Chapter 5

8.3K 706 233
                                    

Passé

Hari itu, tepat saat malam Natal. Aku terdiam, meringkuk di dekat perapian sambil memejamkan mata. Kupeluk tubuhku sendiri, merasakan sentuhanku sendiri dalam kehangatan. Anakku sudah tertidur pulas di kamarnya karena terlalu antusias menanti hadiah Natal esok hari. Dalam keheningan ini, mataku kembali terbuka, menikmati kesunyian seraya memandangi kobaran api dalam perapian yang meliuk-liuk.

"Rita,"

Saat itu, Will merayakan hari Natal bersama kami alih-alih berpesta dengan keluarga besarnya. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi dalam lingkup keluarganya. Dia seakan tengah bersembunyi di tempatku, padahal aku yakin istrinya pasti tengah cemas di malam Natal tanpa kehadirannya. Meski enggan, aku mendongak. Eksistensi Will sudah berada di sampingku. Cahaya temaram menyamarkan wajahnya, aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat tengah menatapku.

"Ya?"

Mendengar sahutanku, pria paruh baya itu mendekat hingga duduk di sampingku. Keheningan kembali menyambut kami, kami terdiam dalam dekat dengan relasi yang membentang. Ini pertama kalinya Will duduk di sampingku lagi. Sejak aku melahirkan, kami bahkan sudah jarang bicara berdua.

"Selamat hari Natal," gumamnya lembut.

Sejenak aku tercekat, merasa rikuh dengan tatapan teduhnya di balik cahaya temaram. "Ya, selamat hari Natal."

Setelahnya, kami kembali terdiam. Menikmati kesunyian ini yang begitu menenangkan. Hanya bunyi rapuh dari kayu yang dirambat oleh api. Bunyi itu sesekali membelai telingaku. Hingga mataku perlahan terpejam, pelukan dalam tubuhku sendiri semakin mengerat. Aku terbuai oleh ketenangan yang kuciptakan sendiri alih-alih kebahagiaan yang kuharapkan. Bahagia itu tidak ada, aku paham karena hukum alam yang membuktikannya.

"Rita?"

Saat itu, Will tampak begitu mendominasi. Tidak biasanya ia selalu memanggilku, mendekat padaku, dan bahkan duduk di sampingku dengan seintens ini. Apa yang ia lakukan padaku di malam itu adalah untuk pertama kalinya. Aku tidak menjawab panggilannya saat itu, keheningan terlalu memanjakanku. Hingga kurasakan jemari tangan yang mulai mengitari pundakku, aku sadar ada sesuatu yang akan terjadi malam ini.

Setelah tujuh tahun, untuk pertama kalinya, Will ingin menyentuhku.

Pria itu semakin mendekat, bersandar di pundakku hingga aku bisa merasakan bobot tubuhnya yang berat. Tidak kutolak sedikit pun sentuhannya pada lenganku, yang merambat pada bagian tubuhku yang lain. Aku membiarkan kedua tangannya menjalar, meraih apa yang ia inginkan, apa yang ia mau dan apa yang ia sukai untuk disentuh. Aku cukup tahu diri dan pasrah karena hutang budi yang kumiliki terhadapnya.

Selama kedua tangannya bergerak menyentuhku, mataku terus terpejam. Sadar ataupun tidak aku bisa menikmati sentuhannya secara naluriah. Namun, mengetahui bahwa aku disentuh kembali bagaikan pelacur, semua terasa hambar. Sentuhan dan hubungan intim yang didasari atas rasa cinta sangatlah kurindukan. Sesungguhnya aku tidak mengharapkan ini. Aku lebih membutuhkan sentuhan cintanya di setiap inci tubuhku. Tanpa cela.

Will terus bergerak, mendominasi permainan ini hingga tubuhku berada di bawah kendalinya. Aku terbaring di atas sofa empuk ini, sementara dia berada di atasku, menggerayangi tubuhku dengan jemarinya yang terasa kasar. Mataku terus terpejam ketika kurasakan napas Will memburu tepat di depan wajahku. Bau tembakau menerpa indera penciumanku. Sesekali Will mendengus. Hal itu menandakan bahwa pria itu sudah mulai terangsang. Aku tahu karena pernah melayaninya di tempat pelacuran.

"Rita, Rita,"

Will mulai meremas dadaku, aku tersentak saat merasakannya. Gelenyar aneh mulai menerpa sekujur tubuhku. Di balik gaun tidur yang kukenakan, jemari Will bergerak lihai untuk mencapai titik kenikmatanku. Sebisa mungkin aku menahan erangan agar tidak keluar dengan mudah. Egoku mengatakan bahwa ini salah. Aku tidak sudi disentuh seperti ini lagi. Aku butuh cinta yang mengiringinya. Namun reaksi tubuhku menyatakan sebaliknya.

SLUT 2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang