Sam melamun terlalu lama di dalam kamar 1404, bukan karena ia lelah menunggu, tapi karena ia ketakutan menunggu.
Skenario terbaik adalah Ralf membatalkan semua ini dan kabur ke Bali. Ya, ya, ya, Sam tahu sekarang ia kelihatan seperti perempuan peragu. Kemarin baru saja ia memohon pada Ralf untuk terlibat dalam proyek rahasia berjudul Perselingkuhan Sah ini, lalu sekarang ia malah ketakutan dan ingin mundur.
Habis mau bagaimana lagi? Semua ini benar-benar menakutkan.
Selama 25 tahun hidupnya yang bersih, Sam selalu menjadi anak lurus. Ia tidak pernah minum-minum, tidak pernah mabuk, tidak pernah membawa mobil tanpa SIM, bahkan tidak pernah menyontek ataupun menyalin PR orang lain di sekolah. Selurus dan sealim itu.
Ayahnya selalu bilang bahwa meskipun manusia tidak melihat, tapi Tuhan Maha Melihat.
Ya ampun... Sam memejamkan mata penuh rasa bersalah. Semoga Tuhan tidak melihat yang satu ini. Semoga Tuhan mengampuni dosanya.
Sam melepaskan kacamata untuk mengusap matanya yang lelah. Ia sedang tidak ingin mengenakan softlense malam ini. Ia juga tidak ingin membersihkan diri ataupun sekedar merapikan rambut dan penampilannya. Kenapa? Karena kalau ia melakukan semua itu—gelisah dan mencemaskan penampilannya—maka rasa bersalahnya akan semakin bertambah parah karena ia merasa seolah-olah ia memang berniat untuk selingkuh.
Lagipula untuk apa ia mempercantik diri? Memangnya siapa yang ingin ia goda? Ralf Subrata? Lebih baik ia menggoda onta atau kambing daripada laki-laki itu.
Ia juga sengaja tidak menyewa kamar yang luas dan spesial untuk malam keramat ini. Meskipun ini hotel bintang lima, tapi Sam menyewa kamar single yang paling murah sekaligus yang paling sempit. Buat apa buang-buang duit, untuk sesuatu yang mengerikan dan bakal selesai tidak lebih dari lima menit?
Please jangan sampai lima menit. Please. Kalau bisa satu detik saja. Pinta Sam dalam hati. Bahkan kalau perlu, ia rela menegak obat tidur atau disuntik obat bius sekalian yang akan membuatnya lumpuh total saat semuanya berlangsung.
Ting.
Sam terlonjak mendengar bunyi bel dari pintu kamarnya. Sambutlah lonceng kematianmu, Sam. Dengan gugup ia mengenakan kembali kacamatanya dan berlari kecil menuju pintu.
Ralf tersengal-sengal di depan kamar sambil membungkuk setengah badan menyeka keringatnya yang bercucuran. Ia mengibas kaosnya dengan susah payah.
"Ralf." Sam melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Kamu terlambat dua jam tiga puluh satu menit."
"Heh, Unyil! Aku baru saja menaiki tangga darurat untuk sampai ke lantai 14 terkutuk ini karena lift-nya lamban. Dan kamu bilang aku terlambat?"
"Kamu memang terlambat."
"Ini kota Jakarta, Anak Pend—maksudku Anak Manis, kota Jakarta yang macet setiap waktu tanpa peduli siapa yang sedang ingin dihamili malam ini. Menurutmu bagaimana aku bisa terbang dari Karawaci sampai ke Pakubuwono dalam waktu setengah jam, hah! Aku tidak punya kendaraan supersonic atau karpet aladin!" Ralf mengibas kaosnya lagi dengan makin kesal. "Bisakah aku masuk sekarang?"
Sam terdiam merenungi sesuatu.
"Di mana Liam? Apa dia bersembunyi di balik kloset itu untuk diam-diam merekam aksi kita? Hallo, Will? Kamu di sana? Jangan lupa pakai kualitas video yang terbaik ya!"
Sam tidak menjawabnya. Tapi ia akhirnya meninggalkan pintu untuk kembali masuk ke kamar. "Tutup pintunya."
"Kamu yakin? Aku lebih suka tamu-tamu hotel dan security menonton kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday
Romansa[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Samantha menjalani hidupnya bagai di negeri dongeng. Ia menikah dengan teman sekolahnya, William, dan hidup bahagia meski tidak dikaruniai anak. Dunianya serasa runtuh saat sang suami divonis mengidap kanker mematik...