Part 4

31K 2.5K 59
                                    

Tidak butuh seorang genius untuk tahu ke mana perginya Ralf Subrata setelah ini. Hanya butuh waktu setengah jam bagi Samantha untuk mencapai tempat itu. Sebuah bar kecil bernama Oliver's yang pemiliknya sendiri merupakan sahabat karib Ralf dan Liam.

"Sammy!" Benji langsung meletakkan gelas minumannya ke atas meja bar, tersenyum kaget melihat kehadiran Samantha.

Melihat perempuan 'lurus' seperti Samantha mendatangi bar, jelas bukan pemandangan normal bagi Benji yang sudah saban hari melihat pemandangan tidak normal.

"Hai." Ia memeluk tubuh mungil Samantha sambil mengintip keluar pintu bar-nya, mencari-cari sosok William.

"Hai, Ben. Ralf ada?"

"Ada, memangnya dia mau ke mana lagi? Aku kaget dia tahu-tahu datang dari Bali dan bilang mau menginap di sini. Ngomong-ngomong, mana Will?"

"Dia istirahat di rumah."

"Bagaimana keadaannya?" Benji memberinya tatapan tulus yang penuh simpatik. "Aku belum sempat bertemu dengannya sejak...kamu tahu, sejak dia divonis dengan penyakit sialan itu."

"Dia baik-baik saja. Kamu kenal William 'kan? Dia bukan jenis manusia yang mudah menyerah."

"Will benar-benar beruntung memilikimu di sisinya. Kamu luar biasa."

Samantha mencoba melontarkan pujian balik atau kalimat merendahkan diri yang sewajarnya diucapkan saat seseorang memujimu, tapi yang ia lakukan hanya berdiri diam tanpa suara. Selalu begitu. Ia tidak pernah pandai bergaul dengan orang lain. Bahasa tubuhnya, ekspresi datarnya, maupun senyuman canggungnya dengan cepat membuat suasana di sekitarnya menjadi kikuk. Mungkin itu satu dari sekian banyak alasan mengapa ia hampir tidak punya teman.

"Kamu mau cari Ralf?" Ujar Benji setelah melewati dua menit canggung bersama Samantha. "Dia ada di kamar atas. Tapi aku sarankan kamu tidak ke sana sekarang. Beri dia waktu sekitar setengah jam lagi."

"Aku harus menemuinya sekarang."

"Resiko ditanggung sendiri." Benji tersenyum meledek sebelum kembali ke balik meja bar untuk melayani tamu.

Dengan hati-hati Samantha melewati kerumunan orang dan meja-meja bundar yang
memenuhi bar kecil itu. Suasananya ramai sekali. Full house. Bau bir, asap rokok, hiruk pikuk teriakan para penikmat sepakbola yang sedang menyaksikan siaran live dari TV, sampai suara merdu penyanyi blues yang sedang membawakan tembang Bruce Springsteen di atas panggung.

Untuk seseorang yang tidak menyukai keramaian, bau rokok, apalagi suara hingar bingar yang memekakkan telinga, jelas Samantha bukan jenis perempuan yang bakal sering mengunjungi bar ini atau pun bar lain di dunia. Ia hanya datang sesekali jika Liam mengajaknya atau Emma mengadakan acara di sini—Emma Subrata pacar on-off Benji dan saat ini status mereka sedang off.

Benji memiliki ruangan kecil di lantai atas yang biasanya ia jadikan kantor atau tempat beristirahat. Kantor ; kalau ia sedang butuh tempat tenang untuk mengerjakan pembukuan atau segala tetek bengek administrasi usaha bar kecil-kecilannya. Tempat istirahat ; kalau ia sedang jenuh berada di balik meja bar dan memutuskan untuk menenangkan diri alias bercumbu dengan Emma.

Benji tidak tinggal di sini, tapi Emma sering menginap kalau hubungan mereka sedang on, dan biasanya Ralf yang akan menetap setiap kali ia pulang dari Bali.

Samantha memijakkan kakinya untuk pertama kali di lantai atas itu, menoleh sekeliling areanya yang dipenuhi kardus-kardus bir, lalu berjalan sampai ke depan pintu 'Kamar Istirahat' Benji dan mengetuk. Ia mendesah capek saat mendengar suara tawa cekikikan seorang perempuan dari dalam sana.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang