Pembicaraan Yang Menyayat Hati

55 7 1
                                    

Aku akan menjelaskan, bahwa aku adalah cewek yang dulu pernah menolak Alfin.

Kalian bingung? Baiklah akan kujelaskan.

Aku dan Alfin waktu SD sangat dekat, aku dulu tidak tau yang namanya Cinta dan pacaran.

Waktu itu temanku memberitahuku bahwa di belakang buku Alfin terdapat namaku dan di sekelilingnya terdapat gambar hati. Aku menganggap bahwa itu adalah lambang persahabatan, tapi temanku menyangkalnya ia bilang, itu tandanya ia suka kepadaku. Aku tak mengerti.

Setelah aku mengetahui bahwa ia memang benar suka kepadaku, aku mulai menjauhinya, entahlah pemikiranku saat itu supaya Alfin tak menyukaiku lagi. Karena menurutku itu tidak baik.

Mungkin selama satu minggu ia mulai menyadari bahwa aku sedang menghindarinya. Ia pun bertanya kepadaku.

"Jasmeen kenapa kamu menghidari aku?  Memangnya aku salah apa? " ucap Alfin sambil memegang tanganku. Alfin memang memanggilku Jasmeen karena ia menyukai warna putih.

"Kamu suka sama aku ya Vin?" Tanyaku spontan. 

Alfin seolah terkejut dengan pertanyaanku. Ia membulatkan matanya.

" ka—kamu tau dari mana? "

"Emmm itu,  buku kamu."

Alfin menghela nafasnya sebentar,  lalu ia tersenyum kepadaku.

"Bagus kalo kamu udah tau.  Jadi sekarang,  kamu mau nggak jadi pacar aku? "

Sontak aku terkaget kala Alfin dulu mengatakan seperti itu.  Aku yang tak tau ingin merespon apa, aku langsung berlari kemana saja, asal aku tidak melihat Alfin lagi. 

Saat itu bukannya aku tak mau, tapi aku tidak tau. Umurku kala itu masih sepuluh tahun.  Semenjak kejadian itu Alfin merubah sikapnya saat denganku. Ia menjadi sosok tak tersentuh, sosok yang sangat jauh, aku bahkan tak bisa mendekatinya lagi. Dan bodohnya aku baru menyadari persaanku kepada Alfin ketika kami kelas tujuh. Alfin dulu mendekati cewek dan aku cemburu.

Sampailah sekarang aku masih menyukainya, biarlah seperti ini selama aku masih bisa melihatnya.

Aku sekarang sedang berada di Taman Bougenvile, aku sedang menunggu Dira di ayunan kecil.

Aku menganyunkan ayunanku,  terdengar deru nafas seseorang.  Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Dira sedang mengirup nafas lalu membuangnya.

"Ryln, maaf telat" ucap Dira dan duduk di ayunan sebelahku.

"Dira lo mau cerita apa?  Kayaknya penting banget, sampe nyuruh gue cepet-cepet kesini. " ucapku sambil menoleh kearahnya.

Wajah Dira tegang, ia mengigit bibirnya sendiri, kedua tangannya meremas rok pastel yang dikenakannya. 

Dira kenapa? 

"Okay,  Ryln gue mohon sama lo untuk nggak motong pembicaraan gue. " peringatannya.

Aku pun menoleh kearahnya,  sepertinya ini sangat penting,  sampai dia menyuruhku begitu.

"Okay, gue asdfghkll"

"Dira, kamu ngomong apaan sih?  Cepet banget,  pelan-pelan dong" ucapku,  ia memang cepat sekali tadi berbicaranya,  malah ditambah suara angin. 

Dira menarik nafasnya lagi.

" Gue. Jadian. Sama. Alfin. "

BAM...

Tepat sasaran,  aku tak salah dengar kan? Dira mengucapkannya dengan penekanan.

Bagaimana bisa terjadi?

Kau tau?  Sekarang aku bagaikan orang yang terkena busur panah tepat di ulu hati, apabila dicabut akan sangat sakit luar biasa.

Aku menahan air mataku, hatiku terasa sesak,  hingga rasanya tak bisa bernafas. Aku harus bagaimana setelah ini?

"Aerylin,  maafin gue,  gue nggak bisa nggak nolak.  Dia udah nembak gue beberapa kali dan selalu gue tolak. Dan waktu gue taruhan sama dia, ternyata dia yang menang dan dia meminta gue jadi pacarnya. Gue nggak bisa nolak karena itu gue emang kalah dan harus nerima apapun resikonya" ujar Dira dengan nada memelas. Aku sedikit meliriknya, matanya menyorot tanda bahwa dia memang dalam posisi tidak enak.

Aku tak tau mau merespon apa,  terlalu kaget untuk mendengar ini. 

"Udah berapa lama pacarannya? " hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

"Udah sebulan dan itu gue nggak suka sama dia,  gue ngejalanin ini karena gue kasihan sama dia."

Apa dia bilang?  Kasihan?  Dia bahkan sudah menyakiti dua orang sekaligus.  Mana bisa dia berkata seperti itu didepanku,  ira tak lagi sahabatku yang dulu dia telah berubah sekarang. Dia tak pernah sejahat itu kepada orang lain.

"Dira! Lo jahat,  gimana bisa lo nerima dia dengan karena kasihan? Gue bisa ngerti dengan lo kalah taruhan sama dia.  Tapi mendengar perkataan lo tadi gue nggak nyangka Dir.  Gue awalnya memang terasa pedih dengarnya,  tapi dengan lo berkata seperti tadi,  lo udah nyakitin dua hati seseorang sekaligus! Dan lagi lo baru ngasih tau gue setelah sebulan lo jadian sama dia!" Aku membentaknya. Aku tak tau lagi ingin bagaimana.

Pantas saja akhir-akhir ini Alfin dan Dira selalu menghilang ketika jam istirahat dan Dira tak pernah pulang bersama ku lagi.

Dira berdiri menghadapku,  dia menatapku marah.

"Gue ini berusaha buat jujur sama lo,  gue ngerasa bersalah, sampai sekarang aja gue backstreet sama dia,  gue itu rasanya nggak sanggup buat jujur tentang hal ini sama lo, karena gue masih inget lo sahabat gue bahkan dari kecil,  gue berusaha buat jujur,  walaupun pada akhirnya gue akan ditinggalkan. " Dira mengucapkannya dengan mantap, dengan tiba-tiba air matanya keluar.

Aku mendengar penjelasan tersebut, merasa bersalah.  Aku befikir siapa yang salah di sini?

"Sekarang terserah,  gue udah bilang sejujurnya sama lo,  gue nggak bermaksud buat mainin hati lo ataupun Alfin.  Tapi memang itu kenyataan yang saat ini." Dira menghapus airmatanya dan kembali menatapku.

"Kenapa nggak mencoba buat suka sama dia?  Kalo lo masih mikirin gue,  nggak perlu.  Kalau Alfin bahagia itu udah lebih dari cukup, karena gue merasa, gue tulus mencintainya,bukan karena obsesi buat jadi milik dia. Di hati memang ada tapi itu nggak terlalu mendominansi, karena yang gue butuhin bukan dia jadi milik gue, percuma kalau terpaksa. Yang terpenting adalah dia membalas cinta gue dengan tulus. Jangan mengulang kesalahan yang seperti gue waktu dulu. Cukup gue, jangan biarkan dia benci sama lo. Karena sebenarnya dia mempunyai hati yang tulus di dalamnya untuk orang yang dia cintai." ucapku dengan tersenyum menghadap Dira.

Dira pun langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih. 

Setelah itu aku dan Dira bermain dan bercerita bersama tanpa ada perselisihan lagi. 

Setelah sore aku dan Dira pulang.  Aku langsung mengambil "Sweet Diary" ku.

"Memang pembicaraan tadi menyayat hatiku, terasa sakit hingga sekarang. Bahkan rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya.  Bagaimana bisa sahabat ku melakukannya?  Tapi setelah ku pikir-pikir itu hak segala manusia,  mencintai dan dicintai.  Memiliki dan dimiliki.  Memilih dan dipilih. Semua itu hak segala insan. Aku tak bisa memaksa. Alfin pantas memilih. Jadi kupikir semua itu tak ada yang salah.  Karena emosi,mungkin menjadikanku tak berfikir  jernih. "-Aerilyn Jasmeen

   ~~~~~~~~~~~~~~~

Gue merasa tambah nggak jelas.  Yasudalah.

Nggak tau kenapa jadi nyesek sendiri. Okay kenapa jadi curcol -_-

Banyak typo.

Enjoy the reading. Jangan lupa votenya ya. 

Salam sih Al.





I Find YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang