16. Goodbye Forever

84 2 0
                                    

"Dear Davina,
Inikah saat yang pas untukku mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya pada Dante? Lusa aku kembali ke Bandung. Dia sudah menikah dengan Vanessa, dia sudah bahagia. Tak mungkin aku merusak kebahagiaan nya seperti cinta semunya yang merusak kebahagiaanku.
Davina, jika kamu sedang bersamaku saat ini peluklah aku sebentar saja walaupun aku tak merasakan hangat tanganmu seperti dahulu setidaknya aku tak sendirian saat ini."
📓Delila's Dairy


"Sudah waktunya aku benar - benar melupakannya. Aku harus meninggalkan semua tentangnya, aku tak boleh membuat langkahnya bimbang. Aku tahu dia masih mencintaiku, masih ada namaku di hati kecilnya. Sebaliknya, diapun masih ada di hatiku. Tapi, aku harus membuat dia lupa akan aku dan akupun harus berjuang melawan hatiku sendiri untuk melupakan dia..." Delila menghirup nafas panjang. Berat rasanya mendapatkan oksigen segar sejak pertemuannya dengan Dante setelah setahun lebih mereka mereka terpisah.
"Kamu jadi balik ke Bandung besok?" Seorang wanita paruh baya datang menghampiri Delila.
"Jadi ma." Delila cepat - cepat menghapus airmatanya.
"Can you please stay just for one or two nights more sayang? Mama kan masih rindu" Pinta ibunya.
"Tidak bisa ma. Banyak hal yang harus Delila kerjakan disana." Delila menggeleng.
"Okay deh. Mama gak bisa maksain kamu kalau gitu" Ujar ibunya mengelus rambut Delila.
"Lagian Jakarta - Bandung kan deket ma. Kita bisa sering - sering ketemu. Mama sering - sering jengukin aku ya"
"Of course sayang"
Delila memeluk ibunya. Saat ini dia sudah benar - benar hilang pertahanannya.
"Kamu kok nangis?" Tanya ibunya saat merasakan bajunya sedikit basah.
"Hmm... Gak papa kok ma. I am going to miss you mama"
"Me too dear..."
Delila merapikan pakaiannya ke dalam sebuah koper. Besok dia akan meninggalkan kamar ini lagi, tak tahu untuk berapa lama. Kembalinya ia ke Jakarta hanya akan membuat luka lamanya berdarah lagi. Seberapapun dia rindu kamarnya, dia harus mampu menahan rindu itu.
Hanya karena sebuah rasa, dia harus meninggalkan kamar yang penuh kenangan antara dia dan Davina. Hanya karena sebuah rasa dia harus berjuang sendiri menata kembali hatinya, karena rasa itu pula Delila harus membiarkan dirinya dilukai oleh pria asing yang semudah itu dia percayai.

🍵🍵🍵

"Finally kamu pulang. Aku kira kamu gak pulang malem ini" Sambut Vanessa saat ia mendengar langkah Dante.
"Iya aku pulang. Kamu siapin makan malam ya, aku mau mandi dulu" Pinta Dante.
"Kamu kenapa? Kok lemas gitu? Ada masalah di kantor?" Tanya Vanessa sembari membantu Dante melepaskan jasnya.
"Gak. Gak ada masalah di kantor. Aku kecapekan aja." Jawab Dante.
"Yaudah sekarang kamu mandi ya. Aku buatin cokelat panas. Hari ini aku gak masak, jadi aku delivery masakan jepang buat kamu"
Dante melangkah malas ke kamar mandi. Dia membiarkan air hangat membasahi seluruh tubuhnya. Tangannya bersandar pada dinding kamar mandi, pria itu terdiam dibawah guyuran air hangat.
"Owen? Owen? Dia sudah punya kekasih baru. Secepat itukah dia melupakan aku?" Ujarnya dalam hati.
Dante meninju - ninju dinding kamar mandinya, membiarkan airmatanya jatuh bersama tetesan air hangat yang membasahi kepalanya.
"Delila, kamu gak boleh meninggalkan aku. Kamu harus sama aku selamanya" Teriak Dante.
Vanessa bergegas masuk kedalam kamar mandi sesaat setelah mendengar suara teriakan dari kamar mereka. Vanessa segera mematikan shower Dante dan membantunya keluar dari kamar mandi. Dia meraih sebuah handuk untuk mengeringkan tubuh Dante.
"Kamu kenapa Dante?" Sembari mengeringkan rambut Dante.
Dante memeluk tubuh Vanessa yang ikut basah. Dante tidak bicara apa - apa. Tidak juga memberikan jawaban apapun atas pertanyaan Vanessa. Dia terus terisak dalam pelukan wanita yang sudah menghancurkan hidupnya itu, dia tahu dan sadar bahwa Vanessalah penyebab semua kerumitan hidupnya saat ini. Tapi, untuk kali dia sangat membutuhkan sebuah pelukan. Dan Vanessalah yang ada saat ini.
Hanya karena cinta, dia harus merelakan Delila bersama orang lain. Hanya karena cinta pula, dia harus menyakiti Delila. Karena rasa itu semua dusta ini tercipta. Tak hanya Delila, tapi juga Dante dan Vanessa terluka karena rasa yang mereka jadikan sandiwara.
"Kamu kenapa Dante? Kamu belum jawab aku sejak tadi!!" Tanya Vanessa cemas.
"Siapa yang membuatmu seperti ini?" Tanya Vanessa lagi.
"Kamu masih bertanya siapa yang membuatku seperti ini?" Ujar Dante dengan suara lemah dibalik pelukannya.
"Tidak aku tidak tahu Dante."
"Kamu memang tidak pernah tahu. Selama ini kamu selalu bertindak atas ketidak tahuanmu, makanya semua jadi serumit ini Vanessa" Lanjut Dante.
"Maafkan aku Dante. Tapi aku benar - benar tak mengerti maksudmu" Geleng Vanessa.
Dante melepaskan pelukannya. Dante mencium bibir Vanessa tanpa permisi, Dante menidurkan Vanessa diatas tempat tidur mereka. Dengan pasrah Vanessa menerima ciuman Dante yang semakin lama semakin menggairahkan nya. Dante mulai melepaskan satu persatu baju tidur tipis yang sudah basah di tubuh Vanessa.
"Inikan yang kamu mau Vanessa. Aku akan menuruti keinginanmu mulai saat ini. Aku sudah tak punya hak untuk menemukan bahagia ku lagi. Sekarang semuanya demi kebahagiaanmu"
Dante melanjutkan perbuatannya. Dalam hati penuh keputusan asaannya dia sudah menyerahkan dan menggantungkan hidupnya yang takkan pernah bahagia dengan Vanessa. Delila sudah menibggalkannya, Dante sudah kehilangan harapannya untuk bahagia.
Dante terus menciumi setiap inchi tubuh Vanessa, sama sepertinya Vanessa membalasnya dengan penuh hasrat yang dia tahan selama ini. Vanessa sudah mendapatkan tubuh Dante, tapi belum hatinya. Akhirnya, Dante meniduri Vanessa. Perbuatan ini berkali - berkali dilakukan Dante tanpa ada penolakan dari Vanessa.
Vanessa tak mungkin menolak, karena itulah keinginannya selama ini. Bisa menikmati tubuh Dante berulang kali. Hal yang selalu di tunggu Vanessa sejak awal pernikahannya, tak sedikitpun bagian tubuh Vanessa yang tak disentuh Dante. Malam itu menjadi malam bersejarah bagi Vanessa, namun tidak bagi Dante meskipun berulang kali dia sudah melakukannya dengan Vanessa.
Akhirnya mereka tertidur tampa sehelai benangpun. Hanya tertutup sehelai selimut tebal, Dante tampak tertidur lelap setelah itu. Sedangkan Vanessa masih memandangi suaminya itu, memandangi wajah teduh Dante saat ia memejamkan mata.
"Delila, Delila. Please jangan pergi" Dante mengigau dalam tidurnya.
Vanessa mengelus pipi mulus Dante dengan penuh sabar. Dia tahu suaminya itu sangat mencintai Delila.
"Tak apa kamu sekarang menyebut namanya Dante. Aku harap namaku akan kamu sebut seperti ini suatu saat nanti"
Vanessa mengecup lembut bibir Dante. Mengelus pipinya setelah itu, "Sleep tight suamiku..."
Vanessa mematikan lampu tidur mereka.

🍵🍵🍵

"Selamat pagi Dante..." Ucapnya saat Dante menghampiri Vanessa di dapur.
"Pagi.."
"Ini aku udah buatin kopi kamu. Ini gula dan creamernya. Kamu bisa tuang sesuai selera kamu. Aku juga udah buatin kamu pancake dengan mapple syrup."
Vanessa melayani suaminya lebih semangat dari biasanya. Bagaimana tidak, semalaman Dante sudah memberi dia kebahagiaan yang berkali - kali.
"Terimakasih... Aku akan menghabiskan pancake buatanmu" Ujar Dante dengan suara lemah.
"Kamu sakit? Kok lemes gitu suaranya? Gimana kalau hari ini kamu gak usah ngantor dulu. Nanti aku deh yang nelfon Kinar, sekretaris kamu." Ujar Vanessa.
"Aku gak apa - apa. Lagian aku harus ke kantor hari ini. Aku ada janji sama Mr. Olivier jam 11 masalah proyek yang d Surabaya"
"Oh gitu. Yaudah kamu hati - hati ya. Nanti kalau emang gak enak badan, setelah ketemu Mr. Olivier kamu pulang aja. Ni minum Vitaminnya." Vanessa menyodorkan dua butir vitamin untuk Dante.
"Oke. Aku pergi dulu ya. Kamu hati - hati dirumah." Dabte mengecup kening Vanessa.
"Oh my God. Kamu cium kening aku? This is the first time you kiss my forehead Dante. Thank you for treating me as a wife." Vanessa memeluk suaminya itu, lalu pelukan itu dibalas oleh Dante.
Vanessa tak bisa berhenti tersenyum, sampai Dante pergi pun dia tak sanggup menahan senyumnya. Dia terus tersenyum mengingat - ingat kejadian tadi malam juga pagi ini. Dia tampak mengelus rahimnya, Vanessa berharap bulan depan dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Tuhan, semoga sebentar lagi dirahimku ada anak Dante, amin" Ujarnya masih mengelus perutnya yang rata.
Vanessa membereskan sisa makan pagi Dante. Mengerjakan tugas - tugas hariannya. Mulai dari berberes, memasak, mencuci, dan mengurus segala keperluan Dante.
"Walaupun nanti Dante tak perduli dengan anak yang ku kandung, aku tak masalah..." Vanessa tersenyum sembari mengelap pantry.

🍵🍵🍵

Malam itu terulang lagi. Mereka melakukannya lagi, seperti orang yang ketagihan makanan. Mereka berdua melakukan hal itu lagi dan Dante tak menolak, sesuai surat pernyataan yang sudah ia setujui. Dante memberikan hal itu berulang kali pada Vanessa setidaknya sampai Vanessa dinyatakan positif oleh dokter.
"Terimakasih ya Dante" Ucap Vanessa disela - sela percintaan mereka.
"Aku cuma ingin ngasih kamu anak seperti yang kamu mau. Setelah ini berarti tugasku selesai" Engah Dante.
Vanessa merapikan kembali baju tidurnya setengah jam kemudian, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"I love you Dante." bisiknya ke telinga Dante.
"Aku tidak mencintaimu Vanessa" Ujar Dante singkat.
Hati Vanessa teriris mendengar perkataan suaminya barusan. Vanessa mencoba menahan tangis diatas bahagia yang baru saja dia dapatkan. Vanessa sadar Dante melakukannya tidak di barengi rasa cinta, seperti yang Vanessa persembahkan pada Dante. Vanessa memberikan kehormatannya pada suaminya karena cinta dan hal yang tak pernah ia sangka adalah dia sudah memberikan hal itu pada orang yang sama sekali tak mencintainya.
Vanessa tidur membelakangi suaminya, menghapus bulir yang terjatuh di pipinya. Betapa menderitanya menjadi istri pura - pura Dante. Ini adalah pilihannya sejak awal, namun dia tak menyangka bahwa semua ini akan sesakit yang dia rasakan sekarang. Selama ini dia bisa mengatur segalanya, tapi satu hal yang tak pernah bisa dia atur adalah perasaan Dante yang tak bisa sama dengan perasaannya.
"Kenapa kamu membelakangi aku?" Tanya Dante ditengah kesadarannya.
"Ga apa - apa kok. Aku lagi pengen ngadep kesini aja" Elak Vanessa.
"Tumben? Biasanya kamu selalu menghadap aku." Ujarnya lagi dengan mata terpejam.
"Aku fine Dante" Lanjut Vanessa.
"Okay. Kalaupun kamu lagi ngambek atau marah sama aku saat ini percuma. Aku lelah sekali. Aku ingin tidur. Aku tak punya waktu untuk membujukmu"
"Aku juga tak ingin kamu bujuk. Karena aku baik - baik aja."
"Baguslah. Memang lebih baik kamu jawab begitu. Kamu yang ciptain semua drama ini, seharusnya memang kamu baik - baik aja kan sayang..."
Vanessa menarik selimut tebalnya. Menutupnya sampai ke dada. Ia bersikeras menutup matanya yang sama sekali tak mengantuk.
"Sudahlah jangan menangis lagi. Aku benci mendengar isakanmu." Dante mengelus punggung Vanessa.
"Aku tidak menangis Dante."
"Kau boleh membohongi semua orang di muka bumi ini. Tapi kamu tak bisa membohongi suami settinganmu ini Vanessa"
"Sudah cukup kamu melukai perasaanku dengan kata - katamu Dante. Kamu sudah terlalu banyak bicara, tidurlah. Ini sudah jam 2 pagi"
"Berhentilah menangis, maka aku akan bisa tidur nyenyak malam ini"

🍵🍵🍵

I Love You, Just The Way You Are. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang