[Washington D.C]
[PIERRE ALLARD ROUSSEAU MENINGGAL DUNIA]
[MENGIDAP PENYAKIT SELAMA 10 BULAN, SEORANG PENGUSAHA TERKAYA DI PERANCIS MENINGGAL DUNIA]
[SEPENINGGAL PIERRE ROUSSEAU, JUSTIN ROUSSEAU DIKABARKAN AKAN MENERIMA WARISAN TERBESAR]
[HEBOH! PENDIRI 'THE ROSSEAU CORP' TUTUP USIA]
[PIERRE ROUSSEAU, PENGUSAHA TERKAYA PERANCIS YANG MENINGGAL DI HADAPAN MANTAN ISTRI]
Bunyi gesekan kertas yang berceceran di atas meja terdengar di tengah kesunyian. Shay McConnell melempar beberapa majalah serta surat kabar dari tangannya, membuat kertas tersebut tersepuh berantakan hingga sebagian jatuh ke atas lantai. Wanita itu mendesah, matanya terpejam. Sementara pikirannya terus dipenuhi dengan banyak tekanan. Pertanyaan-pertanyaan yang menggema tanpa jawaban tetap berputaran dalam kepalanya, tanpa henti.
Pierre meninggal.
Sial, Shay membatin. Faktanya, itu memang telah terjadi. Namun ia tidak menyangka jika duka itu dapat tertoreh secepat ini. Semua terlalu cepat. Terlalu pesat. Menyisakan tanya tak berujung yang tentu membuat Shay resah. Pertemuan terakhirnya bersama Justin kemarin siang bahkan masih menyisakan banyak pertanyaan yang mengambang tanpa jawaban. Bahkan Justin tidak menyelesaikan pertanyaannya yang semula hendak diucapkan.
Shay tidak bisa berhenti merutuk dalam hati. Wanita itu kembali menyalahkan takdir, menyalahkan waktu, menyalahkan keadaan yang selalu bertolak belakang dengan keinginannya. Shay muak. Ia terlalu muak dengan semua yang terjadi. Tuhan seakan mempermainkannya terlalu jauh, terlalu lama. Hingga Shay benar-benar merasa lelah dan berpikir untuk berhenti.
Namun ia tidak bisa.
Shay mendongak, mengabaikan kertas-kertas majalah serta surat kabar yang menampilkan artikel-artikel murahan tentang kematian Pierre di atas meja, menahan perih dalam benaknya sekuat yang ia bisa. Pandangannya lantas terpancang pada layar televisi yang menyala. Shay terpaku. Bibirnya terkatup rapat diikuti bagian dalam dadanya yang terasa sesak.
Kini, di detik ini, Shay tengah menyaksikan upacara pemakaman Pierre Allard Rousseau yang disiarkan secara live di seluruh saluran televisi dunia. Acara terlaksana dengan khidmat dan penuh duka, meski sebelumnya pihak keluarga sempat menolak untuk menayangkan upacara pemakaman secara terbuka. Dari balik layar kaca yang Shay saksikan di sore hari ini, ia bisa melihat Lydia yang terisak saat melakukan penyambutan terakhir untuk Pierre di atas podium.
Cuaca di sana tampak begitu cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati yang diliputi duka serta kesedihan. Perbedaan waktu antara Washington dan Paris memang cukup jauh. Ketika keluarga Rousseau tengah melakukan upacara pemakaman di pagi hari, Shay tengah menyaksikannya di rumah pada sore hari. Dan hal tersebut membuat Shay merasa begitu... berjarak.
Orang-orang penting silih berganti memberikan sambutan terakhirnya untuk Pierre. Dimulai dari Madam Malerine yang tak lain adalah ibu kandung dari Pierre, beberapa keluarga, kerabat, beberapa petinggi negara Perancis, petinggi negara Amerika hingga para pembisnis dunia lainnya. Shay melihat mereka semua yang berduka sembari menuturkan kata penuh belasungkawa, disertai dengan sebait kenangan yang pernah mereka alami dengan mendiang Pierre.
Dan di antara mereka semua, penyambutan terakhir Lydia saat ini adalah untaian kata yang paling terdengar romantis dan sangat menyentuh. Bahkan Shay bisa menyaksikan beberapa tamu yang mulai menitikan air matanya. Mereka turut terisak saat Lydia mulai terisak, saat Lydia terus mengeluarkan lisan yang ia pendam selama ini, saat Lydia menceritakan bagaimana Pierre yang sekarat hingga ia benar-benar menyaksikan kematian mantan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLUT 2 [COMPLETED]
Fanfiction[SEQUEL OF SLUT] Akhir dari kisah cinta mereka masih memiliki sesuatu. Sesuatu yang perlahan-lahan dapat mempertemukan mereka kembali. Sesuatu yang tanpa mereka sadari mengikuti sepanjang waktu. Dan sesuatu itu adalah; takdir. ©2017 by Ananda (Badga...