Chapter 1 : Rindu

1.5K 114 15
                                    


Chapter 1 : Rindu

      SAAT semua yang di harapkan tidak bisa di realisasikan adalah hal yang cukup membuat diri kita merasa kecewa dengan apa yang kita dapat. Seperti apa yang dirasakan oleh Austin saat ini. Dirinya merasa begitu kecewa ketika Cikha memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dan meninggalkan dirinya hanya untuk bertunangan dengan Julian. Namun di satu sisi pun Austin tahu jika dirinya tidak memiliki hak untuk membuat Cikha tetap tinggal di sisinya.

Mendesah pelan, Austin menatap lurus keluar jendela kamarnya. Pemandangan malam hari di Italia yang begitu indah justru membuat dirinya kembali teringat akan Cikha. Lagi, perasaan sakit itu menerpa dirinya, menghujamnya tanpa mempedulikan ia yang sudah cukup tersiksa berada jauh di sini. Ia mengangkat tangannya, menempatkan telapak tangannya tepat di jantung—merasakan detak jantungnya yang begitu cepat ketika ia mengingat gadisnya; tapi ketahuilah, jika detak itu pun mengirim rasa nyeri pada Austin.

"Aku kangen kamu, Cik," gumamnya lirih.

Austin mendongak, memandang langit dengan paparan tata surya yang menghiasi dengan indah. Wajah cantik nan polos itu kembali terlukis di langit malam yang selalu menemani kesendirian Austin. Tangannya telepas dari jantungnya, mencoba meraih dan menyentuh lukisan wajah cantik itu—namun alam begitu kejam padanya dengan cara menghilangkan lukisan itu, berganti dengan bintang-bintang yang mulai meredup berganti dengan awan hitam menggantung.

"Sampai kapan aku harus nahan diriku sendiri untuk nggak menyangkal kalau aku kangen kamu dan mau kamu ada di sini, Cikha?" lirihan itu terucap, bersamaan dengan sebutir air mata yang terjatuh tanpa tertahankan.

      DI lain sisi, gadis bermata abu-abu itu memeluk sebuah bingkai foto dengan mata terpejam erat dan nafas yang terengah. Rasa rindu yang melonjak keluar dari dalam hatinya membuat ia terbelenggu dalam sebuah mimpi menyedihkan.

Cikha membuka matanya perlahan, tangannya terangkat sehingga bingkai foto yang berada dalam pelukannya kini sudah berada tepat di hadapan wajah pucatnya. Ibu jarinya berjalan dengan pelan, mengelus wajah seorang pemuda yang sedang tersenyum lebar di dalam foto itu dengan rambut cokelat miliknya yang tertiup angin hingga membuatnya berantakan.

"Apa yang lagi kamu pikirin sampai aku mimpiin kamu, Austin?" ia berkata pelan dengan mata menatap nanar pada foto wajah Austin.

Cikha tahu jika dirinya tidak bisa memiliki pemikiran seperti itu; memiliki pemikiran jika Austin memikirkannya sebelum pemuda itu tidur sehingga Cikha memimpikan pemuda itu. Namun itu semua Cikha lakukan karen ia pernah membaca kalimat: "Jika kamu memimpikan orang itu, maka dia memikirkanmu sebelum dirinya terlelap."

Jadi, apakah dirinya salah jika bertanya seperti itu? Tidak, 'kan?

Cikha menghela nafasnya. Sudah sebulan sejak kepergian Austin ke Italia, dirinya belum juga bisa melupakan pemuda itu dan menganggap semuanya baik-baik saja. Cikha tahu jika semua ini adalah salahnya; memutuskan hubungan mereka dan memilih meninggalkan Austin untuk bertunangan dengan Julian.

Tapi ketahuilah jika itu semua bukan keinginannya. Dalam hati terdalamnya, Cikha tidak pernah mau—bahkan menolak mentah-mentah keputusan dirinya untuk menerima pertunangan itu dan meninggalkan Austin. Namun, apa yang bisa dilalukan oleh dirinya saat Neneknya meminta ia untuk melakukannya?

Walau hati tersayat dan membuka luka-luka baru, mau tidak mau Cikha mengiyakan perkataan Neneknya karena hanya dengan cara itu Cikha bisa membalas semua budi yang telah Neneknya berikan kepada dirinya.

"Percayalah, Austin, semuanya akan baik-baik aja seiring berjalannya waktu. Walaupun aku—kita—tau kalau kita sama-sama tersakiti karena keputusanku." Cikha memejamkan matanya dan kembali memeluk bingkai foto itu, menaruhnya tepat di jantungnya yang berdetak lambat; berharap jika hari esok, luka yang tersayat mulai memulih.

***

      SUDAH berapa banyak air mata yang Sasya tumpahkan untuk rasa sakit ini? Sudah berapa kali dirinya merasakan betapa sakitnya mata yang membengkak ketika lamanya ia menangis? Tapi itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit yang Sasya rasakan saat ini.

"Aku tau betapa menyedihkannya diriku saat ini," gumaman itu terdengar ketika Sasya menatap dirinya di cermin yang sudah memiliki keretakan di beberapa bagian—seperti hatinya yang sudah memiliki beberapa luka sayatan di beberapa tempat.

Sasya mengangkat tangannya, menyentuh kaca yang berada di hadapannya dan mengelus wajahnya dari pantulan kaca itu dengan tatapan sedih. Tapi seperkian detik kemudian, kekehan datar terdengar dari dirinya.

"Kenapa merindukan seseorang begitu sakit? Apa kamu kurang cukup nyakitin aku, Nando? Kenapa aku harus kangen sama kamu dan ngerasain rasa sakit ini lagi?" pandangannya yang kosong berubah menjadi pandangan bertanya.

"KENAPA NANDO?!" jeritan menyakitkan tenggorokan dan memekakan telinga itu terdengar begitu pilu, menyayat dan tajam. Air mata yang sepertinya tidak lagi cukup untuk keluar kini menetes perih. Meninggalkan bekas luka yang baru; terus menerus seperti itu dan entah sampai kapan.

Sasya terjatuh dengan lutut yang mencoba menopang dirinya. Tangannya terangkat untuk memukul jantungnya yang berdetak menyakitkan, menimbulkan denyut pilu pada nadinya. Membuat dirinya kembali tidak berdaya karena satu hal yang sama.

Sasya tidak pernah tahu jika dirinya akan seputus asa ini ketika Nando meninggalkannya untuk seorang Jenna. Namun mau bagaimana pun juga, sekuat apapun dirinya menangkis rasa sakit dan mencoba untuk bertahan; Sasya hanyalah seorang gadis dengan hati yang begitu rapuh.

      TERPEJAMNYA mata itu hanya untuk menghindari bagaimana rasa rindu yang menerjang dirinya secara mendadak cepat menghilang. Nando tidak tahu bagaimana dirinya tiba-tiba saja merasa begitu sakit ketika kembali mengingat Sasya.

Gadisnya... puteri di dalam hatinya tiba-tiba saja datang dan membuat Nando merasakan sakitnya merindukan seseorang. Rindu ini menikamnya, rindu ini memaksa dirinya untuk terjerumus pada lubang perih dimana hatinya berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Jari-jarinya menyentuh permukaan cincin yang berada di kelingkingnya. Cincin itu melingkar dengan sempurna di jari kelingking tangan kanannya, mengikat Nando pada sebuah kisah dimana ia tidak akan pernah bisa melepaskan kisah itu sampai kapan pun.

"Kapan aku bisa liat wajah kamu lagi, Ca? Aku kangen." Nando berkata pelan, lirih dengan jari yang terus mengelus cincin milik Sasya yang dikembalikan oleh gadis itu melalui Reon—adik Sasya.

Mata tajam itu kembali terpejam, merasakan desahan nafasnya sendiri. Nafas itu mengantarkan dirinya pada sebuah memori dimana ia sedang memeluk gadisnya dengan erat dan mencium harum rambut Sasya yang menjadi favoritnya.

"Apa ini salah kalau aku merindukan seseorang yang sudah bukan milikku?" pertanyaan itu terucap, bersamaan dengan hembusan nafas yang membawa perihnya rindu menjauh dari diri.

Sayangnya, sang rindu tidak ingin melepas dirinya cepat-cepat dari Nando hingga pemuda itu merasakan belenggu yang terus mengurung dirinya dalam ruang rindu; ruang dimana ia hanya bisa melihat Sasya dalam angannya—bukan pada kenyataan.

"Kalau aku boleh memilih, lebih baik aku merasa sakit saat mengingatmu dibanding aku harus terbelenggu dalam ruang rindu seperti ini."

Everything Has Changed—

TBC!

Hallo! ini udah aku lanjutin yaa wkk semoga aja kalian suka sama chapter  ini dan aku disini belum munculin aurin-reon karena mereka kan belum kena masalah yang berat, ya. semoga suka dan kasih pendapat kalian di kolom komentar ya.

DO NOT FORGET TO GIVE ME A FEEDBACK, mwah! xx

Everything Has Changed [2] : Their HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang