9. I Don't want to Lose Him

65 2 0
                                    

Dear, Davina my lovely sister.
Bagaimana kabarmu? Aku sedang tidak baik Davina, ada satu hal yang membuatku terus berfikir belakangan ini. Aku tahu kamu selalu melihat setiap langkahku, aku tahu kamu pasti tahu yang sedang terjadi padaku saat ini. Davina, adilkah bila aku merasa cemburu pada Dante? Salahkah aku kalau aku takut setiap kali Dante pergi ke kantor? Wanita itu sekantor dengan Dante, wajarkah rasa cemasku ini??
Aku selalu takut kalau pada akhirnya Dante jatuh cinta pada Vanessa, walaupun aku pernah berkata pada Dante aku siap kehilangannya. Tapi, sesungguhnya bukan itu yang ada didalam hatiku. Aku mencintai Dante, dan aku tak ingin kehilangannya. Beberapa hari ini aku sulit tidur Davina, aku selalu mengecek handphoneku. Aku berharap Dante lebih sering menghubungiku. Tapi aku sadar, aku tak boleh egois. Dante adalah pria yang sangat sibuk, tapi aku selalu membayangkan setiap kali wanita itu menghampiri Dante di ruangannya, dan hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Tentu saja wanitDairy
leluasa masuk ke ruangan Dante, Vanessa adalah sekretarisnya.
Davina, tolong aku. Tenangkan aku, peluk aku seperti biasanya. Aku tidak ingin uring - uringan seperti ini, apa aku bersikap berlebihan pada Dante?"

📓Delila's Dairy

🍵🍵🍵

Delila begitu semangat pagi ini. Sejak tadi malam dia berniat akan memberi surprise pada kekasihnya. Membawakannya makan siang sepertinya ide yang sangat bagus, dia akan memasak makanan kesukaan Dante. Spaghetti ikan salmon, Delila tampak begitu sibuk di dapur.
Bi Jum turut membantunya, meskipun berulang kali Delila meminta Bi Jum mengerjakan hal lain saja karena dia bisa melakukan semua itu sendiri. Setelah selesai Delila memasukkan spaghetti buatannya kedalam sebuah snack box berwarna hijau muda.
"Sekarang aku mandi, supaya gak telat sampai di kantor Dante." Ujarrnya dalam hati.
Delila menyetop sebuah taksi dan menaikinya. Perjalanan setengah jam ia tempuh untuk sampai ke kantor Dante. Dia sengaja tak mengabari kekasihnya itu terlebih dahulu, karena dia ingin kedatangannya menjadi sebuah kejutan.
Sesampainya di sebuah Gedung besar, Delila bertanya pada seorang receptionist dimana ruangan Dante. Si wanita receptionist itupun menelfon sekretaris Dante, Vanessa terlebih dahulu.
"Halo, selamat siang ibu Vanessa. Ini ada seseorang ingin bertemu dengan pak Dante, apakah beliau bersedia?" Tanya wanita yang bernama Evelyn tersebut.
"Siapa namanya?" Ujar Vanessa.
"Sebentar saya tanya dulu bu. mbak siapa tadi namanya?" Wanita itu bertanya lagi pada Delila.
"Delila" Dia menuliskan namanya pada secarik kertas yang ada di meja receptionist.
"Oh, Delila namanya bu" Lanjut Evelyn.
"Okay. Langsung suruh aja dia ke atas, nanti aku kabarin Dante" Jawab Vanessa ketus saat mendengar nama Delila lalu menutup telfonnya.
Delila memasuki sebuah lift dan menekan tombol angka 7, ruangan Dante. Sesampainya disana Delila di sambut oleh Vanessa.
"Hi, welcome Delila. Kau ingin bertemu Dante, bukan?" Tegas Vanessa menghampiri Delila.
Delila mengangguk sembari tersenyum. Delila melirik nam tag yang ada di dada Vanessa, melihat nama wanita itu. "Tak salah lagi, dialah Vanessa." Ujarnya dalam hati.
Tanpa basa - basi Delila langsung mengetuk pintu ruang kerja Dante.
"Apa kau tak tahu prosedur di kantor ini? Kau tak bisa seenaknya masuk ke ruangan Dante sebelum aku memberitahu Dante" Ketus Vanessa, sekali lagi Delila hanya bisa tersenyum.
"Kau tak punya suara? Kenapa kau hanya tersenyum dari tadi? Aku tak memerlukan senyummu itu!!!!" Ujar Vanessa lagi.
Delila menahan sakit hatinya. Ingin rasanya dia menampar pipi Vanessa karena sudah berani berkata demikian padanya, tapi dia sadar dia takkan pernah bisa membela dirinya sendiri. Delila merasa terhina, seharusnya dia mengabari Dante terlebih dahulu saja sebelum ke kantor Dante.
"Kau sudah terlalu berani untuk datang kesini!!!!" Seru Vanessa.
"Kenapa aku harus takut untuk datang ke kantor Dante" Ungkap Delila dalam hatinya.
Akhirnya Delila memutuskan untuk masuk ke ruangan Dante tanpa menghiraukan ucapan - ucapan Vanessa. Delila mendapatkan Dante sedang sibuk di balik komputernya, melihat kekasihnya berdiri di hadapannya Dante langsung beranjak dari tempat duduknya dan memeluk Delila.
Vanessa menyaksikan hal itu, "Maafkan aku, aku sudah berusaha mencegahnya masuk tapi dia malah memaksa masuk ke ruanganmu tanpa seijinku" Ujar Vanessa dengan nada cemburu.
"Siapa yang memerlukan ijin darimu? Delila tak memerlukannya. Kenapa kau melarang dia masuk? Kau tak punya hak untuk melarang kekasihku datang!!!!!" Tegas Dante dengan penuh amarah.
"Tapi, aku cuma menjalankan prosedur di kantor ini" Vanessa mencoba menjelaskan.
"Kau sedang tidak menjalankan prosedur. Tapi kau sedang berusaha menyingkirkan Delila!!!!" kegaduhan terjadi di ruangan Dante. Delila mencoba menenangkannya, memberi pandangan bahwa dia tidak apa - apa.
"Ya, aku akan menyingkirkan wanita bisu ini!!! Karena dia tak pantas bersamamu!!!" Teriak Vanessa menunjuk - nunjuk Delila.
"Sebelum kau menyingkirkan dia, aku yang lebih dahulu menyingkirkanmu dari kantor ini juga di dari hidupku!!!! Dasar kau wanita pembuat masalah!!!"
Vanessa menangis namun, dia belum beranjak dari posisinya tadi. Dia tidak meninggalkan ruangan Dante, dia tak rela meninggalkan Dante dan Delila berdua di ruangan kerja Dante.
"Apalagi yang kau tunggu????!!!!! Kau bisa pergi sekarang, kalau perlu kau tak usah kembali ke kantorku. Aku tak butuh sekretaris sepertimu!!! Masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan posisimu, yang tentunya jauh lebih baik dari KAU!!!!!" Usir Dante.
Vanessa melangkah lemah setelah di usir Dante. Dia merasa sudah kehilangan harga dirinya, apalagi semua itu dia lakukan di depan Delila. Cintanya pada Dante membuatnya menyakiti dirinya sendiri, membuatnya buta dan tak perduli dengan dirinya sendiri.
Dante menghempaskan dirinya pada sebuah sofa empuk dan melonggarkan dasinya. Delila mengelus lengannya pelan, dia paham betul bagaimana kekasihnya berusaha menahan emosinya sejak tadi.
"Sabar, bagaimanapun dia seorang wanita sama sepertiku" Ucap Delila.
"Dia sudah keterlaluan padamu Delila. Dia tak boleh berkata seperti itu" Lanjut Dante.
"Berkata apa? Berkata bahwa aku ini si bisu? Dia benar, aku bisu. Aku tidak merasa terhina, aku hanya tak bisa membela diriku sendiri." Sambung Delila.
"Maafkan aku Delila, aku sudah menyeretmu dalam masalahku dengan Vanessa" Dante mengelus pipi Delila.
"Tidak. Kamu gak salah, dia seperti itu karena dia mencintaimu mencintaimu. Akupun akan melakukan hal yang sama, jika aku jadi dia" Jawab Delila berusaha menenangkan Dante.
Dante mengecup bibir mungil Delila, that was her first kiss. Ciuman pertama Delila adalah Dante, Delila membiarkan Dante menciumnya karena hal itupun dia tunggu selama ini. Akhirnya, dia merasakan ciuman pertamanya. Hal yang hanya bisa dia bayangkan sebelumnya akhirnya dia rasakan sekarang, Dante menciumnya dengan lembut. Mengabsen bibir Delila dengan penuh cinta dan kesungguhan.
Demi Tuhan Delila takkan melupakan hari ini, dia akan menyimpannya seumur hidup. Sungguh Dante adalah pria gentle yang sangat dia cintai, saat ini dia benar - benar di miliki seorang pria. Dan baru saja pria itu membelanya didepan seorang wanita, lalu mengecup bibirnya dengan penuh kasih sayang seperti impiannya selama ini. Seperti yang di ceritakan Davina dulu, saat pertama kali Marchel menciumnya.
Ciuman itu berlangsung kurang lebih sepuluh menit dan harus terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruang kerja Dante. Dante mengerang frustasi, lalu mempersilahkan seseorang diluar sana masuk kedalam ruangannya.
"Papa... What a surprise!!!" Dante berdiri menyambut ayahnya.
"Sepertinya papa salah waktu nih. Kamu sedang ada tamu, seorang wanita cantik. Hi, saya ayahnya Dante." Ujar Mr. James mengarahkan tangannya untuk menjabat tangan Delila.
Dengan senang hati Delila menyambut jabatan tangan Mr. James. Dan dia menyebut namanya, setelah itu di ulang kembali oleh Dante.
"Delila pa, Delila namanya" Ujar Dante.
Ayah Dante mengangguk dan mengambil posisi disebelah putranya itu.
"Kamu udah makan siang?" Tanya Mr. James pada Dante.
"Ini aku baru mau makan siang pa, Delila bawain aku spaghetti ikan Tuna. Papa kalau gak keberatan kita makan siang bareng aja, Delila bawainnya banyak kok" Tawar Dante.
"With my pleasure" Jawab Mr. James dengan senyum.
Mr. James dan Dante sangat menikmati spaghetti buatan Delila. Mr. James tampak semangat menghabiskan spaghettinya.
"Ternyata selain cantik kamu juga jago masak ya, boleh ni sekali - sekali kamu datang ke rumah buat masakin kita" Puji Mr. James.
"Terimakasih. Dengan senang hati saya akan datang ke rumah om, itupun kalau Dante mengijinkan" Sambung Delila.
"Tentu saja aku mengijinkan sayang. Tu kamu udah dapat lampu hijau dari papa aku" Seru Dante.
Delila tersipuh malu, dia tak menyangka akan secepat ini bertemu dengan orangtua Dante. Meskipun pertemuan ini bukanlah pertemuan yang disengaja tapi tetap saja Delila merasa senang. Setidaknya satu kegundahannya sudah terjawab, kegundahan yang selalu menghantuinya. Apalagi jika bukan soal kekurangannya, Dante mungkin bisa menerimanya karena cinta. Tapi, untuk menikah dan menjadi istri Dante Delila harus memastikan restu dari orang tua Dante. Dan sekarang dia merasa sudah diterima oleh ayah Dante. Tapi, tidak boleh secepat itu dia merasa senang. Masih ada satu orang lagi yang harus dia menangkan hatinya, nyonya Margareth.
"Papa tumben singgah ke kantor aku?" Tanya Dante disela makan siang mereka.
"Kebetulan papa baru dari kantor kita yang di Sudirman, terus lewat depan kantor kamu yaudah papa suruh supir untuk singgah dulu" Jelasnya.
"Oh gitu. Bagus deh, jadinya papa kan bisa ketemu Delila." Lanjut Dante mengunyah irisan tunanya.
"Iya. Dan lebih bagusnya lagi, papa bisa ikut mencicipi spaghetti buatan Delila" Ujar Mr. James bersemangat.
Dante mengangguk setuju. Dia juga tak membantah bahwa masakan Delila memang sangat lezat, tak heran ayahnya begitu lahap menghabiskan spaghetti ikan tuna plus taburan mozarella di atasnya.
"I didn't see Vanessa. Where did she go? Bukannya lunch time sudah berakhir?" Tanya Mr. James sembari memandang jam tangannya.
"Aku menyuruhnya pergi, pa." Jawab Dante singkat.
"Why? How come?" Tanya Mr. James dengan ekspresi wajah penuh tanya.
"Dia mengusir Delila. Berkata kasar pada Delila, aku tak suka pada tindakannya tadi. Aku rasa dia sudah keterlaluan, bahkan dia tak mengenal Delila sama sekali!" Seru Dante.
"Okay. Sepertinya Papa harus bersiap jika Danuatmaja menghubungi papa sore ini atau malam nanti" Mr. James mengangguk mengerti.
"Akupun sudah siap jika harus menghadapi ayahnya pa. Aku sudah muak dengan kelakuannya selama ini, dia selalu berbuat sesuka hatinya. Semau dia. Dia selalu memandang orang lain berdasarkan berapa banyak harta yang mereka punya, satu kantor ini sudah tau kok siapa Vanessa. Wanita itu tak pantas bekerja disini pa, bahkan karwayan - karyawan yang lain takut untuk menyapanya. Padahal posisi mereka sama. Sama - sama pekerja, but look! She did wrong" Lanjut Dante.
"I do understand you. But you have to prepare an answer for your mom. Dia pasti akan menanyakan lagi soal kejadian siang ini seperti kejadian tempo hari. Okay, I have to go. Your mama is waiting for me, papa sudah janji akan mengantarnya reunian. Good bye Delila, nice to meet you" Mr. James memeluk anaknya.
"Take care papa. See you at home" Dante mengantar ayahnya sampai ke depan pintu ruang kerjanya. Lalu kembali duduk di samping Delila.
"I am sorry." Ujar Dante singkat.
"Sorry for?" Tanya Delila heran.
"First, kamu di maki - maki Vanessa jalang itu gara - gara aku. Kedua, sorry for kissing you. How dare I was" Dante mengelus pipi Delila lembut.
"Tidak apa - apa. Kamu tahu, kamu adalah pria yang pertama menciumku" Ujar Delila.
"Hmm? Really?" Tanya Dante menyelidik.
Dengan cepat Delila mengangguk sembari mengangkat kedua jarinya pertanda dia bersungguh - sungguh dengan kalimatnya barusan.
"Oh iya, thanks anyway darling. Kamu udah mau repot - repot kesini, anterin makan siang buat aku." Dante menggenggam tangan kekasihnya itu.
"Iya. Kalau gak begini aku gak bisa ketemu kamu. Aku bersedia jika setiap hari mengantarkan makan siang untuk kamu" Delila menyandarkan kepalanya pada dada bidang Dante.
"You don't need to do that. Nanti kamu capek, bukannya aku gak mau. Aku mau banget, tapi aku gak mau ngeliat kamu kelelahan jika setiap hari harus kesini. Jarak dari rumah kamu ke kantor aku kan gak dekat sayang" Ujar Dante lembut.

🍵🍵🍵


I Love You, Just The Way You Are. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang