang pertama setelah 7 tahun air mata ini tak menetes sedikitpun melewati pipi.
Aku rasa tuhan begitu menyayangi beliau. Tuhan memberikan rasa sakit yang amat sangat sebelum beliau wafat. Dalam setahun sakitnya, beliau masih mengajar murid-muridnya sambil terus berobat dan berdoa. Bahkan aku yang anaknya tak pernah sekalipun mendengar beliau mengeluhkan sakitnya, juga keluhan tentang pengobatan yang beliau jalani. Aku tau beliau paham bahwa sakitnya takan bisa terobati saat ini, sebab obat dari penyakit itu belum ditemukan. Pengobatan yang dijalani seperti kemo dan sinar hanya akan mengurangi dan menunda perkembangan sel itu, namun untuk benar-benar sembuh, mungkin beliau tau itu tak akan terjadi. Hanya kehendak tuhan yang mampu menyembuhkannya. Kadang malah aku yang mengeluhkan pada tuhan dalam sujudku kenapa beliau harus diberikan sakit seperti ini. Aku hanya melihat seolah beliau merasa rasa sakit itu diberikan tuhan untuk menghapus dosa-dosanya sebelum beliau pergi, dan beliau mensyukurinya.
Entah kenapa malam itu, aku yang ada disamping beliau saat beliau pergi bahkan tak mampu menitikan air mata didekatnya, seolah ada rasa bahwa beliau masih didekat sana dan aku tak ingin beliau melihat air mataku. Namun rasa sakit tetaplah sakit, rasa sedih tetaplah sedih, dan tangis tetaplah tangis, aku pergi meninggalkan kamar beliau dengan rasa sakit luar biasa. Entah pengibaratan seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa sakit itu. Rasanya jantung ini seperti digenggam sebuah tangan kemudian diremas-remas lalu paru-paruku seolah ditahan jalurnya saat mengirimkan udara, kemudian mata seperti bisa melihat gerak lambat  dari orang-orang dan seluruh indra kita meningkatkan kapasitasnya, bahkan kulit mampu untuk merasakan udara tipis melewatinya yang dalam keadaan normal itu hanya seperti udara biasa yang terus berputar disekeliling kita. Pengibaratan itu belum cukup untuk mengungkapkan rasa aneh itu. Kesedihan yang begitu dalam, sakit yang begitu kuat, dan akhirnya tangis yang tak mampu lagi kutahan. Dan tangisku tak terbendung lagi malam itu setelah sekian lama. Aku menangis!
Setelah tangis yang tak terbendung itu reda, aku berjanji pada diri sendiri untuk takan menangis lagi. Bukan tanpa alasan, setelah kepergian beliau maka aku harus berusaha jadi seorang lelaki yang sebenarnya, dan hal paling mendasar dari menjadi seorang lelaki adalah merubah air mata dengan keringat. Aku harus terus hidup untuk menyelesaikan apa yang kumulai dan meneruskan mimpiku untuk menjadi pengajar seperti beliau. Dan salah satu caranya dengan menyelesaikan kuliahku ini.
Malam itu aku menenggak segelas kopi kental dengan sedikit gula, aku belum mampu menikmati kopi tanpa gula, rasanya masih terlalu pait. Aku masih memerlukan gula sebagai penawar dan pembedaa rasa, namun kopi tetap harus jadi kopi yang memiliki rasa pait didalamnya. Kadang saat memikirkan kopi hitam kental itu aku jadi mampu menyadari bahwa hidup memanglah pait seperti kopi, namun aku tau kopi pait harus ditambah gula. Ya, persis seperti kehidupan, pasti akan ada manis yang masuk kedalam pait yang kurasakan.
Biasanya segelas kopi akan mampu membuatku terjaga semalaman, dan itu memang tujuanku kini. Sebenarnya kupikir tanpa kopipun aku akan mampu bertahan tanpa terlelap malam ini, namun mau tak mau harus aku akui bahwa kopi benar-benar mampu membodohi hatiku agar tak terus merasakan sakit yang terus menerus. Ya, kopi benar-benar luar biasa.
Malam itu kuhabiskan waktu dengan empat belas kali bacaan yasin lalu berdiam disamping mayat beliau. Aku tak menangis lagi. Aku tak bisa lagi menangis. Bahkan ketika itu aku masih berpikir beliau akan terbangun tiba-tiba dan mengejutkanku. Hah, pikiran bodoh tak logis! Dan malam itu kuingat banyak ornag datang dan menangis. Entahlah, siapa mereka? Aku bahkan tak ingat.
Pagi. Jam 10 pagi itu aku mengantar beliau menuju tempat peristirahatan yang terakhir. Tempat yang akan menjadi gundukan seperti gundukan disekitarnya. Tempat yang akan jadi tempatku pergi sehari sebelum idul fitri. Tempat untuk beliau akhirnya bertemu malaikat dan disapa seperti kawan lama. Langkah-langkah satu persatu dilakukan, seperti kebiasaan ditempatku, wakil dari keluarga akan memintakan maaf untuk segala kesalahan beliau, aku tak menangis! Saling bergantian memikul kerenda itu. Keluarga, saudara, kawan, kenalan, murid, dan banyak lagi orang yang berkumpul disini. Ternyata beliau memiliki begitu banyak kenalan, dan kawan. Aku ingat saat seorang mantan bupati datang dan bicara turut berduka cita, ada pula camat waktu itu yang sedang menjabat menyapaku dan keluarga, beliau juga berkata turut berduka cita. Lalu lebih banyak lagi guru, kyai, kepala desa, pemuka desa, dan lainnya yang datang. Bahkan banyak dari mereka yang datang dari tempat jauh. Ayah, seandainya kau masih ada aku ingin bertanya apa ayah mengenal mereka semua? Entahlah, aku tak bisa lagi bertanya, dan aku masih tak menangis!
Akhirnya urugan tanah pertama itu menandai kepergiannya, sosok yang sungguh aku cintai dan hormati, sosok yang membuatku ingin belajar, mengajar dan membagi ilmu dengan orang lain, sosok yang menjadi ayah selama ini. Urugan tanah itu menyadarkanku, aku takan bisa lagi menyentuhnya, melihat senyumnya yang tak seberapaa itu, memijatnya ketika beliau kelelahan setelah mengajar murid-muridnya, membuatkan segelas teh atau menemaninya mengajari anak didiknya melukis. Aku tak bisa lagi meminta maaf, mengucapkan salam dan dijawabnya. Ditegur karna sikapku yang kadang membandel dan banyak hal lagi. Aku akhirnya sadar beliau telah pergi, dan taburan bunga serta bacaan doa memaksaku menutup mata. Aku masih tak menangis! Tak akan lagi menangis! Ayah, aku berjanji.
***
Namaku ian, pada saat itu aku hanya seorang mahasiswa semester enam sebuah universitas swasta di Yogya. Aku seorang lelaki biasa yang mampu bersedih seperti selayaknya manusia, aku lelaki biasa yang mampu menangis seperti layaknya manusia, dan seperti selayaknya manusia, aku memiliki cinta.
Aku akan menceritakan sebuah kesedihan mendalam yang kualami waktu itu, sebuah perpisahan. Tidak seperti laki-laki lain yang menangis hanya karna berpisah dengan kekasihnya, ini sedikit berbeda. Aku menangis sebab ibuku.
Sepeninggal ayahku, ibuku masih terus mengkulihkanku di Universitas ini. Beliau berdagang pakaian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibuku adalah sosok yang luar biasa sebagai seorang ibu, namun akhirnya ibu juga harus pergi. Ibu menyusul ayahku dua tahun setelah kematian ayah. Mungkin akan ada yang bertanya letak perpisahan yang membuatku bahagia. Ya, setelah kehilangan sosok ayah aku merasa begitu menghargai orang-orang yang dekat denganku terutama keluargaku. Mereka adalah tempatku untuk pulang, tempatku untuk kembali, tempatku untuk tersenyum. Setelah ayah pergi aku menyadari bahwa aku merasa bahagia memiliki mereka yang menyayangiku, dan aku jadi menyadari bahwa mereka benar-benar ada. Meski kesedihan karna kehilangan ayahku begitu terasa namun aku tetap menemukan kebahagiaan dibalik itu semua. Aku menyadari ibu sangat mencintaiku. Setelah ayah pergi keluarga kami mendapat kebahagiaan baru yaitu datangnya seorang malaikat kecil putra dari kakak perempuanku dan suaminya. Itu sangat luar biasa, sungguh. Bocah kecil yang sangat tampan dan mewarisi mata ayahku, ya mata beliau.
Ibu pergi dua tahun setelah kepergian ayah, tepatnya dua tahun lebih satu bulan. Seperti ayahku, ibu juga pergi karna sakit. Lagi-lagi aku berhadapan dengan kangker didepan mataku. Penyakit sikak yang sangat kubenci hingga kini, penyakit yang membuatku kehilangan lagi. Sosok yang sangat kucintai, sosok yang membuatku hidup.
Kala itu aku ingat, ibu telah dibawa ke enam rumah sakit berbeda sebelum ibu pergi. Kali ini aku lebih banyak menemani ibu dibanding ketika dulu ayahku sakit. Setidaknya itu membuatku merasa mampu sedikit menjaga ibu. Mengembalikan setetes waktu ku untuk ibu, memang tak seberapa, memang. 
Hari itu ibu sudah dipindahkan kesebuah rumah sakit ternama di jogja, dengan perawatan terbaik dan tempat terbaik pula. Aku pergi keluar rumah sakit untuk kuliah, meski perasaanku tak menentu dan mungkin sebenarnya aku tau itu akan jadi hari terakhir. Aku sedikit merasakannya, namun kuliah juga merupakan amanat ibuku hingga aku tak memaksakan diri untuk pergi. Jam 6 pagi, aku sudah keluar dari rumah sakit menuju kos untuk bersiap kuliah. Selesai perkuliahan sekitar jam 10.30 siang, aku tak langsung kembali kerumah sakit, namun menemui beberapa kawan di basecamp kami. Sekitar pukul 11.30 om ku menelphone, perasaanku sudah tak nyaman sejak handphoneku bordering, mungkin malah sebelumnya. Om ku hanya menyuruhku untuk segera kerumah sakit, dan untuk berhati-hati. Aku bertanya ada apa, dan om ku bilang tidak ada apa-apa.
