11. Where Are You?

74 3 0
                                    

A Year Later...

Langkah anggun seorang wanita terdengar semakin dekat pada pria yang sedang duduk diam sembari mengamati pemandangan Jakarta dari lantai tujuh disebuah jendela besar di kantornya. Sesekali dia menyesap aroma kopi hitam di genggamannya, kopi yang masih panas. Wanita itu semakin dekat dan menutup matanya dari belakang.
"Hi sayang..." Peluk wanita itu dari belakang.
"Kamu? Kenapa kesini?" Tanya singkat tanpa melihat ke arah wanita itu.
"Ini nih, aku mau nunjukkin sesuatu buat kamu. Ini adalah sample undangan pernikahan kita. Ada sepuluh sample sih, kamu suka yang mana? Aku suka semuanya jadi aku bingung mau milih yang mana. Aku dan kak Flo barusan abis liat - liat gedung resepsi kita. Ada tiga sih pilihannya. Nanti kita bisa kesana kalau kamu gak sibuk." Ujar wanita itu semangat.
Pria itu mengambil sample undangan pernikahan mereka. Melihatnya satu persatu, bagaimanapun dia harus menghargai usaha tunangannya itu. Sedikit merasa bersalah, karena dia belum sekalipun menemani tunangannya itu mempersiapkan pernikahan mereka. Lagian, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga dia sudah mengirim pesan pada orang yang dia cintainya jika dalam waktu 3 bulan kekasihnya itu tak membalas semua pesan dan mengangkat telponnya dia janji untuk menerima takdirnya, yaitu menikahi orang yang tak dicintainya. Saat ini pria itu, sedang mati - matian melawan hatinya. Berusaha menepati janji pada dirinya sendiri juga kekasihnya itu.
Sudah setahun ini pria itu mencoba untuk mencintai tunangannya, tapi belum juga berhasil.
"Yang ini bagus. Kita pakai yang ini aja dan yang ini saja" Pria itu menunjuk dua buah kartu undangan berwarna creame dan maroon.
"Oh iya sayang, yaudah dua ini aja yang kita pakai. Makasih pendapatnya ya sayang. Kamu sangat membantu" wanita itu mengecup mesra pipi kanan tunangannya.
Pria itu tersenyum. Setidaknya dia harus membahagiakan wanita di hadapannya ini, dia tidak boleh lagi berlaku seperti dulu. Dia harus merubah sikapnya dan sedikit lunak pada wanita yang mencintainya itu.
"Setelah ini kamu mau kemana? Kita makan siang yuk?" Ajak pria itu berusaha meyenangkannya.
"Oke. Gimana kalau kita makan di restoran dekat kantor kamu aja. Biar kamu gak perlu jauh - jauh pas nanti balik ke kantor."
"Okay. Aku siap - siap dulu." Pria itu meletakkan cangkir kopinya lalu bangkit dari kursi kerjanya.
"Aku seneng deh sayang, akhirnya kita akan menikah. Aku sangat mencintaimu Dante. Kamu mencintaiku juga kan?" ujarnya sembari melingkarkan tangannya pada lengan Dante.
Dante mengangguk lemah sembari tersenyum.
"Seandainya kamu tahu, aku masih mencintai dia Vanessa. Aku masih mencintai dia." Ujar Dante dalam hatinya.

🍵🍵🍵

Hari pernikahan semakin dekat. Keluarga Pascoe dan keluarga Danuatmaja sedang sibuk mempersiapkan segalanya. Royal Wedding seperti impian Vanessa sebentar lagi akan terwujud, pernikahan yang selama ini menjadi impiannya sebentar lagi menjadi kenyataan. Tinggal seminggu lagi. Tapi sang mempelai pria tampak tak bahagia, Dante lebih sering melamun daripada biasanya.
Hatinya terus bertanya, "Apakah tindakannya ini sudah benar? Akankah dia bahagia? Tidakkah dia nanti menyesal? Relakah dia bila nanti Delila juga akan menikah dengan orang lain seperti dirinya saat ini?"
Pertanyaan - pertanyaan itu muncul bergantian dalam pikirannya. Hati dan pikirannya selalu berbeda pendapat. Pikirannya selalu berkata, "Sudahlah Delila pasti sudah bahagia bersama orang lain sekarang, buktinya dia tak pernah lagi menghubungimu atau sekedar membalas pesanmu" lalu hatinya selalu mengutuk dirinya sendiri, "Kau pria bodoh!!! Kau membiarkan dia pergi malam itu. Kau tak mencegahnya, hanya karena kau takut. Kau tak membelanya sama sekali. Dan RASAKAN!!!! saat ini kau benar - benar sudah kehilangannya. Nikmatilah penderitaanmu saat ini, karena gilirannya sudah berakhir. Dia sudah lebih dahulu merasakan luka dan itu KARENAMU PRIA PENGECUT!!!"
Dante mengantukkan kepalanya pada sebuah dinding besar di kamarnya. Dia sadar betul bahwa menangisi keadaannya sekarang takkan ada gunanya, Delilanya sudah pergi. Dia sudah melukai hati perempuan yang sangat suci untuknya. Perempuan yang tak bersalah padanya, berani sekali dia menyentuh hidup perempuan itu.
Dante masih menyalahkan dirinya, mengerang frustrasi. Menyesali perbuatannya, memukul - memukul kepalanya. Sudah berapa bulan ini dia mengkonsumsi obat anti depresi, setiap kali dia mulai merasa bersalah setiap itu dia mengkonsumsinya.

I Love You, Just The Way You Are. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang