Part 6

28.4K 2.2K 83
                                    

Ralf Subrata lupa bagaimana macetnya kota Jakarta saat ini, kemarin, atau pun mungkin nanti. Jakarta adalah kota gila. Ia merindukan Bali, khususnya desa Sanur tempat ia tinggal selama delapan tahun belakangan ini.

Ia tahu ini salah, tidak sepantasnya ia merindukan kota lain, tempat lain, di saat ia seharusnya menghabiskan waktu bersama adik-adiknya di Jakarta.

Namun kalau boleh, izinkan ia untuk jujur sedikit saja, bahwa ia sangat merindukan Bali, desa Sanur, rumah kecilnya, studio tato-nya, galeri seninya, teman-teman surfing-nya, angin lautnya, matahari terbit di garis pantainya...

Semuanya.

Tapi ia tahu ia tidak boleh bersikap egois. Willy membutuhkannya di sini lebih daripada ia membutuhkan Bali.

Rasa kangen pada Bali sedikit terkikis saat ia tiba di depan pintu apartemen nomor 24 EF itu. Sudah dua kali ia tidak jadi mengetuk pintu kamar. Ragu dan takut kalau-kalau wanita yang ada di dalam sana tidak senang melihat kehadirannya.

Tapi ia merasa tidak laki kalau ia masih saja menghindar sejak mereka berpisah di bangku SMU. Sudah hampir delapan tahun bukan? Sudah saatnya ia memberanikan diri berhadapan dengan masa lalunya.

Ralf mengetuk pintu itu. Akhirnya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Begitu pintu terbuka dan wajah cantik seorang perempuan berambut panjang dengan poni menutupi dahi dan sepasang mata coklat indah itu menyambutnya, rasa percaya diri Ralf menyusut seketika.

"Ralf?" Perempuan itu tercengang. Guratan tato tipis di lengan kanannya yang tidak tertutupi kain masih saja tampak indah seperti dulu. Kedua bola matanya membesar dan ia mengeluarkan suara desahan mirip tawa tak percaya. "Rafael Subrata? My goodness."

"Hai, Julie."

"W—wow." Julie lagi-lagi tertawa. Ia menggeleng kencang lalu maju untuk memeluk Ralf. Pelukan itu agak sedikit tidak terduga, karena Julie bisa merasakan tubuh tinggi atletis itu berubah kaku dalam sekejap. "Delapan tahun, Rafael! Sudah lama sekali kita tidak bertemu."

"Ya." Ralf mencoba tersenyum. Hanya di hadapan perempuan bernama Julia Wongso ini, ia bisa berubah jadi laki-laki bisu yang tidak pandai bicara.

Bagaimana tidak? Julia Wongso alias Julie adalah cinta pertama, pacar pertama, sekaligus gadis pertama yang mematahkan hatinya sampai remuk seperti kripik singkong.

Ya, seperti kripik singkong.

Memalukan sekali. Bahkan seorang Rafael Subrata yang merasa dirinya makhluk paling macho, jantan, LAKI, di kerajaan dunia serta akhirat ini, pernah menitikkan airmatanya sampai beringus-ingus untuk seorang Julie.

"Bagaimana kabarmu? Eh, lupa, ayo sini masuk." Julie mundur untuk membukakan pintu apartemennya lebar-lebar.

Ralf melangkah masuk sambil tak lupa melemparkan senyuman sopan ala-ala pejabat korup. Tidak biasanya ia bertingkah menggelikan seperti ini. Biasanya ia akan langsung masuk ke rumah orang, mengambil cemilan dari dalam kulkas, dan duduk angkat kaki di sofa sambil menonton acara olahraga.

Emma dan Benji paling sebal dengan tingkah laku urakannya itu.

"Duduk di mana saja yang kamu mau, karena pada dasarnya apartemenku berantakan."

Julie tidak bercanda. Apartemennya memang berantakan. Tapi yang menyesakkan dada Ralf saat ini adalah apa yang membuat kondisi apartemen Julie berantakan.

Mainan anak-anak.

Kaos kaki dan pakaian balita kotor.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang