Bunyi ketukan heels menggema di tengah keheningan yang menyatu bersama cahaya temaram. Menebarkan getar dibalik kesunyian yang teselubung bersama embusan napas. Iris mata cokelat yang berkilat penuh rahasia perlahan menampakkan rasa pesimis, serta rasa takut yang diiringi trauma. Shay hanya bisa menatap nanar punggung tegap William yang tengah berjalan di depannya. Menelusuri koridor panjang yang baginya tampak mengerikan.
"William, tempat apa ini?"
Tanpa menoleh, pria paruh baya yang selalu melekat dengan stelan formalnya hanya bergumam, "Ruang bawah tanah. Aku baru membuatnya, hanya untukmu."
Diam-diam Shay menelan ludah.
"Kita bisa melakukan apa saja di tempat ini, kau bisa berteriak sesukamu. Meraung seperti singa betina yang sekarat sekeras mungkin tanpa ada yang mendengarnya."
Mendengar penjelasan William yang terkesan frontal sontak membuat batin Shay kembali diliputi ketegangan. Wanita itu lantas menunduk, tidak berani menatap punggung tegap pria paruh baya itu lebih lama.
"Eksistensi Jericho cukup mengkhawatirkan. Dia akan semakin besar." William berbisik, pria itu menghela napas sejenak, lantas melanjutkan. "Aku tidak mau dia mengetahuinya."
Ketika William terus melanjutkan langkahnya semakin jauh, Shay terdiam di tengah koridor tersebut dengan wajah syok. Dadanya terasa sesak, sakit memenuhi seluruh rongga dadanya diiringi isak tangis yang perlahan keluar begitu saja. Perkataan William seakan membuka batinnya sendiri, menyadarkannya pada realita yang akan terus berjalan mengikuti waktu.
William yang menyadari rasa panik Shay lantas kembali. Pria itu menarik lengan Shay hingga menyeret tubuhnya dengan gerakan kasar. Seakan memaksa Shay untuk terus maju menghadapi kenyataan. Dalam hati, Shay meronta dan terus berteriak tidak bisa. Shay tidak bisa melakukannya lagi. Shay tidak mau. Ia ingin semua ini berhenti. Namun apa yang bisa ia lakukan selain meratapinya?
Namun Shay tidak bisa terjebak selamanya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah kamar dengan ruangan yang begitu luas. Kamar tersebut tampak normal, seakan menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. Namun Shay tentu tidak akan tertipu oleh desain ruangan yang sengaja tertata sedemikian indah oleh William. Meja panjang di sudut ruangan yang dipenuhi berbagai alat seks dan senjata tajam lainnya cukup membuat wanita itu kembali dilanda trauma besar.
"William,"
William melangkah lebih dalam memasuki kamar tersebut.
Setelah sekian lama Shay menerima takdir yang dideritanya, kini ia merasa jika ketegarannya perlahan pudar. Shay melemah. Di saat rasa trauma terus menekannya dan semakin membesar. Kini Shay merasa takut. Ia tidak bisa menikmati siksaan William lagi. Ia tidak mau. Ia tidak bisa melakukannya lagi. Hingga wanita itu menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kamar.
William yang menyadari hal tersebut lantas kembali berbalik. Pria paruh baya itu kembali menarik lengan Shay dan kali ini ia menariknya tanpa paksaan. Namun iris matanya yang selalu mengelabui siapa pun mulai memancarkan sesuatu yang membuat Shay tunduk. Wanita itu kembali melangkah, begitu perlahan diiringi perasaan pasrah yang berusaha ia bangun kembali. Agar Shay bisa menganggap siksaan itu sebagai hukumannya atas segala kesalahan hidupnya selama ini.
"Kemarilah," William menuntun Shay hingga mereka berada tepat di depan ranjang berukuran besar. "Aku tidak suka kau merasa takut."
Pria paruh baya itu mulai menggenggam kedua tangan Shay secara penuh. Namun Shay tidak bisa merasakan suatu arti yang tersalur di baliknya. Ia seakan buta. Tidak seperti Justin yang selalu memberi banyak arti di setiap gesturnya, di balik genggaman tangan hingga kedua iris matanya. Dan mengingat hal tersebut membuat Shay merasa kian rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLUT 2 [COMPLETED]
Fanfiction[SEQUEL OF SLUT] Akhir dari kisah cinta mereka masih memiliki sesuatu. Sesuatu yang perlahan-lahan dapat mempertemukan mereka kembali. Sesuatu yang tanpa mereka sadari mengikuti sepanjang waktu. Dan sesuatu itu adalah; takdir. ©2017 by Ananda (Badga...