Chapter 4: Ingin Mengulang Kembali

313 20 7
                                    

Chapter 4: Ingin Mengulang Kembali

JIKA kalian dihadapkan oleh dua pilihan, antara; mengulang kembali atau terus melangkah tanpa ada rasa ingin untuk mengulang, mana yang akan kalian pilih?

Mungkin untuk saat ini, banyak dari sebagian orang memilih untuk terus melangkah—mencari sesuatu yang baru dan meninggalkan semua kenangan di masa lalu mereka. Kenapa? Karena menurut mereka, mengulang sesuatu di masa lalu sama saja seperti membaca sebuah buku sebanyak dua kali—menemukan awal dan akhir yang sama tanpa bisa merubahnya.

Namun, bagi keempat tokoh dalam cerita ini justru memilih opsi pertama pada pilihan yang diberikan. Mereka memilih untuk mengulang kembali apa yang sudah terjadi di masa lalu. Bukan karena mereka bodoh atau tidak memiliki suatu pilihan lain. Yang ada di dalam pikiran mereka hanyalah; masa lalu mereka justru lebih indah daripada masa depan mereka yang akan mereka lalui tanpa ada seseorang yang mereka cintai.

Ah, untuk soal seseorang yang dicintai, mungkin kebanyakan dari kalian akan berpikir; "Cinta dapat kau temui kapanpun dan dimana pun." Atau seperti, "Ayolah, cinta bukan hanya tentang dirinya. Mungkin sekarang cintamu kandas, di masa depan, kamu akan menemukan cinta yang baru—bahkan lebih baik." Kira-kira seperti itu pemikiran dari kebanyakan orang yang telah memberikan jawaban soal pilihan yang diberikan.

Tapi sekali lagi, itu semua tidak akan berlaku untuk empat tokoh yang berada di dalam cerita ini. Dalam doa mereka, dalam mimpi mereka, dan dalam doa mereka, keempatnya menginginkan hal yang sama. Kembali pada masa lalu yang indah.

Baiklah, kalian mungkin akan berpikir pilihan di atas hanyalah akal-akalan dari sang penulis. Bagaimana jika sang penulis membuktikan apa yang ditulis olehnya adalah kenyataan? Kalau begitu, kita buktikan sekarang.

Kita akan memulainya dari Austin.

Dari sekian banyak hal yang telah ia lewati, pikirannya tetap terpaku pada satu hal yang sampai sekarang belum bisa dilupakan olehnya. Sebanayak apapun ia melakukan aktivitas, mengingat banyak hal lain yang lebih menguntungkan—dirinya tetap memilih untuk mengenang pada satu memori yang tidak mampu untuk ia hilangkan dari dirinya.

Mata elangnya menatap pada satu titik, dimana sepasang kekasih sedang bersenda gurau—memperlihatkan bagaimana bahagianya mereka ketika bersama. Nafasnya terasa berat, dadanya sesak oleh perasaan yang selama ini selalu dihindari olehnya.

"I miss you so much." Ia menggumam lirih, merasakan sesuatu menghimpit dadanya hingga membuat dirinya menghela nafas panjang.

Rasa cemburu tiba-tiba saja menyelinap masuk, mencoba mencari tempat di dalam hatinya dan berusaha untuk menyakiti dirinya—entah yang keberapa kalinya sekarang.

Mata elangnya kini terlihat semakin sendu, menampilkan siratan kesedihan yang masih betah singgah di dalam dirinya tanpa mau meninggalkannya walaupun sejenak.

"Austin."

Panggilan di belakang tubuhnya membuat pemuda itu mengerjapkan matanya, berusaha untuk menghilangkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Ada apa?" tanyanya tanpa mau menoleh pada siapa yang berdiri di belakangnya.

Abi yang kini berdiri di belakang Austin pun menepuk bahu sahabatnya pelan. "Masih galau?" tanya pemuda itu sembari mensejajarkan posisinya dengan Austin.

Austin yang mendengar itu pun terkekeh pelan. "Galau apanya," jawab Austin—mencoba menyangkal apa yang dikatakan oleh Abi.

Abi yang mendengar jawaban seperti itu pun memberikan senyuman tipis. "Kalau seandainya lo galau juga nggak apa-apa kali, A. Gue 'kan sahabat lo, jadi nggak perlu malu-malu untuk mengakui sesuatu yang emang lagi lo rasain sekarang," ucap Abi sembari memberikan cengirannya.

Everything Has Changed [2] : Their HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang