7. I Will Do Everything!

66 2 0
                                    

Vanessa POV

Berkali - kali aku memandangi Rolexku. Berkali - kali juga aku bolak - balik didepan ruangan kerja Dante. Pria itu belum juga kembali sejak makan siang tadi, aku takkan gentar meskipun dia sudah memakiku lewat handphone tadi. Aku akan tetap menunggunya kembali dan aku akan menanyakan dengan siapa dia menghabiskan makan siangnya. Dia tidak boleh makan siang dengan siapapun, dia selalu menolak kalau aku yang mengajaknya makan bersama dengan berbagai alasan padahal aku tahu dia memang benar - benar tak ingin bersamaku.
Menurutku cinta harus memiliki, akulah wanita yang paling mencintai Dante. Aku sudah membuktikan itu berkali - kali sampai aku rela bekerja di kantornya sebagai sekretaris padahal jika aku bekerja di perusahaan milik ayahku tentu saja aku takkan menduduki jabatan biasa seperti ini. Semua itu ku lakukan demi bisa melihat Dante setiap hari kecuali hari minggu. Aku sangat mencintainya, aku sering menangis kehilangan cara. Entah bagaimana lagi aku bisa meyakinkan pria itu bahwa akulah yang sangat pantas menjadi istrinya. Ibunya juga mendukungku mendekati Dante, lalu entah apa lagi yang ada di benak pria itu? Aku tak tahu kekuranganku dimana. Aku cantik, berpendidikan, dan datang dari keluarga kaya yang pastinya tak perlu lagi mengincar harta keluarganya. Seharusnya dia tak punya alasan untuk menolak wanita sepertiku, aku menolak pria - pria di luar sana karena aku lebih memilih Dante yang sampai saat ini tidak memilihku.
Aku terus mengecek handphoneku. Menelfonnya berkali - kali tapi tidak ada jawabannya. Dia mematikan handphonenya. "Sial!!!" pikirku. Beraninya dia berbuat seperti ini padaku, aku akan mengadukan hal ini pada ibunya. Jangan sebut aku Vanessa Danuatmaja jika aku tak bisa mendapatkan cinta Dante, aku memukul meja kerjaku. Perasaanku semakin was - was, hatiku terus bertanya kenapa dia belum kembali juga. Aku memutuskan untuk masuk ke ruangannya, aku duduk di balik meja kerjanya. Membolak balik dokumen kerjanya, sembari memandang fotonya bersama Mrs. Margareth dan Mr. James yang terpajang rapi dalam sebuah bingkai kecil diatas meja kerjanya.
"Tante, aku akan melakukan apapun demi menjadi istri Dante" Aku mengangkat bingkai foto ibunya dan meletakkan kembali. Aku mendengar suara langkah seseorang semakin mendekati pintu masuk ruangan Dante. Itu pasti dia.
"Kau? Apa yang kau lakukan di ruanganku? Apa kau tidak punya kerjaan? Kembali ke meja kerjamu!!! Aku sedang tak ingin di ganggu sekarang!!!" Aku beranjak dari kursinya, sedikit merasa gugup saat dia membanting sebuah map di hadapanku.Tapi, aku tetap berusaha untuk tenang.
"Where have you been? Aku menunggumu sejak tadi. Kau tahu kau punya janji bertemu Mr. Lawrence jam 4 sore ini?" Seruku.
"Sekarang masih jam setengah empat. Tentu saja aku ingat, dia clientku. Sudahlah, kau bisa kembali sskarang. Aku benar - benar tak ingin kau ganggu" Ujarnya menahan sedikit emosi.
"Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padaku Dante? Apa salahku padamu? Salahkah aku kalau aku mencintaimu?" Aku berlalu sembari menghapus bulir - bulir air yang tak sengaja jatuh dari mataku. Aku berusaha tegar sejak tadi, aku menahan kesedihanku karena sikap dinginnya. Tapi akhirnya bendungan airmataku pecah juga, hatiku selalu remuk setiap kali Dante bersikap demikian padaku. Aku tak pernah perduli siapapun wanita yang di cintai saat ini, tapi setidaknya dia harus memperlakukanku dengan baik pula.
"Vanesss..." Aku menepis tangannya yang berusaha menahanku pergi. Aku tahu dia sedikit menyesal, tapi hatiku jauh lebih sakit saat ini.
Aku terduduk di meja kerjaku, terisak, dan aku tak perduli bagaimana reaksi orang yang lewat di hadapanku saat ini. Aku membiarkan airmataku jatuh tanpa berusaha menyekanya lagi. Tak ada gunanya, karena airmataku akan terus jatuh sampai Dante bisa bersikap lembut padaku.
Dia menghampiriku dan bukannya minta maaf atau sekedar berjanji bahwa dia takkan mengulangi lagi sikapnya. Dia hanya memintaku berhenti menangis dan menyiapkan semua keperluannya di ruang meeting, karena sebentar lagi Mr. Lawrence akan tiba.
Aku duduk dengan tatapan dingin kepadanya. Aku tak banyak bicara, karena hatiku masih mengutuk sikapnya tadi. Aku hanya diam dengan mata sembab, aku tak banyak bicara kali ini. Aku mencatat semua hasil meeting hari ini di agendaku. Aku segera meninggalkan ruang meeting, setelah setengah jam berlalu.

I Love You, Just The Way You Are. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang