Biasanya, setiap kali rumah mereka akan mengadakan perjamuan makan malam dengan teman-teman Liam, Samantha tidak pernah sungkan melibatkan dirinya terjun ke dapur untuk memasak. Meski ada Bik Iyem yang setia membantunya di dapur luas dengan kitchen set ala master chef ini, tetap saja Samantha senang membiarkan dirinya kotor. Ada kebanggaan tersendiri saat tamu-tamu Liam memuji masakannya.
Tapi kali ini? Sejengkal pun Samantha tidak sudi menginjakkan kakinya di dapur. Ia mendelegasikan tugas itu sepenuhnya pada Bik Iyem, mulai dari jumlah sampai jenis masakan yang akan dihidangkan. Ia bahkan tidak ambil pusing saat Bik Iyem kelabakan di dapur seorang diri dan mulai mengoceh seperti orang gila.
Bagi Samantha tidak ada yang patut untuk dirayakan pada perjamuan nanti malam. Bahkan kalau bisa, rasa-rasanya ia ingin meringkuk di dalam kamar dan menelepon kedua orang tuanya untuk curhat.
"Dia sudah datang, Sam." Teriak Liam dari ruang tamu mereka.
Samantha masih berada di dalam kamar mandi tamu, berdiri di hadapan wastafel dengan keran air menyala. Untuk kesekian kalinya ia membilas tangannya yang sama sekali tidak kotor. Sudah hampir lima belas menit ia berada di dalam sana. Liam tampaknya tidak terlalu peduli, mungkin laki-laki itu tidak sadar, atau mungkin saja ia malah mengira Samantha sedang sibuk berdandan di dalam sana.
Jangankan berdandan, menatap pantulan wajahnya di cermin saja Samantha malas. Memangnya siapa yang sudi berdandan kalau tahu beberapa menit lagi dirinya akan digiring ke pelukan laki-laki lain?
"Ini cuma permainan." Bisik Samantha dengan kepala menunduk di wastafel. Ia bisa menghadapi semua ini dengan baik, seperti biasanya. Tipikal Samantha Andhara yang tenang, serba terkendali, dan mengutamakan akal sehat ketimbang emosi. "Kamu bisa."
Samantha membuka pintu kamar mandi dan keluar menuju ruang tamunya. Aroma masakan yang baru saja dihidangkan Bik Iyem menyeruak di seluruh penjuru rumah, harum dan menggiurkan. Tapi perutnya melilit hebat saat ini.
"Hai, bro." Suara Liam terdengar di ambang pintu.
Dibalas dengan suara kakak kandungnya. "Hei, hei, hei! Big Willy!"
Samantha berdiri mengamati kedua laki-laki itu saling berpelukan dan menepuk punggung dengan gesture hangat. Ia hanya diam di sana menunggu seseorang menyapanya, atau mungkin menunggu bumi menelannya hidup-hidup.
"Hai, Sam." Laki-laki itu, Ralf Subrata, akhirnya memalingkan wajah sesaat padanya dan melemparkan senyum palsu yang kentara.
Samantha menganguk singkat dengan senyuman yang tak kalah palsunya.
"Bagaimana penerbanganmu?" Tanya Liam.
"Membosankan. Aku kelaparan." Ralf membawa masuk tas ranselnya yang kelihatan berat dan kumal. Tidak ada koper elegan yang menandakan bahwa ia baru saja terbang dari tempat tinggalnya di Denpasar menuju Jakarta. Ia dan tas ransel kumal itu hanya membuatnya terlihat seperti seorang prajurit yang baru saja pulang dari medan perang.
Lalu sepatu boot kotor itu... Ya Tuhan.
Samantha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak segera memotong reuni hangat antara dua bersaudara itu dan meminta Ralf untuk melepaskan boot-nya serta mencuci kaki di luar sana.
Kenapa laki-laki itu tidak pernah bisa mengurus diri?
Ralf Subrata dan William Subrata bagai bumi dan langit. Surga dan neraka. Pagi dan malam. Mobil Lamborghini dan pantat truk.
Kalau Liam laki-laki yang rapi, wangi, bersih, pintar mengurus diri dan tidak pernah keluar rumah tanpa memastikan penampilannya enak dipandang mata, maka kakaknya adalah jelmaan dari segala mimpi buruk pada designer.

KAMU SEDANG MEMBACA
Someday
Romans[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Samantha menjalani hidupnya bagai di negeri dongeng. Ia menikah dengan teman sekolahnya, William, dan hidup bahagia meski tidak dikaruniai anak. Dunianya serasa runtuh saat sang suami divonis mengidap kanker mematik...