Chapter 7: Menghabiskan Waktu dan Luka Baru
[][][][][]
Katakan saja jika ini cara untuk membalas semua luka yang sudah kau dapat karenaku. Anggap saja jika dengan menghabiskan waktu bersama adalah hal yang pas bagi kita untuk sedikit mengenang masa lalu.
[][][][][]
SEMENJAK kedatangan Austin di Jakarta, apartemennya selalu ramai dengan orang-orang terdekatnya. Beberapa kali orangtuanya datang hanya untuk mengunjunginya dan membawakannya makan malam, lalu pulang. Begitu juga dengan para sahabatnya yang selalu setia menemani Austin.
Hal itu membuat Austin merasa bahagia, tentu saja. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang benar-benar membuat Austin merasa kembalinya ia ke Jakarta bukan hal yang sia-sia.
Keberadaan Cikha yang selalu ada di sisinya membuat Austin merasa hari-harinya lebih berwarna. Walaupun Austin tidak menyangkal jika ada rasa sakit saat mengingat dirinya dengan gadis bermata abu-abu itu tidak lagi memiliki hubungan spesial lebih dari teman.
"Lagi mikirin apa?"
Suara dari balik tubuhnya nyaris membuat Austin yang sedang duduk di bangku bar terjungkal. Pemuda itu menoleh, menatap horor pada Cikha yang sedang memandangnya penasaran.
"Cikha," Austin dengan gemas mencubit pipi Cikha hingga gadis itu meringis. "Kalo dateng itu jangan ngagetin apa, sih! Nanti kalo gue jatoh gimana?" lanjutnya sembari mengerling cepat.
Cikha meringis. "Maaf, aku nggak tau kalo kamu lagi ngelamun," katanya menyesal.
Austin menhirup napas dalam, kemudian ia memutar tubuhnya hingga benar-benar menghadap pada Cikha. Tatapan matanya intens, membuat gadis bermata abu-abu itu menjadi gugup.
"Kenapa? Ada sesuatu yang mau diomongin?" tanya Austin tanpa mau melepas tatapannya dari Cikha.
Cikha meneguk salivanya secara kasar. Gadis itu mengerjap cepat, matanya memandang takut-takut pada Austin. "Kamu dicariin sama yang lain di ruang santai," katanya tanpa menghilangkan kegugupannya.
Sedari tadi Austin memang memilih untuk menyendiri di mini bar yang membatasi antara ruang makan dan dapur apartemennya. Sahabatnya, Aurin, dan juga Cikha berada di ruang santai yang terletak di belakang pembatas antara ruang tamu dan kamarnya.
"Mereka yang nyari atau lo?" tanya Austin dengan senyum miring tercetak di wajahnya. Pemuda itu jadi terlihat semakin tampan saat menunjukkan smirk andalannya.
"A-apa?" Cikha membuang wajahnya ke lain arah, berusaha agar Austin tidak melihat pipinya yang semakin memerah. "A-aku nggak cariin kamu kok," katanya melanjutkan.
Tanpa diduga oleh Cikha, Austin mengulurkan tangan dan memeluk pinggangnya. Pemuda itu menarik tubuh Cikha pelan hingga jarak di antara keduanya menipis. Cikha bisa menghirup aroma tubuh Austin yang selalu disukainya.
"Baby Grey," panggil Austin dengan suara dalam. "Sejak kapan mereka nyariin gue kalo gue menghilang dari pandangan mereka saat kita lagi kumpul? Mereka selalu tau di mana gue dan tau apa yang gue lakukan kalo gue hilang dari pandangan mereka." Austin menunduk, mensejajarkan wajahnya pada Cikha. "Jadi nggak usah mengelak kalo ternyata yang nyariin gue itu lo," lanjutnya berbisik.
Cikha menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Jantungnya berdebar cepat, darahnya mengalir dan berkumpul di wajahnya hingga membuatnya terlihat begitu merah.
"Lo kangen sama gue, kan?" tanya Austin lagi saat Cikha belum juga menjawab.
Cikha masih bungkam. Gadis bermata abu-abu itu ingin sekali menjawab semua perkataan dan pertanyaan Austin, sayang lidahnya terasa kelu hingga sulit untuk digerakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed [2] : Their Hurt
Teen FictionCerita ini kembali menyediakan kisah mereka; si kembar menggemaskan Austin dan Aurin, kakak-adik Sasya dan Reon, Cikha si gadis bermata abu-abu, dan Nando si pemuda dengan banyak tingkah lucunya. Cinta yang sudah melekat pada hati mereka membuat mer...