Changi Airport, Singapore - 14 Maret 2012.
"Semuanya baik-baik saja?" Untuk kesekian kalinya suara itu bertanya dari balik pintu. "Samantha? Hallo?"
"Ya. Sebentar lagi aku keluar." Jawab Samantha.
"Aku tunggu di luar, oke?"
Samantha menghembus nafas lega. Hal terakhir yang ia inginkan adalah adik iparnya melihat ia menangis diam-diam di toilet.
Ia butuh waktu lebih lama di sini, di bilik rahasianya yang kecil dan bau cairan disinfektan, peduli setan kalau ia membuat para pengunjung airport mengantri di depan sana. Ia ingin menenangkan diri. Lima menit atau sepuluh menit tidak mengapa.
Kedua tangannya gemetar dan sekujur tubuhnya mendadak kedinginan, saat ia mengingat kembali kalimat yang diucapkan dokter beberapa jam lalu.
Tumor pada pankreas. Kanker stadium dua.
Jauh-jauh mereka terbang ke Singapura untuk mencari second opinion dari dokter di sana, dan ternyata vonisnya sama saja. Bedanya, dokter di sana masih berbaik hati menghibur mereka alih-alih memberitahu mereka untuk menyiapkan batu nisan.
"Harapan itu masih ada. Bagaimana pun juga kanker belum menyebar di area yang lain, kita akan melakukan beberapa operasi penting untuk mengangkat tumor di pankreas. Dan jika diperlukan, beberapa sesi kemoterapi untuk membunuh sel kanker tersebut. Bertahanlah, kami sudah melihat beberapa pasien yang sembuh dari penyakit ini. Harapan selalu ada."
Harapan?
Bahkan Samantha yang selalu melihat segala sesuatu dari sisi baiknya pun, sudah kehilangan harapan. Takdir seakan sedang bercanda dengan hidup William Subrata, suaminya, dan kali ini dengan cara yang lebih sadis dari sebelumnya.
Apa yang terjadi sebelumnya? Tepatnya dua tahun setelah pernikahan mereka, saat mereka tak kunjung dikaruniai anak dan pergi menemui dokter, William 'didakwa' sebagai biang kerok. Tak ada yang salah dengan performa spermanya, yang salah adalah kualitasnya.
Asthenozoospermia, begitu istilah untuk menjelaskan mobilitas sperma yang rendah.
Tapi siapa sangka, kalau setahun kemudian segala teori astheno—apalah itu—terbukti salah dan dipatahkan oleh penyebab yang sebenarnya : tumor pada pankreas yang berujung kanker. Bukan mobilitas sperma yang menyebabkan William tidak sanggup memberinya anak, melainkan kanker. Kanker stadium dua.
"Kamu baik-baik saja?" Emma, adik perempuan William, merangkul Samantha begitu ia keluar dari kamar kecil.
"Ya. Mana Liam?"
Emma mengangkat jari telunjuknya pada sosok laki-laki jangkung yang sibuk mondar-mandir di depan trolley sambil menelepon.
"Kanker atau tidak kanker, Liam tetap saja Liam." Bisik Emma dengan senyum ironis. "Mungkinkah penyebab kankernya itu dari ponsel? Karena dia menelepon setiap saat hampir 24 jam sehari. Kalau begitu, mungkin dia juga bakal kena kanker kuping."
Samantha tersenyum pada Emma, andai ia memiliki setengah saja dari sifat riang Emma yang selalu berhasil menemukan secuil humor dalam peristiwa apapun, ia pasti tidak akan menangis meraung-raung di toilet bandara atau pun menangis histeris seperti anak bayi saat William pertama kali divonis.
Tapi Emma benar. Kanker atau pun tidak, William tetap William.
William Subrata—alias Liam—adalah pewaris tunggal dari chain-hotel Subrata yang merupakan jaringan perhotelan terbesar se-nasional, si pengusaha muda yang cerdas, multitalenta, penuh ambisi, dan selalu tahu cara memenangkan sesuatu. Usianya masih 26 tahun, masa keemasan dalam meraih impian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday
Romance[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Samantha menjalani hidupnya bagai di negeri dongeng. Ia menikah dengan teman sekolahnya, William, dan hidup bahagia meski tidak dikaruniai anak. Dunianya serasa runtuh saat sang suami divonis mengidap kanker mematik...