Aku mengendarai sepeda motorku dalam kecepatan tinggi, namun aku bahkan tak menyadarinya. Normalnya perlu setengah jam untuuku samapai dirumah sakit, namun kali ini aku hanya butuh lima belas menit saja. Dalam perjalanan singkat itu kepalaku memikirkan banyak hal, kemungkinan-kemungkinan, ketakutan-ketakutan dan kesedihan–kesedihan telah menyatu bersama roda diaspal. Kemungkinan jika ibu pergi, ketakutan jika ibu pergi, kesedihan jika ibu pergi, semuanya tentang ibu. Rasa yang sangat menyebalkan untukku, rasa yang tak ingin kurasakan lagi.
Sesampainya dirumah sakit aku sudah ditunggu om ku didepan pintu masuk, kemudian membawaku kesebuah ruangan, kedua kakak perempuanku sudah tak kutemui disekitar ruang itu. Om ku bilang keduanya sudah masuk didalam. Rasa yang berkecamuk dalam diri ini semakin meningkat, rasa ketakutan yang semakin kuat dari sebelumnya. Lama kutunggu didepan ruang itu hingga aku diperbolehkan masuk oleh staf rumah sakit. Melewati lorong ruang itu, semakin menyesakkan hati, kulihat kedua kakakku sedang menangis berpelukan, sementara masku masih disamping ibu membisikan kata-kata entah apa, yang kudengar hanya “bu, Ian sudah datang”. Lalu kakakku memelukku dan memintaku mendekati ibu, aku nyaris tak mampu melangkah, namun suara mesin disamping ibu masih berbunyi “tit,tit,tit,tit,tit” membuatku melangkahkan kakiku mendekati ibu. Sampai dihadapan ibu, aku memeluk ibu kemudian mengecup keningnya, terlontar kalimat tanpa kusadari “bu, ini Ian, Ian sudah datang bu, Ian minta maaf untuk segala kesalahan Ian bu” sedetik kemudian mesin disamping ibuku berbunyi “titttttttttttttttttttttttt”. Aku menangis tak tertahan lagi, menangis sejadi-jadinya sambil memeluk ibu, orang yang sangat aku cintai. Mendekap ibu dan meminta maaf lagi, lagi dan lagi. Mengecup keningnya lagi dan lagi, dan kakakku menarikku lalu memelukku. Dokter melepas seluruh alat bantu yang membuat ibuku bertahan hingga saat itu. Akhirnya aku menangis lagi. Setelah dua tahun air mata ini berhenti menetes melewati pipi.
Hari itu aku kembali pulang dibonceng temanku, melewati jalanan itu yang biasanya kulewati dengan senyum untuk bertemu ibu dirumah, dan kali ini untuk mengantar ibu pergi dari rumah dan pulang menghadap IA sang pencipta semesta. Malam itu aku menghabiskan dua gelas kopi, juga seperti dulu, hanya kali ini lebih banyak.
***
kepergian ibu memberikan pukulan berat bagi aku dan keluargaku, kehilangan seorang yang sangat kami cintai benar-benar menyakitkan. lalu setahun setelah ibu pergi keluarga kami mendapat kebahagiaan baru, anak laki-laki dari kakaku yang kedua telah lahir dengan selamat, dan ia juga mewarisi mata ayahku. sekarang aku benar-benar sadar bahwa tuhan sangat baik, Ia mengambil dua sayapku namun menggantikannya dengan banyak sayap baru untukku. tak lebih besar memang, namun tentu lebih banyak dan lebih indah. ya sayapku, mereka yang selalu ada untukku dan membuatku terus ingin hidup. akhirnya saat kita ikhlas menerima kehilangan maka tuhan akan memberikan ganti yang tak kurang. sampai kinipun banyak orang-orang yang harus pergi dari sampingku, namun tuhan juga telah membawa ganti kepergian orang-orang itu dengan orang-orang baru yang tak kalah luar biasa. ikhlas menerima kehilangan, maka hati akan jauh lebih kuat dan ganti dari tuhan tak pernah mengecewakan, sekalipun.
Satu lagi hal kudapatkan, mungkin hanya pendapat pribadi. mereka orang-orang baik akan lebih cepat dipanggil tuhan. seperti saat di taman bunga, maka bunga terindah yang akan kita petik dahulu sebelum lainnya. Ini hanya pendapatku saja, jangan khawatir.
***
Seperti kalian yang memiliki banyak hal untuk jadi bahagia, aku juga punya. Salah satunya adalah perpisahan. Namaku ian, pada saat itu aku seorang mahasiswa semester delapan sebuah universitas swasta di Yogya. Aku seorang pria biasa yang mampu bersedih seperti selayaknya manusia, aku pria biasa yang mampu menangis seperti layaknya manusia, dan seperti selayaknya manusia, aku memiliki cinta.

Kopi, Cinta, dan PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang