"Hhhh..." Gadis itu mendesah. Lalu menjatuhkan kembali tubuhnya untuk duduk pada kursi kantin
***
Iqbaal sudah memposisikan motornya di basement sebuah rumah sakit. Langkahnya kini terkesan berlari, pandangannya di edarkan mencari sosok Salsha di setiap lorong kamar pasien. Dimana? Sudah 10 menit berlalu Iqbaal mencari ruang UGD belum ia temukan, panik yang Iqbaal rasakan sekarang mengalahkan kecerdasannya untuk tidak bertanya pada suster atau petugas rumah sakit lainnya.
"Sha?" Dengan nafas terengah-engah dan rambut depannya yang bergerak naik turun tak beraturan Iqbaal akhirnya menemukan Salsha. Gadis itu tengah duduk di bangku yang terletak di depan ruang UGD.
Baru saja Iqbaal muncul di hadapannya, tiba-tiba Salsha sudah menabrakan tubuhnya dengan kencang. Isakan itu kini berubah menjadi raungan.
Kenapa? Siapa yang berada di dalam ruang UGD? Apa yang terjadi sebenarnya? Salsha sama sekali tidak memberitahu apapun di telepon tadi, hanya menyuruh Iqbaal untuk datang ke rumah sakit dan menemuinya di sini. Sebenarnya Iqbaal sudah kepo setengah mati tentang apa yang terjadi. Tapi jika Iqbaal menanyakan saat ini, sepertinya Salsha masih terlihat histeris.
Tiga puluh menit berlalu...
Kini Salsha sudah duduk tenang di samping Iqbaal. Matanya terlihat bengkak pasca menangis tanpa henti tadi.
"BD kecelakaan," ucap Salsha dengan terbata.
Oh... Jadi yang ada di dalam UGD itu BD? Hhhh... Iqbaal menarik nafas panjangnya. Iqbaal bisa merasakan bagaimana perasaan Salsha saat ini. Kenapa bisa seperti itu? Belum sempat Iqbaal mengeluarkan pertanyaan yang ada dalam benaknya, "Dia mau ke rumah gue. Mau nganterin bunga buat gue. Buat nebus kesalahannya tadi pagi karena dia..."
Jangan bilang karena... Iqbaal mulai kalut.
"Tadi pagi BD gagal ngasih bunga buat gue."
'Jeder'
Kepala Iqbaal seperti terbentur benda dengan bobot 7 kali berat tubuhnya.
"Ketika di jalan menuju rumah gue dia kecelakaan." Tangisan Salsha kembali pecah setelah menceritakan kejadian itu.
Iqbaal? Laki-laki itu kini diam, tidak berkomentar apapun. Hanya bisa menarik Salsha dalam dekapannya, menenangkan gadis itu yang kini kembali menangis histeris. Bunga itu... Tidak asa perasaan lain yang berjejal di dalam dada Iqbaal kini selain perasaan bersalahnya.
"Maaf," gumam Iqbaal pelan. Salsha tidak mendengarnya, karena tangisan Salsha terdengar lebih kencang dari pada gumaman Iqbaal.
Iqbaal membiarkan air mata Salsha membasahi kemeja yang ia pakai saat ini. Salsha benar-benar masih terlihat terpukul. Andai saja... Iqbaal mulai berandai-andai. Andai ide jahilnya tadi pagi tidak ia realisasikan. Mungkin saat ini Salsha masih bersama BD.
***
Iqbaal melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Gas motor ia tarik tanpa putus. Yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan. Ia butuh ketenangan untuk segera merontokan rasa bersalahnya yang sedaritadi menggerogoti isi dadanya.
'Brmmm'
Iqbaal menghentikan motornya di depan sebuah pagar rumah. Sama sekali tidak berniat menuju rumah ini sebelumnya, namun entah setan apa yang membawanya kesini. Menuju tempat ini. Ia sendiri tidak tahu.
Tangannya bergerak merogoh saku celanannya. Meraih ponselnya dan mengotak-atik ponselnya sejenak.
Nada sambung terdengar. Tidak lama, karena seseorang yang ditelepon di seberang sana kini sudah menjawab teleponnya.